***
"Aku akan menghancurkan hidupku bersama kabut itu; kabut yang menemani hari-hari kecilku; kabut yang selama ini mengajarkan kepadaku tentang bhakti perempuan gunung. Sejak kecil ibuku selalu bilang aku harus berbhakti kepada orang tua, kepada guru, kepada keluarga, kepada tradisi, dan kepada pemerintah, setiap kali aku menghangatkan tubuh di pawon sambil menenaminya masak. Bapakku selalu mendongengiku tentang para leluhur kami; para leluhur yang dengan gagah berani hidup bersama dingin; para leluhur yang selalu memanjatkan kidung puji kepada Sang Gusti; para leluhur yang tidak mau menyakiti sesama; para leluhur yang selalu mengirim sesajen ke Gunung Bromo. Dongeng-dongeng masa kecil itulah yang kini harus aku junjung sebagai bentuk bhaktiku; bhakti yang akan mengakhiri kebahagiaanku sebagai perempuan gunung yang mengenyam kehidupan kota; bhakti yang harus aku persembahkan kepada kedua orang tuaku. Hidupku sudah berakhir, ketika aku harus menerima pertunangan itu. Waktu remaja aku selalu suka putih kabut datang, tetapi aku juga selalu membencinya karena hanya membawa kesuraman. Satu keinginanku, keluar dari kabut itu, melampauinya, aku ingin mengembara. Kenyataannya, aku harus kembali ke dalam kabut itu. Aku belum benar-benar mampu menembus batas putih kabut itu."
Perempuan itu hanya diam menatapku. Aku tahu dia tidak bisa lagi memberikan ucapan-ucapan yang mendamaikan. Dia yang selama ini selalu membesarkan hatiku, meski hanya melalui ucapan-ucapan sebelum aku tidur, kini benar-benar diam. Aku tahu, dia pasti merasa bersalah karena kali ini tidak bisa mengatakan apa-apa selain diam.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, sedangkan perempuan itu duduk di meja kamarku. Dia menatapku dalam nanar mata yang ingin mengalirkan luka. Ya, perempuan yang aku jumpai di Bromo itu kini menemaniku dalam senyap yang mendarah ketika semua nalar dan gairahku harus segera dihentikan oleh kehendak gunung.
 "Apa di masyarakatmu tradisi perjodohan masih berlaku?" tanyanya sambil menyandarkan tubuhnya di tembok.
"Sebenarnya tidak semua orang tua menjodohkan anak-anak mereka. Teman-teman sepermainanku banyak yang pacaran, meski dengan tetangga sendiri. Mereka menikah dan bahagia. Kalaupun ada yang dijodohkan, biasanya untuk mempererat tali saudara yang agak jauh. Kasusku beda. Aku tidak dijodohkan dengan kerabatku, tapi dengan anak teman Bapak. Aku sendiri tidak pernah tahu sejak kapan aku dijodohkan. Selama ini aku tidak berpikir untuk cepat-cepat berumah tangga karena, seperti kamu tahu, aku menikmati benar pekerjaanku di resort wisata di Batu itu. Yang aku tahu, kemarin Bapak menelepon, dua hari lagi aku diminta pulang untuk acara lamaran sekaligus tunangan dengannya."
"Maaf, Mey, aku tidak tahu harus berkata apa untuk saat ini."
"Ndak pa-pa. Aku bisa ngomong semua uneg-uneg-ku, sudah legah rasanya. Maafkan aku ya, sudah nambah beban di pikiranmu."
Selepas mandi, meski masih capek, kami berangkat ke Probolinggo. Di dalam bus, pikiranku dihantui bayangan-bayangan seram dari sebuah pernikahan yang terpaksa; suamiku jahat, kejam, mau menang sendiri, dan hidupku tersiksa. Benar-benar mengerikan. Perempuan itu mengusap rambutku sembari mendongengkan tentang negeri di atas awan yang sebentar lagi berubah menjadi panas karena kerakusan manusia. Sesampai di Terminal Bayuangga perempuan itu menghilang.
Pernikahan itu benar-benar terjadi pagi ini. Kabut pekat menyelimuti pernikahanku dengan lelaki bernama Derry itu. Lelaki itu berasal dari kota kecamatan yang jauhnya sekitar 25 KM di bawah desaku. Dia bekerja di salah satu lembaga keuangan pemerintah di Jakarta. Wajahnya tidak terlalu jelek, tapi sejak pertunangan kami setengah tahun yang lalu, aku belum bisa mencintainya. Apalagi setelah aku tahu alasan perjodohan ini lebih karena Bapak ingin balas budi karena orang tua Derry pernah membantunya ketika dililit utang karena bisnis sayur-mayurnya berantakan. Aku mengetahuinya ketika kakak perempuanku yang juga anak angkat memberitahunya dua malam sebelum pernikahan ini. Waktu itu aku menangis di dalam kamar karena harus menikah dengan Derry. Tapi, apa yang bisa aku lakukan selain menjalani pernikahan ini? Bapak dan Ibu yang memungut dan merawat sejak aku masih bayi merah serta membesarkanku layaknya anak sendiri begitu baik dan terhormat dalam pandanganku. Aku tidak mungkin menghancurkan kehormatan mereka, meksipun batinku sakit.
Karena Derry dan keluarganya beragama Islam, beberapa hari sebelum pernikahan aku harus berganti agama yang sudah sejak kecil aku yakini, Hindu-Tengger. Yang membedakan Hindu Tengger dengan Hindu Bali adalah ketika ada orang meninggal, jasadnya tidak di-ngaben, tetapi dimakamkan seperti dalam tradisi Islam, dengan kepala menghadap ke Bromo, gunung suci kami. Selain itu, meskipun bersambahyang di pura dan belajar kita Weda, kami masih menjalankan tradisi leluhur, warisan Rara Anteng dan Jaka Seger. Menurut Bapak tidak apa-apa karena inti dari semua agama sama, meyakini ketuhanan. Aku bisa menerimanya, meskipun ingatan-ingatan masa kecil bersama teman-teman di pura tidak bisa hilang begitu saja.