Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Slamet Menur, Perjuangan Penyintas 65 untuk Budaya Banyuwangi

29 Oktober 2021   14:51 Diperbarui: 29 Oktober 2021   15:07 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesenian berbasis bambu sudah berkembang duluan melalui musik angklung yang sangat digemari oleh rakyat kebanyakan. Awalnya, angklung merupakan musik pengiring kerja-kerja pertanian, khususnya mengiringi para petani memanen padi. Para pemainnya menabuh angklung dan kendang di atas paglak setinggi 7-10 meter. 

Paglak adalah bangunan yang terdiri dari tiang bambu yang di bagian atas terdapat tempat untuk duduk bersantai dan beristirarat. Mereka menyanyikan lagu-lagu tanpa lirik, tetapi nadanya bisa menghadirkan kedamaian dan keteduhan bagi para pemanen padi. Maka, angklung generasi awal disebut angklung paglak.

Pada perkembangannya, pertunjukan angklung dilengkapi dengan lagu-lagu. Adalah Mochammad Arif yang memulai menciptakan lagu-lagu berbahasa Banyuwangi sehingga menjadikan pertunjukan angklung yang dilengkapi kendang, kluncing, gong, dan suling menjadi semakin semarak. Sebelum 1950 Arif sudah aktif menciptakan lagu dengan alat angklung yang ia buat sendiri dari bambu yang juga ia cari sendiri (“Lagu Genjer-genjer, masa penjajagan dan stigma PKI”, www.bbc.com). 

Sebagai mantan pejuang di zaman Jepang yang sangat paham kehidupan sehari-hari masyarakat Banyuwangi, Arif menciptakan lagu Genjer-genjer untuk menggambarkan bagaimana warga memetik dan mengola sayuran liar di sawah berair sebagai bahan makanan. 

Menurut keterangan Syamsi, putra Arif, Genjer-genjer yang ditulis ketika tahun 1943, zaman Jepang, menceritakan penderitaan masyarakat saat itu yang harus makan genjer yang juga dijadikan makanan bebek. Ibunya sering masak daun genjer karena bahan makanan sulit didapat (“Lagu Gendjer-gendjer Siapa Penciptanya?”, regional.kompas.com).

Ketika Lekra didirikan di Jakarta pada 17 Agustus 1950, atas inisiatif D.N Aidit, Njoto, M.S. Ashar, dan A.S. Sidharta, banyak seniman rakyat di Banyuwangi memutuskan bergabung dengan lembaga ini karena kedekatan semangat perjuangan dalam menyuarakan budaya rakyat. Arif dan kawan-kawannya mendirikan grup angklung Sri Muda (Seni Rakyat Indonessia Pemuda) yang bermarkas di Kampung Tumenggungan Banyuwangi. 

Sri Muda menggarap lagu-lagu yang diciptakan oleh Arif seperti Genjer-genjer, Sekolah, Emas-emas, Cep Menengo, Nandur Jagung, Ater-ater, Selendang Kawung, Adonan Sumping Glempangan, Gunung Saren, Kanti Repen, Dermo, Larang Picis, Sekar Mawar, dan banyak lagi yang lain. Kepopuleran Sri Muda yang juga sering diundang ke acara-acara seremonial PKI maupun Negara, menjadikan semakin banyak orang yang mengandrunginya. 

Tidak mengherankan, di seluruh Banyuwangi, dibuka cabang Sri Muda sebanyak 34 cabang. Arif dan para seniman Sri Muda lainnya rajin turun ke bawah untuk melatih para seniman muda di desa-desa dalam memainkan musik angklung dan menjadikannya sebagai kesenian idola, selain angklung caruk, gandrung, janger, ketoprak, wayang wong, ludruk, Ande-Ande Lumut, dan keroncong. 

Bahan angklung yang sangat mudah didapatkan di desa-desa di Banyuwangi menjadikan kesenian angklung dengan gending sebagai salah satu budaya lokal yang seolah-olah tak tertandingi.

Selain angklung gending, pada era 1950-an juga berkembang pesat angklung caruk, di mana dua grup angklung berhadapan satu sama lain di sebuah pentas yang sudah disediakan. Kedua grup saling beradu--tebak gending dan ketrampilan memainkan angklung, kethuk, gong, slenthem, saron dan kluncing dengan membawakan lagu-lagu Banyuwangian. 

Setiap grup akan menampilkan garapan/larasan andalannya yang dilengkapi penari, disebut badut. Setelah selesai kelompok kedua dipersilahkan untuk unjuk kebolehan juga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun