Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(M)batin dalam Senyap

29 Februari 2020   14:56 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:10 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karti dan Timur menjabat tangan kepala sekolah. Mereka berdua pamit pulang. Di dalam mobil angkutan pedesaan, Karti diliputi kebahagiaan. Anaknya segera mengenyam pendidikan SMA, meskipun bukan di SMA negeri favorit. Yang penting dia bisa belajar dan belajar, biar bisa menjadi orang kelak. Biar dia bisa membuktikan bahwa anak PKI bisa dalam hidup.

 Satu malam menjelang keberangkatan putranya ke Lamongan, Karti kembali menggelar sewek pemberian Simboknya yang sudah meninggal ketika ia masih remaja untuk alas sujud. Segala diam raga mengiringi suara-suara batin yang memuji kepada kuasa Sang Gusti. Perlahan-lahan ia tundukkan kepala, tubuh, dan pikirannya, lalu rebah sujud menghadap ke Timur; menghadap ke awal segala awal. Dalam posisi itu, batinnnya benar-benar hening, menyuarakan segala puji dan pengharapan seorang ibu.

"Gusti, segala keagungan, keadilan, kesucian, kemurahan, adalah kehendak-Mu. Dalam batinku, dalam darahku, dalam pikiranku, kepasrahan adalah kemutlakkan kepada-Mu. Besok, anakku, Timur, akan berangkat belajar, melanjutkan cita-cita keluargaku. Aku memohon sedikit kuasa-Mu untuk melindungi, membimbing, dan mengarahkannya dalam pencarian diri sebagai manusia. Berikanlah sedikit ilmu-Mu kepada pikiran dan batinnya. Karena segala kehendak adalah kehendak-Mu."

Setelah sujud kepada Sang Gusti, Karti menuju kamar Timur. Ia pandangi wajah putranya yang sangat mirip dengan suaminya. Beberapa kali ia cium kening Timur. Karti tersenyum sebelum akhirnya tertidur sambil memeluk putranya. Di dalam mimpi itulah, Kardi datang menemuinya sembari berkata, "Matur nuwun, Dik. Aku yakin Timur akan jadi 'orang'. Selalu berdoalah untuk anak kita itu." Karti terbangun. Air matanya jatuh, mengalir di atas pipinya. 

***

7 tahun kemudian, Timur benar-benar menjadi 'orang'. Dia mendapat gelar dokter dari Universitas Airlangga Surabaya. Karti merasa bangga dengan keberhasilan anak pertamanya. Paling tidak, hal itu bisa memacu minat sekolah kedua adiknya, Asih yang duduk di kelas 3 SMA dan Jati yang duduk di bangku kelas 3 SMP. Kepada kedua anaknya itu, Karti selalu berpesan agar mereka meneladani keberhasilan Timur. Yang membuat dia semakin bahagia adalah kedua anaknya selalu mendapatkan ranking di kelas, selalu masuk 10 besar.

Para perempuan yang biasa membantunya di sawah juga merasa ikut senang dengan keberhasilan Timur. Rata-rata mereka bangga karena anak Pangkat ada yang bisa jadi dokter.

"Biar, nanti kalau Timur pulang, aku minta suntik, biar linu-linu di punggungku sembuh. Biar ndak beli pil terus," celetuk Yuk Jum ketika membantu Karti memanen jagung.

"Iyo wis, Yuk. Ben sampek mlungker," sahut Yuk Tumina. Karti tertawa mendengar canda mereka.

"E, Yuk, dengar-dengar Haji Rofik sakit aneh," kata Yuk Jum sambil mengupas kulit jagung.

"Sakit apa Yuk?" tanya Karti penasaran. Yuk Tumina ikut mendengarkan dengan serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun