Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Berkawan Kabut

29 Februari 2020   23:32 Diperbarui: 12 Juni 2020   20:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Minggu berikutnya, aku menuju Malang. Aku kembali ke rumah itu. Aku menemui monster itu. Dia berusaha merayuku untuk kembali, tetapi keputusanku tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ketika dia bilang tidak mau menceraikanku, aku tidak takut karena bisa menempuh jalur persidangan.

Setelah pertemuanku dengan Derry, aku segera menuju Probolinggo untuk mempersiapkan urusan persidangan. Desaku, tempat pernikahan kami, memang masuk wilayah Kabupaten Probolinggo yang terkenal dengan mangga dan anggurnya itu. Aku sengaja memilih tempat kos dengan harga murah untuk tempat tinggalku selama mengurus perceraian di Probolinggo.

Di tengah-tengah kegembiraanku setelah mendapatkan kepastian jadwal persidangan, aku dikejutkan oleh telepon dari Bapak. Ia mengabarkan kalau orang tua Derry baru saja dari rumah. Mereka mengancam akan menagih uang sebesar 50 juta yang pernah diberikan kepada Bapak kalau aku tetap ngotot minta bercerai. Bapak dan Ibu hanya bisa menangis sesenggukkan setelah kedua mertuaku itu pulang. Uang 50 juta tentu sangat banyak. Bisa-bisa mereka menjual ladang, tempat mereka menggantungkan hidup selama ini. Aku remuk. Aku hancur mendengar kabar itu. Beberapa saat lamanya aku diam di kamar. Menangis dan menangis. Kenapa kegembiraan yang sudah di ujung tanduk harus hancur?

Siang sampai sore, aku mengurus pencabutan-kembali gugatan cerai kepada Derry. Para petugas pengadilan agama heran dengan keputusanku. Aku hanya beralasan suamiku mau menerima beberapa persyaratan yang aku sodorkan.

Inilah aku sekarang, seorang perempuan Tengger, Amelia Puji Rahayu, dibesarkan oleh orang tua yang telah menganggapku sebagai anaknya; orang tua yang harus aku junjung dan perjuangkan kehormatan mereka dalam keadaan apapun, termasuk ketika aku sudah hampir menjadi "perempuan baru". Inilah aku sekarang, kembali meresapi dingin kabut yang menusuk melalui celah-celah di jendela kamar. Aku tidak perlu menangis lagi. Aku tidak perlu membiarkan batinku dipenuhi kesedihan, luka, dan derita. Karena, seperti Rara Anteng, aku harus terus hidup dan menghidupkan keluarga yang sudah hampir sekarat oleh kutukan, bukan kutukan Dewata, tetapi oleh kutukan balas budi.

Sembari menyiram bunga di taman belakang, ingin sekali aku menghubungi Nda dan perempuan itu, sekedar bercerita bahwa aku urung menjadi "perempuan baru". Tapi, sudahlah, aku tidak ingin menambah beban pikiran mereka berdua.

Malamnya, bersama Bapak dan Ibu, aku menghangatkan tubuhku di dekat tungku. Aku pandangi wajah Bapak yang sudah semakin tua. Aku tatap wajah Ibu yang menyimpan kesedihan. Dengan perlahan, aku meniup arang di tungku biar nyala api semakin menghangatkan tubuh kami. Dengan perlahan pula, aku memeluk mereka berdua. Kembali aku mengingat saat-saat masa kecilku ketika kami menghabiskan waktu menjelang tidur dan Ibu mendongengkan cerita Rara Anteng. Saat itulah sebenarnya aku membayangkan bahwa Rara Anteng bahagia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun