Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Slamet Menur, Perjuangan Penyintas 65 untuk Budaya Banyuwangi

29 Oktober 2021   14:51 Diperbarui: 29 Oktober 2021   15:07 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat dari Kenangan Masa Kecil 

Ketika duduk di bangku SD, pada era 1980-an, saya dilatih menari tari Padang Ulan oleh beberapa mahasiswa KKN dari IKIP Negeri Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya). 

Setelah berlatih beberapa minggu, saya dan kawan-kawan, bisa mementaskan Padang Ulan di pertunjukan 17-an dan mendapatkan sambutan luar biasa dari warga Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Lamongan. Waktu itu, para mahasiswa bilang bahwa tari Padang Ulan adalah tari tradisi Banyuwangi dan tidak pernah bercerita siapa penciptanya. 

Saya baru tahu siapa sebenarnya pencipta tari tersebut setelah mahasiswa Prodi Televisi dan Film, Ramadani Fauzi, bertutur tentang tugas akhirnya, film dokumenter tentang dua tokoh penyintas 65. Salah satu dari tokoh itu adalah pencipta tari Padang Ulan, bernama Slamet Abdul Rajat atau biasa dipanggil Slamet Menur karena ia memiliki dan mengelola Percetakan Menur.

Adalah sebuah kebahagiaan dan kebanggaan ketika saya bisa bersua dengan lelaki yang kini sudah berusia 80 tahun ini di rumah sederhananya di wilayah Banjarsari, Glagah, Banyuwangi, 27 September 2017. Di rumahnya yang sangat sederhana (mungil) yang ia tempati dengan istri keduanya bersama anak perempuan dan cucunya, Slamet menyambut kedatangan saya dengan ramah. 

Bersama panas yang dilengkapi hembusan angin siang, mengalirlah pembicaraan kami terkait ingatan-ingatan lelaki yang tidak mau dipanggil “Pak” apalagi “Mbah” ini tentang gelora berkesenian yang ia alami pada era 1950-an hingga 1960-an. 

Kemudian, pada 28 September 2017, dari siang hingga sore kami berbincang di Sanggar Angklung Soren tempatnya untuk mengembangkan dan memperjuangkan kesenian angklung di Desa Olehsari, Glagah, Banyuwangi. Yang sangat luar biasa, di usia senjanya, Bung Slamet masih memperjuangkan harapan untuk terus mengembangkan budaya angklung Banyuwangian, baik musik, gending, maupun tari, khususnya untuk generasi muda. 

Tulisan berikut merupakan hasil ngobrol bersama Bung Slamet selama 2 hari, baik di rumahnya di Banjarsari maupun di Sanggar Angklung Soren, dan dilengkapi beberapa data tambahan dari situs online.

Gairah Berkesenian di Banyuwangi 

Banyuwangi pada era 1950-an adalah sebuah wilayah geo-kultural yang bergerak sangat dinamis. Banyak kelompok kesenian hidup dan berkembang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun