"Saya Timur, Pak Haji, anak Pak Kardi."
"Pak Kardi? Kamu ini anaknya? Duh Gusti Alloh ampuni segala dosa hambamu ini. Timur, kamu sudah besar, Cong," ucap Haji Rofik sambil mengelus kepala Timur. Ia meneteskan air mata.
"Begini, Pak Haji, menurut perkiraan saya, syaraf Njenengan ada yang bermasalah. Lebih baik dibawa ke rumah sakit Lamongan segera. Nanti saya kasih rujukan. Kalau tidak ditangangi dokter ahli, sembuhnya bisa lama, Pak Haji. Njenengan ingin sehat kan?"
"Iya, Cong. Waduh terima kasih yang banyak ya. Maafkan semua kesalahanku di masa lalu yang menyebabkan Kang Kardi meninggal."
"Sudahlah, Pak Haji. Saya tahu kondisi waktu itu memang sangat kacau. Warga yang membunuh Bapak saya sebenarnya tidak bersalah, karena mereka dihasut oleh tentara. Kami sekeluarga tidak pernah dendam, Pak Haji. Ya sudah biar saya bilang sama keluarga Njenengan, kalau bisa sore ini segera dibawa ke Lamongan."
"Iya, terima kasih, Cong. Timur, tunggu sebentar."
"Nggih, Pak Haji. Ada apa?"
"Cong, aku tahu kamu, Simbokmu, dan adik-adikmu, pasti ingin tahu di mana jenasah Bapakmu dikuburkan oleh anggota laskar."
"Nggih, Pak Haji, di mana?" tanya Timur bersemangat.
"Datanglah ke telaga Dagel, sekitar 10 KM utara Pangkat. Di sisi utara telaga ada pohon trembesi, besar banget. Di sisi timur trembesi itu ada sebuah batu besar. Di bawah batu itulah Kang Kardi dikuburkan. Bongkarlah kuburan Bapakmu, sempurnakan jasadnya, pindahlah ke kuburan Pangkat. Sekali lagi, maafkan aku dan orang-orang yang telah membunuh Bapakmu."
Mendengar penjelasan Haji Rofik, Timur meneteskan air mata. Rasa penasarannya selama puluhan tahun akan segera terjawab. Ia mencium tangan Haji Rofik.