Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suami-suami Takut Istri, Resistensi Perempuan dan Dekonstruksinya dalam Teks Karnaval

31 Oktober 2021   21:35 Diperbarui: 31 Oktober 2021   21:44 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berlawanan dengan para suami yang terus menyembunyikan aksi menggoda mereka kepada Pretty, para istri sering menunjukkan "niat nakal" di depan suami tanpa rasa takut karena posisi dominan mereka. Secara umum, para suami sebenarnya tidak menyukai keadaan tersebut dan menyarankan para istri untuk tidak melakukan tindakan seperti itu. Namun, sayangnya, mereka selalu gagal dan hanya menerima kata-kata marah dan sarkastik dari istri mereka.

"Menjadi istri genit" dapat dibaca, pertama, sebagai aksi karnaval istri yang menangguhkan dan menyerang-kembali budaya suami, termasuk kebiasaan mereka untuk menggoda Pretty. Sebagai karnaval, aksi ini bermakna bahwa para perempuan benar-benar dapat melakukan hal buruk seperti yang dilakukan oleh para lelaki karena mereka juga memiliki hak untuk mengekspresikan hasrat seksual terhadap pria lain. Sekilas, representasi ini tampak sedang menegosiasikan pemikiran untuk mematahkan tabu budaya gender dalam masyarakat Indonesia di mana perempuan tidak sopan untuk mengungkapkan hasrat seksual di depan umum, terutama dalam penampilan nakal karena dilarang oleh aturan agama dan moral. 

Pengetahuan tentang menjadi perempuan yang sopan telah menjadi rezim kebenaran yang mengendalikan perilaku seksual perempuan. Perempuan tidak diizinkan merayu pria di ranah publik karena akan membuat posisi mereka lebih rendah dan dianggap sebagai "perempuan yang tidak wajar," atau dalam istilah kejam, "si jalang". Sebagai perempuan kelas menengah, empat istri dalam SSTI, sebenarnya perlu mengikuti pengetahuan umum tentang perempuan dan seksualitas ideal yang menempatkan mereka pada posisi tidak memiliki kesempatan untuk menggambarkan hasrat seksual di luar rumah. Secara universal, perempuan kelas menengah memiliki ideologi ideal dan bergengsi sebagai manusia domestik yang tidak memiliki kekuatan di ranah publik (Andrews, 2003: 385).

Alih-alih memiliki potensi resisten melalui cerita, narasi SSTI masih tidak memiliki keberanian untuk menjelajahinya secara lebih kritis dan masih menempatkan tindakan nakal sebagai sesuatu yang mustahil untuk dilanjutkan. Lelaki muda selalu tidak dapat menerima upaya mereka masing-masing untuk merayunya dan akhirnya akan meninggalkan mereka dengan hasrat yang gagal yang dinyatakan dengan mimik muka sedih dan kecewa. Dengan kata lain, SSTI, dalam kasus istri nakal , masih menganggap nalar awam terkait menjadi perempuan sopan sebagai pengetahuan hegemonik untuk setiap perempuan dengan menunjukkan kekalahan istri nakal dalam mewujudkan hasrat mereka.

Dalam bacaan kedua, sebagai tindakan dekonstruktif, kisah "menjadi istri nakal" menunjukkan kelemahan istri dalam mengendalikan hasrat terhadap lelaki yang lebih muda. Ini berarti bahwa mereka masih dikendalikan oleh wacana nilai-nilai maskulin karena mereka masih mengorientasikan pria yang lebih muda dan tampan sebagai hasrat seksual yang ideal. Dalam masyarakat yang berorientasi heteroseksual seperti Indonesia, kehadiran laki-laki sebagai pasangan ideal dan normal bagi perempuan masih menjadi orientasi hegemonik di mana perempuan tidak dapat menolak dan biasanya menyetujui pentingnya laki-laki dalam kehidupan mereka tanpa mempertimbangkan secara sadar semua hubungan kuasa di dalamnya. Lelaki selalu dapat memainkan peran dan posisi mereka yang berakar dari perbedaan seksual dengan perempuan (Chambers, 2006: 327). 

Para istri, kemudian, masih menjadikan diri mereka lebih rendah dari laki-laki meskipun bukan suami mereka sendiri. Kondisi tersebut menunjukkan, meskipun tidak di semua episode, bahwa SSTI masih memainkan narasinya sebagai bagian dari hegemoni maskulin dengan memperkuat posisi perempuan di hampir episode, tetapi dalam beberapa episode tertentu menempatkan mereka dalam subordinasi perempuan yang paling normal dan mendasar di dunia laki-laki; masih memiliki niat romantis kepada pria yang lebih muda.  

Simpulan: Menjadikan Lelaki Tak Berdaya dengan Pengecualian 

Sebagai narasi karnaval, SSTI memainkan kisah-kisah sukses dalam mengerahkan resistensi perempuan terhadap hegemoni laki-laki. Hal itu berlangsung melalui tindakan pengambil-alihan yang membuat laki-laki tidak berdaya dalam peristiwa paling konyol yang menggambarkan "perempuan kuat" sebagai pemimpin, tidak hanya di ruang domestik tetapi juga ruang publik. Sebagai narasi, SSTI dalam makna resisten, mampu menangguhkan sementara jagat yang masih dikuasai lelaki. 

Para perempuan dalam narasi menjadi "tokoh kuat dan cerdas" yang secara subversif bisa menggunakan pikiran kreatif, energi, dan budaya stereotip mereka, seperti ngrumpi, untuk menunjukkan kapasitas dan kemampuan mereka dalam menaklukkan kebiasaan buruk suami untuk merayu perempuan lain yang lebih cantik dan seksi. Semua pertentangan biner antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat nyata yang memberikan hak istimewa kepada laki-laki ditunda dengan memainkan praktik penyamaran dari mana para istri meniru dan menggunakan superioritas laki-laki untuk mengejek dan menyerang balik.

Namun, di samping potensi resistensi diskursif, narasi ini, dalam bacaan dekonstruktif, masih mewakili ketidakmampuan perempuan untuk menghargai perempuan lain yang dalam interpretasi kritis menyiratkan ketakutan mereka untuk kehilangan suami mereka sebagai figur ideal dalam keluarga. Selain itu, mereka tidak dapat sepenuhnya terpisah dari hegemoni laki-laki karena masih mengikuti wacana konsensual tentang pentingnya kehadiran lelaki, terutama lelaki yang lebih muda dan lebih tampan. Realitas naratif seperti itu, lebih jauh, secara implisit menggambarkan masalah dilematis narasi perempuan untuk menentang hegemoni laki-laki dalam pengertian total. \

Alih-alih bermain di ruang antara sebagai strategi, narasi resistensi perempuan bisa terperangkap dalam subordinasi yang tidak pernah berakhir, meskipun karakter perempuan bertindak berani, jika masih mentransformasi signifikansi normal dari pria ideal. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa dalam masyarakat yang berorientasi heteroseksual, seperti halnya Indonesia, itu adalah kondisi normal. Argumen berbeda bisa jadi mengatakan bahwa SSTI hanya komedi situasi yang melakukan politik artikulari dengan menekankan pseudo-perempuan kuat dalam makna humor. Dengan formula ini, potensi perempuan yang resisten dan berbahaya akan direduksi menjadi sekadar peristiwa bercanda. Para perempuan diberikan kebanggaan karena seolah-olah memenangkan permainan, tetapi, sebenarnya, mereka masih mengikuti aturan laki-laki yang dapat meng-eks-nominasi dan mengubah hubungan kekuasaan dengan bermacam wajah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun