Tulisan yang berasal dari kajian etnografi media pada tahun 2007 di Yogyakarta ini saya persembahkan kepada Mas Tukul Arwana yang tengah berjuang untuk kembali sehat. Semoga beliau diberikan kesembuhan dan segera pulih. Banyak cinta dan doa untuk beliau, karena entah sudah berapa juta manusia merasa terhibur, termasuk para kandidat doktor UGM yang menjadi informan dalam tulisan ini.Â
AWALAN: MERAYAKAN KOMEDI DI DEPAN TVÂ
Diakui atau tidak, Tukul Arwana bersama tayangan Empat Mata yang mulai ditayangkan Trans 7 pada 26 Desember 2006, pernah menjadi ikon tayangan talkshow komedi di Indonesia. Bahkan, popularitas Empat Mata, mengilhami produksi acara serupa di Indosiar, yakni SMS (Senin Malam Selasa) yang mengusung format serupa: talkshow yang dipandu tokoh komedian dengan menghadirkan deretan selebritas serta mengambil tema-tema populis yang berkembang dalam masyarakat.
RCTI membuat program Catatan Si Tukul, Catatan Si Komeng, dan Catatan Si Eko. Namun, semua talkshow tersebut belum mampu mengimbangi ketenaran Empat Mata, dengan si 'kristalisasi keringat' Tukul Arwana sebagai host-nya. Talkshow yang ditayangkan Trans 7 dari Senin-Jum'at ini mampu 'menghentak' industri budaya tanah air. Tampang 'ndeso' si Tukul ternyata mampu menyedot perhatian jutaan penonton, dari orang biasa, mahasiwa (dalam negeri maupun yang di luar negeri), TKI/TKW, hingga para pejabat politik negeri ini.
Ketenaran Empat Mata menghadirkan kekhawatiran dalam bentuk "kepanikan moral" bagi institusi pengawas media, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan dan pengendalian urusan media penyiaran di Indonesia.
Salah satu yang menjadi sumber kepanikan adalah adegan-adegan "cipika-cipiki" Tukul dengan bintang tamu, meski ada juga yang menolak, serta celetukan-celetukan humor yang dikatakan berbau porno. Tindakan KPI dilakukan dengan memberi surat teguran kepada tim kreatif Empat Mata untuk lebih memperhatikan etika moralitas masyarakat. Tindakan yang diambil KPI, bisa dikategorikan sebagai bentuk kepanikan akan pengaruh negatif tayangan ini bagi keberlangsungan kesopanan dalam masyarakat.
Cara pandang tersebut tentu saja menegasikan potensi keragaman penerimaan pemirsa dalam proses konsumsi/menonton Empat Mata. Pemirsa bukanlah 'tabung kosong' yang dengan mudah diisi dengan air. Mereka adalah makhluk berpikir yang mempunyai potensi untuk mengambil, menyesuaikan, ataupun menolak pesan atau kode kultural dari Empat Mata. Artinya, sebenarnya pemirsa dengan beragam latar belakang wacana sosial yang dipengaruhi jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, hingga suasana sosial konsumsi, bisa memunculkan beragam tindakan pembacaan.
Tulisan ini, merupakan usaha untuk melihat bagaimana penerimaan dan perilaku tiga kandidat doktor pertanian Universitas Gadjah Mada dalam menonton aksi-aksi komedi Tukul dalam Empat Mata. Asumsi yang dikembangkan adalah bahwa para kandidat doktor tersebut memiliki praktik partikular dalam menonton tayangan ini, yang bisa jadi berbeda dengan pemirsa lain, atau bisa juga terjadi perbedaan di antara ketiganya, meski sama-sama kandidat doktor.
Penelitian yang menjadi dasar tulisan ini saya lakukan antara bulan Maret hingga Mei 2007. Jadi, saya melakukannya sebelum KPI melarang tayangan Empat Mata pada tahun 2008. Alasannya, ada adegan yang cukup menjijikkan, yakni salah satu tamu memakan katak hidup-hidup. Akibatnya, tim kreatif harus mengubah acara menjadi Bukan Empat Mata. Saya tidak akan membahas polemik penghentian tayangan tersebut, karena kasus itu terjadi setelah saya melakukan penelitian sebagai basis untuk mengumpulkan data yang dianalisis dalam tulisan ini.
SEKILAS TENTANG ETNOGRAFI MEDIAÂ