Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Empat Mata dan Tukulisme ala Kandidat Doktor

30 November 2021   04:00 Diperbarui: 30 November 2021   04:05 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENONTON EMPAT MATA YANG TIDAK SEKEDAR HIBURAN: SIMPULAN

Tukul dan Empat Mata sebagai sebuah tontonan yang dianggap mampu memberikan hiburan segar kepada jutaan penonton, ternyata tidak sekedar menjadi tampilan yang penuh humor. Dalam konteks kajian ini, menonton Tukul dan Empat Mata mampu menjadi praktik konsumsi kultural yang menghadirkan beragam perilaku dan pemahaman. Tukul-isme yang dijalami ketiga kandidat doktor bukanlah pemahaman yang “menerima apa adanya”.

Menonton Empat Mata, di satu sisi, bisa menjadi medium yang ‘membebaskan’ mereka dari beban rutinitas akademis di kampus. Di sisi lain, aktivitas menonton bisa menjadi sarana untuk mencairkan ikatan-ikatan kultural Pak Agung, sosok ningrat, dan lebur dalam sebuah relasi sosial yang begitu akrab dengan kedua rekannya.

Dalam konteks itu, menonton Empat Mata bisa menjadi medium untuk meningkatkan keakraban di antara mereka. Dalam konteks yang berbeda, menonton talkshow ini, tidaklah menjadikan mereka individu-individu pasif yang hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Praktik konsumsi yang mereka jalani adalah praktik konsumsi yang mampu menghadirkan komentar-komentar kritis bernuansa akademis yang bisa bersifat menerima (dominan-hegemonik), negosiatif, maupun oposisional.

Di samping itu, menonton Empat Mata tidaklah ‘membunuh’ aktivitas-aktivitas lain. Pak Wayan dan Pak Parwata masih bisa melakukannya sembari membaca buku/jurnal atau merevisi draft tugas. Perilaku-perilaku partikular di antara mereka juga menjadi penanda betapa praktik konsumsi yang mereka jalani bisa bersifat unik. Lebih dari itu, menonton Empat Mata bisa menjadi pemicu lahirnya percakapan-percakapan kreatif-kritis di luar ruang TV, seperti warung makan.

Apa yang bisa direfleksikan dari kajian ini adalah bahwa menonton TV ataupun media-media lainnya tidak bisa semata-mata diklaim sebagai praktik yang merusak. Kasus saling menghajar yang dilakukan beberapa siswa SD beberapa waktu lalu yang dikatakan akibat pengaruh tayangan smack down di sebuah stasiun TV, tidak bisa dijadikan generalisasi tentang pengaruh buruk TV ataupun media-media lainnya.

Kalaupun memang ada kajian tentang pengaruh buruk, itu semua mesti dikerangkai dalam konteks partikular. Karena dari praktik menonton kita bisa menemukan betapa terdapat beragam penerimaan partikular yang dilakukan pemirsa. Berpikir analitis dalam kerangka dan konteks partikular, mungkin akan menjadi titik keberangkatan yang menarik dalam melakukan kajian terhadap praktik menonton untuk bisa memahami resepsi dan persepsi pemirsa terhadap sebuah tayangan serta pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari mereka.

DAFTAR BACAAN

Budiman, Hikmat.2002. Lubang Hitam Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius.

Budiman, Kris.2002. Di Depan Kotak Ajaib, Menonton Televisi sebagai Praktik Konsumsi. Yogyakarta: Galang Press.

Gans, Herbet.1974. Popular Culture and High Culture. USA: Basic Books Inc.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun