"Bukankah saudara-saudaraku sekarang juga larut dalam pesta politik, pesta materi; dari panen sayur-mayur dan menyewakan mobil jeep. Bahkan, kesucian Bromo hanya menjadi tontontan. Kami bukan orang lampau. Lihat saja rumah dan pakaian kami, tidak ada bedanya dengan rumah elit orang kota."
"Itulah, Mey. Para pembesar itu telah mengajari mereka tradisi baru. Orang-orang Inggris dan Belanda datang membawa kentang dan wortel. Mereka semakin jarang menanam jagung. Sampai sekarang mereka makan beras. Ada yang berubah. Mereka semakin giat bekerja, bukan untuk sekedar makan, tapi untuk mengisi rumah dengan kemeriahan. Beberapa pemimpin mereka bertemu dengan pembesar di hotel-hotel mewah dengan para perayu tradisi; mereka yang memanfaatkan suara politik atas nama pelestarian, pemberdayaan, dan tetek-bengek lainnya. Yang aku khawatirkan, ketika mereka semakin larut, kutukan demi kutukan akan datang."
"Tidak ada kutukan di masa kini," timpalku.
"Kutukan itu masih ada. Karena mereka sudah terikat sumpah. Ketika sumpah menyatu dalam darah, manjing dalam batin, gunung-gunung, angin, langit, tanah, api, akan menyampaikannya kepada Dewata sebagai energi gelombang yang bisa merubah doa dan senyum semesta. Aku masih bisa tersenyum karena sebagian dari mereka masih menjalankan sumpah itu." Perempuan itu tiba-tiba mengajakku turun.
"Apakah engkau Dewi penjaga Bromo?" tanyaku berani.
"Aku bukan Dewi, aku bukan peri, aku bukan bidadari, Mey. Aku hanyalah penyaksi dari apa-apa yang terjadi di sini; kemarin, saat ini, dan esok," jawabnya setelah melepaskan tanganku.
"Aku tidak mengerti. Kedirianmu membingungkanku," ujarku agak ketus. Kami terus berjalan menyusuri segara wedi.
"Karena kamu ke sini membawa banyak beban dalam otakmu, sehingga batinmu tercemari kebingunganmu sendiri. Kamu terlalu memikirkan perjodohan itu. Kamu mencari sejarah bhakti kepada orang tuamu dengan kisah di balik Bromo. Otakmu akan kesulitan, Mey. Kisah lampau itu tak mungkin kamu sepadankan dengan kisah hidupmu. Ada ruang dan waktu yang berbeda. Lagipula, orang tuamu juga terbebani sejarah hidup mereka sendiri. Mereka berusaha menumpahkannya kepada dirimu. Kasihan kamu, Mey."
Aku tak menghiraukan lagi perkataan perempun tak bernama itu. Ketika kami sampai di jalan setapak menuju hotel dan perumahan penduduk, perempuan itu bertanya tempat penginapanku. Aku tidak memberitahunya dengan alasan privasi. Dia hanya tersenyum, lalu, melambaikan tangan menuju sebuah hotel yang langsung menghadap ke Bromo. Huh, perempuan aneh.
Sampai di rumah penduduk tempatku menginap, aku merebahkan tubuhku. Aku sengaja menginap di home stay untuk menenangkan pikiranku karena hendak dijodohkan dengan lelaki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Tidak mandi adalah pilihan tepat karena dingin sekali udara sore ini. Tidak selang lama, ibu pemilik rumah yang tinggal di sebelah, mengantarkan tungku untuk menghangatkan badan. Anak perempuannya yang masih kecil membawakan satu gelas teh hangat. Setelah aku mengucapkan terima kasih, mereka berdua pergi. Segera aku menghangatkan badan di depan tungku, berteman teh dan snack yang aku bawa dari kota kecamatan.
Aku masih memikirkan perkataan perempuan berbaju putih itu. Ternyata, kami memiliki kegelisahan yang sama. Apakah aku harus meneruskan bhaktiku seperti halnya bhakti Rara Anteng? Tapi, bukankah ada ruang dan waktu yang berbeda, seperti dikatakan perempuan itu? Kalau aku menolak perjodohan itu, bagaimana dengan rasa malu kedua orang tuaku? Jangan-jangan, aku memang harus merelakan untuk tidak memiliki tubuhku sendiri, mengabdikannya kepada orang tua?