Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Berkawan Kabut

29 Februari 2020   23:32 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lha, kamu itu makanya jangan melawan sama suami. Kalau dia bilang kamu tidak boleh bekerja, ya, jangan ngeyel, Ndok."

"Aku ingin punya pengalaman, Pak. Buat apa ijasah diplomaku? Buat apa Bapak membiayai kuliahku?" Aku sengaja tidak memberitahu alasanku yang sebenarnya.

"Ndok, suamimu itu pemimpinmu. Ingat itu. Kamu tidak ingin membuat malu keluarga kita di mata keluarganya kan? Kamu yang sabar." Kalau Bapak sudah menyinggung tentang harga diri keluarga aku tidak bisa membantah lagi.

"Iya, Pak."

Mengapa Bapak tidak pernah mau mengerti harga diriku sebagai perempuan? Mengapa aku yang dikorbankan untuk sebuah harga diri keluarga? Apa karena aku anak asuh? Apa perjuangan mereka membesarkanku harus aku balas dengan kekalahan sepanjang hidupku? Tuhan, di mana letak kebesaran-Mu? Apakah aku harus mempertahankan pernikahanku hanya untuk menjaga harga diri keluarga? Aku masih punya impian, Tuhan. Bersama pertanyaan-pertanyaan penuh gugatan itu, dongeng Ibu tentang nenek-moyang kami, Rara Anteng dan Jaka Seger kembali hadir. Aku ingin seperti Rara Anteng yang juga bisa berjuang membesarkan anak-anaknya, tidak hanya pasrah kepada Jaka Seger, suaminya. Aku bisa berbhakti, tetapi tidak dengan keterpaksaan, dengan kesadaran.

Kadang aku iri kepada kawan-kawan perempuanku di desa. Mereka tidak pernah diperlakukan kasar oleh suami mereka. Di masyarakat Tengger posisi perempuan memang setara, bahkan soal warisan laki-laki dan perempauan dapat jatah yang sama. Derry selalu beralasan bahwa dalam ajaran Islam, istri harus manut ke suami. Menurutku, bukan ajaran Islam yang salah, tetapi suamiku yang salah karena menafsirnya untuk kepentingannya sendiri. Tapi, aku tidak bisa lagi dikalahkan. Aku harus bertindak sesuai dengan keinginanku. Aku tidak mungkin lagi menghormatinya sebagai suami. 

 Segera aku kemas beberapa helai pakaian casual. Pakaian-pakaian mahal yang ia belikan sengaja aku tinggalkan di lemari. Malam ini aku harus pergi dari rumah neraka ini. Keputusanku sudah bulat. Persetan dengan harga diri keluarga. Persetan dengan monster itu. Aku harus memulai kehidupan baru. Batas kesabaranku sudah habis. Sebelum pergi, aku tulis sebuah kalimat di atas selembar kertas. "AKU MINTA CERAI. JANGAN PERNAH MENCARIKU LAGI." Aku meletakkannya di depan pintu. Biar monster itu membacanya. Biar dia bilang kepada orang tuanya dan orang tuaku. Biar hancur harga diri itu. Biar. Aku tidak mau mempedulikannya lagi.

***

Selama dua hari aku menikmati 'kebebasan' dari monster bersama Nda di Probolinggo. Aku menginap di rumah salah satu sahabat perempuanku semasa SMA. Dua hari aku berusaha menenangkan batinku serta merangkai bermacam kemungkinan yang akan terjadi dengan orang tua, kerabat, dan mertua. Aku sempat menelepon Nda tentang keputusanku. Dia sempat mengkhawatirkan efek dari tindakanku itu. Namun, aku meyakinkannya bahwa semua bisa diatasi kalau aku kuat. Akhirnya, Nda bisa memahami keputusanku.

Pada hari ketiga, aku kembali ke desaku, karena mendapatkan SMS dari kakak perempuanku yang mengabarkan kalau sudah 3 hari Bapak sakit. Selepas Dzuhur aku baru sampai di rumahku. Setelah membayar ojek 50 ribu, aku segera berhambur menuju rumah tempat aku dibesarkan oleh Bapak dan Ibu. Setelah mengucap salam, tampak Ibu dengan tangisnya yang tak terbendung lagi. Dia tidak marah. Dia memelukku dengan penuh kasih sayang dan kerinduan sembari menanyakan keadaanku. Mengetahui kedatanganku, kakak perempuanku, segera memelukku. Kami bertiga segera menuju kamar Bapak. Aku memandang Bapak yang tampak pucat. Ah, tuntutan ceraiku kepada monster pasti menjadi beban mendalam baginya. Ibu membangunkan Bapak dengan bisikan di telinganya. Mengetahui aku sudah duduk di sampingnya, Bapak langsung memaksa bangun dan memelukku.

"Anakku, Ndok, akhirnya kamu pulang juga. Bapak senang banget, Ndok." Airmatanya menetes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun