Itulah mengapa ketika melanjutkan pendidikan SMA di Probolinggo dan selanjutnya kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Malang, Ibu dan Bapak selalu mewanti-wanti agar aku selalu menjaga kehormatan dan tradisi leluhur. Tidak boleh membina hubungan cinta terlalu jauh dengan lelaki. Tidak boleh menghambur-hamburkan uang. Tidak boleh melupakan sembahyang. Dan, masih banyak "tidak boleh" lainnya. Aku menganggapnya sebagai rambu-rambu yang bisa menjaga diri dan kehormatanku, meskipun tetap saja aku tidak mungkin selamanya menjadi perempuan gunung yang kurang pergaulan di kota.
Di Malang aku memang harus bersiasat dengan banyak godaan hidup. Teman-teman kuliah sering mengajakku jalan-jalan ke mall di sekitar alun-alun setiap kali ada waktu luang. Di sana, setiap kali mendapat kiriman bulanan, aku menyempatkan membeli sepotong atau dua potong pakaian, sekedar untuk kepatutan waktu kuliah, biar tidak hanya pakaian-pakaian itu saja yang kukenakan. Meskipun tidak setiap hari, aku dan teman-teman kos sering menikmati ayam crispy di KFC ataupun lezatnya Pizza Hut. Hitung-hitung, biar lidahku tidak hanya terbiasa dengan sayur bening ala Tengger atau kue aron yang berbahan jagung. Selama 3 tahun kuliah di D-III Ekonomi, terhitung 3 lelaki pernah menjadi kekasihku. Kehidupan muda-mudi di Malang yang relatif bebas, mendorong masing-masing dari mereka mengajakku bersetubuh setelah menikmati percumbuhan yang penuh nafsu dan cinta di beberapa villa di Batu. Namun, nasehat Ibu agar aku tetap menjaga kehormatan sebagai perempuan Tengger selalu terngiang di telingaku. Itulah yang membuatku memutuskan cinta mereka.
Semua hasrat yang memburu ketika di Malang, harus aku luruhkan setiap kali pulang ke desa. Aku harus menjadi anak mantan kepala desa yang berperilaku layaknya perempuan gunung, meskipun banyak kawan kecilku yang sudah menggendong anak mengatakan dandananku sudah mirip perempuan kota seperti yang mereka lihat di teve. Kembali ke desa adalah kembali kepada keagungan leluhur yang harus diwujudkan bukan hanya diomongkan. Bapak dan Ibu selalu mengajakku ke pura desa. Setiap kali ada upacara di balai desa atau di rumah tetangga aku harus berusaha untuk hadir. Saat-saat itulah, Bapak seperti merasa bangga karena anak perempuannya tetap bisa meyakini dan menjalankan tradisi leluhur meskipun kuliah di kota.
Kadang aku juga bertanya-tanya tentang pergeseran makna kesucian yang berlangsung dalam masyarakat Tengger--yang juga aku alami selama ini. Sekarang segara wedi dan Bromo telah dijejaki jutaan kaki, dinikmati jutaan mata, dan diselimuti keliaran-keliaran mereka yang menikmati dingin dan kabut. Sambil terus menyusuri beberapa bukit menuju tangga Bromo, aku berpikir, kenapa Kusuma dan para Dewata tidak marah dengan kedatangan mereka? Kenapa tempat suci ini hanya digunakan sebagai tempat mengeruk uang? Di manakah kesuciannya? Apakah kesuciannya hanya ketika Kasada dilaksanakan? Ah, kenapa juga muncul pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam benakku. Bukankah aku sendiri tidak menjaga sepenuhnya keyakinan leluhur sekaligus tidak bisa menghilangkan semuanya dengan nalar kampus-ku? Kawan-kawanku di desa tidak pernah menanyakan soal itu. Dhukun di desaku juga tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu ketika aku dan teman-teman bersembahyang di pura. Dia hanya berpesan agar anak-anak muda, meskipun kuliah jauh, tidak usah mengikuti budaya negatif dari kota, karena bisa kuwalat, bisa terkenah musibah--baik berupa sakit maupun susah rezeki. Kami diminta untuk terus mengikuti keyakinan leluhur. Â
Baru beberapa tangga aku daki, di depanku berdiri seorang perempuan mengenakan baju katun putih dan celana jeans biru. Aku sangat kaget ketika dia memanggil namaku. Ketika aku menanyakan bagaimana dia bisa tahu namaku, perempuan itu tersenyum sambil menutup bibirku dengan jemarinya. Lalu, ia menggandeng tanganku, mengajakku menaiki tangga yang terbuat dari campuran semen dan pasir itu. Aku hanya bisa diam menuruti ajakannya.
"Gunung itu gunung suci, tempat jiwa menghilangkan noda hidup sebelum terbang ke Gunung Mahameru, tangga menuju swargaloka, nirwana. Makanya, Kertanegara, Raja Singasari, dan juga raja-raja Majapahit, menjadikan tanah di lereng dan kaki Bromo sebagai tanah suci, hila-hila, sekaligus menjadi wilayah perdikan. Para Pandhita yang menempati tanah ini dibebaskan dari pungutan pajak kerajaan. Mereka diminta mempertahankan kesucian dan kesetiaan manusia. Tugas mereka hanya sembahyang dan mendoakan keselamatan dan kesejahteraan kerajaan. Mereka hidup dalam dekapan kabut dan dingin, menakutkan. Tapi, sabda raja adalah kebenaran. Mereka harus menuruti permintaan raja untuk sembahyang dan berdoa. Bayangkan, mereka harus hidup dalam serba keterbatasan. Apa yang menjadikan mereka kuat, Mey?"
"Aku tidak tahu, mungkin karena mereka sakti?"
"Kenapa selalu memahami masa lampau dengan kesaktian, kegaiban, ataupun kedigdayaan? Terlalu banyak dongeng yang masuk ke dalam otakmu. Kamu tahu, mereka bertahan karena ada kesetiaan. Kesetiaan kepada suami atau istri. Kesetiaan kepada masa depan anak-anak mereka. Kesetiaan kepada raja. Kesetiaan kepada Dewata. Kesetiaan kepada bumi. Kesetiaan itulah yang yang menjadikan mereka ada sampai sekarang."
Perempuan itu tetap menggandeng tangan kananku, terus mendaki tangga Bromo. Di puncak, kami berdiri menatap kawah. Bau belerang menyengat. Aku mengajaknya turun, tapi dia menolak. Tiba-tiba, bau belerang lenyap.
"Kesetiaan itu juga menindas. Mereka tidak akan berani melawan kuasa raja. Mereka tidak berani melawan penindasan," tuturku dengan lantang.
"Penindasan apa yang kamu bicarakan. Raja-raja Singasari dan Majapahit tidak pernah menindas mereka. Mereka diberi tanah. Mereka cuma diminta sembahyang dan mengabdi. Para kesatria kerajaan juga tidak pernah menyerang mereka. Kamu jangan membacanya dari masa kini. Baca dari masa lampau, ketika mereka tidak punya apa-apa. Tidak semua dari yang lampau itu jelek. Keyakinan terhadap cinta dan kesetiaan itulah yang akan menyelamatkan mereka."