Tidak ada usaha sistematis dari rezim untuk menyemarakkan-kembali pertunjukan angklung yang pernah tenar di era Sukarno dan berkorelasi dengan kekayaan ekologis-agraris masyarakat Banyuwangi ini.Â
Sanggar-sanggar tari memang semakin semarak, tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun, semua diarahkan untuk menggarap tari garapan yang berakar dari gandrung dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan festival, parade, atau acara-acara birokrat lainnya; sebuah kondisi yang masih berlangsung hingga saat ini.Â
Ritual-ritual memang dimasukkan ke dalam agenda pariwisata daerah dan semakin semarak dengan hajatan Banyuwangi Festival sejak tahun 2011 hingga kini.Â
Namun, ramainya ritual belum mampu mengembalikan-kembali keterhubungan masyarakat pelaku ritual dengan kesadaran untuk melestarikan lingkungan dalam dimensi ekologis-agraris-kultural.Â
Kelestarian bambu, misalnya, akan menjadi penopang bagi keberlanjutkan musik angklung dan industri kerajinan yang ada di Gintangan serta menjaga pasokan air dari sumber yang bisa terus digunakan untuk kepentingan pertanian dan kepentingan sehari-hari masyarakat.Â
Gerakan seni dan budaya semestinya bisa memromosikan pentingnya konsep tersebut dalam karya atau gelaran, seperti ketika Arif dan Sri Muda menghadirkan pertunjukan angklung dan tari yang diciptakan oleh Slamet untuk menyampaikan pesan-pesan tentang komunalisme, budaya lokal, dan pentingnya pendidikan.
Melanjutkan Perjuangan BudayaÂ
Bagi seniman seperti Bung Slamet, keberlanjutan kesenian berdimensi luas seperti angklung adalah sebuah kondisi yang dicita-citakan. Meskipun Negara tidak hadir untuk mewujudkan cita-cita tersebut, Bung Slamet masih belum membunuhnya dalam ruang imajinasi, batin, dan pikirannya.Â
‘Hasrat gila’ untuk menghidupkan-kembali kesenian angklung lengkap dengan tari selalu ia pelihara. Sebagai perwujudannya, ia rela menggunakan sebagian besar uang hasil penjualan rumahnya di kota Banyuwangi untuk membuat rekaman lagu-lagu lawas karya Arif, Endro Wilis, Basir Noerdian, Fatrah Abal, dan MF Hariyanto dalam komposisi angklung.Â
Mulai dari proses latihan, rekaman, dan distribusi, ia membiayai sendiri. Lebih dari 50 juta ia habiskan untuk proyek yang tidak pernah memberikannya keuntungan tersebut.Â
Sebuah album berjudul Angklung Soren cukup memuaskan kerinduannya akan kehadiran angklung di tengah hingar-bingar Banyuwangi tahun 2008. Keseriusan dan perjuangan Slamet menegaskan sebuah komitmen untuk terus melanjutkan kehadiran musik angklung sebagai bagian dari budaya bambu yang masih berhak ada dan mengada di bumi Banyuwangi.