Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Slamet Menur, Perjuangan Penyintas 65 untuk Budaya Banyuwangi

29 Oktober 2021   14:51 Diperbarui: 29 Oktober 2021   15:07 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kemudian, PKI memanfaatkan para seniman Lekra yang tergabung dalam Sri Muda untuk mengisi acara-acaranya, baik di Banyuwangi, Surabaya, dan Jakarta, itu semua karena partai ini memahami peran strategis kesenian untuk menarik dan mengerahkan massa. 

Hal yang sama juga dilakukan oleh partai-partai lainnya pada waktu itu. PNI memiliki Lembaga Kebudayaan Nasional dan Masyumi memiliki Himpunan Seni dan Budaya Islam. Semuanya bergerak untuk kesenian dan kebudayaan serta memberikan dampaknya kepada aktivitas partai. 

Kalau kemudian PKI termasuk partai yang menghuni posisi tiga besar pada Pemilu 1955, itu tidak lepas dari kerja ekstra dari para pekerja partai, organ-organ underbow seperti Barisan Tani Indonesia, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSHI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dan organ-organ lainnya. 

Pada awal tahun 1965, PKI memuncaki perolehan suara di Banyuwangi, mengalahkan PNI dan NU (“Sejarah PKI di Banyuwangi dan Pembantaian Cemethuk”, ikaning.wordpress.com). 

Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Lekra dengan semua bidang kesenian yang mereka bina telah mampu menghidupkan seni dan budaya Banyuwangi, termasuk musik bambu yang menjadi salah satu ruh kultural agraris dan mengikat identitas komunal masyarakat. Inilah kontribusi Lekra, Sri Muda, dan sanggar-sanggar angklung di Banyuwangi yang tidak boleh dilupakan atau ditenggelamkan dalam stigmatisasi pasca tragedi 65 yang sebenarnya tidak melibatkan para seniman di ujung timur Jawa ini.  

Titik-balik Selepas Tragedi 65

Slamet memang masuk Sri Muda, tetapi ia benar-benar tidak tahu-menahu rencana pembunuhan atau kudeta yang (katanya) dilakukan PKI di Jakarta. Ia dan kawan-kawannya mendapatkan informasi terkait pembunuhan para jendral dari Arif. 

Sebagai salah satu utusan yang akan ikut dalam rombongan kesenian ke China, Arif sendiri baru saja tiba di rumahnya di Tumenggungan setelah memroses surat-surat untuk keperluan ke negeri tirai bambu tersebut. 

Keesokan harinya, ketika Slamet dan kawan-kawannya sedang berada di rumah Arif, laskar sipil dan tentara Angkatan Darat menyerbu. Semua panik dan kalang-kabut. Arif diamankan, sedangkan istri dan putranya, Syamsi, Slamet dan yang lain melarikan diri. Meskipun sudah berusaha melarikan diri, Slamet berhasil di tangkap di sebuah jembatan dalam perjalanannya menuju Pelabuhan.

Slamet sendiri, bersama beberapa seniman-seniman lain yang selamat direkrut oleh LKN pada 1966 untuk membantu proses berkesenian. Karena naluri untuk mendapatkan keselamatan buat diri dan keluarganya, mereka menerima ‘pinangan’ LKN tersebut. 

Setelah masuk LKN, Slamet dan para seniman lainnya tidak dikenakan wajib lapor lagi. Itu semua dilakukan atas izin bupati Supa’at yang   memberikan izin kepada Hasan Ali untuk memanfaatkan kreativitas seniman eks-Lekra tetapi tidak untuk dimunculkan di permukaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun