Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(M)batin dalam Senyap

29 Februari 2020   14:56 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:10 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kalau punya suami lagi kan ada yang menemani ke sawah. Biar Sampean ndak kecapekkan."

"Sudahlah, Yuk, ndak usah ngomong itu."

Begitulah, setiap kali tetangga-tetangga perempuannya menyarankan Karti untuk menikah lagi, jawaban-jawaban penolakan yang selalu dia lontarkan. Dia memang sudah memilih menjalani kehidupannya sendiri, tanpa suami. Semua kebaikan dan kenangan yang ia ditorehkan bersama Kardi dalam kebersamaan batin mereka selalu muncul sebagai kekuatan untuk menolak saran-saran itu. Pilihan itu memang akan membawanya dalam kesenyapan puluhan, ratusan, bahkan ribuan malam.

Dalam kesenyapan malam-malam itulah, Karti selalu sujud menghadap ke Timur, berbicara kepada Gusti Pengeran dengan batin, seperti yang dilakukan Kardi. Suaminya selalu bepesan, "Hanya kepada Gusti Pengeran kita meminta dan berkeluh-kesah, bukan kepada orang-orang yang mengaku pintar agama itu."

"Gusti, biarlah aku menghabiskan hidupku dalam kesendirian tanpa suami. Aku yakin Engkau akan mengerti pilihan batinku ini. Aku pasrahkan keadilan-Mu terhadap kehidupanku, anak-anakku, bapak, ibu---keluargaku. Biarlah keluargaku dicap sebagai keluarga PKI, biarlah, Gusti. Karena aku tahu, hanya Engkaulah yang berhak menilai setiap kebenaran dari sebuah pilihan. Biarlah kami tidak pernah ke langgar, tetapi batin kami selalu memahami-Mu dalam gerak siang dan malam. Biarlah kami tidak pernah membayar zakat, tetapi izinkanlah kami mendapatkan limpahan berkah-Mu agar bisa memberi beras dan jagung kepada para tetangga miskin kami. Gusti, izinkanlah aku dan keluargaku meneruskan kehidupan kami dengan segala tunduk dan manjing yang tidak harus kami pamerkan, karena Engkau adalah kesenyapan yang berkuasa atas bumi-Mu."

Sujud-sujud manjing menghadap ke Timur itulah yang selalu dia lakukan, mengisi kekosongan dan kesenyapan malam; melampaui kesendiriannya. Kardi boleh menghadap Gusti Allah, tetapi dia akan selalu hadir dalam doa-doanya, karena dia memang masih tersenyum di batinnya; senyum yang akan terus menemani kehidupannya.

***

Beberapa tahun setelah kepergian Kardi, Karti dan keluarganya nyatanya masih bisa hidup dengan wajar di tengah-tengah masyarakat, meskipun mereka terkadang harus mengalami "tatapan dan rerasan menyakitkan" dari orang-orang yang memang benci kepada PKI. Para perangkat desa, meskipun sudah dipimpin lurah baru yang berasal dari tentara, masih sering ke rumah, sekedar menanyakan kabar atau membelikan jajan kepada ketiga anaknya. Tetangga kanan-kiri, rata-rata berperilaku baik, apalagi Karti sering mempekerjakan mereka saat tanam dan panen padi tiba di musim hujan. Karti juga sering mempekerjakan mereka saat menanam jagung, kedelai, atau teYukau. Namun, Karti harus menerima ketika cap sebagai istri PKI tidak membolehkannya berpartisipasi dalam kegiatan ibu-ibu di Balai Desa.

Hanya dua pemuka agama di Pangkat, Haji Rofiq dan Haji Syafi'i, dan beberapa anggota laskar pencabut nyawa yang masih menatap Karti penuh kemenangan ketika mereka berpapasan di jalan. Kedua haji itu pula yang meminta laskar untuk mengambil suaminya. Dia mendapat informasi itu dari Yuk Jum, tetangganya yang sempat diberitahu oleh istri Haji Rofiq ketika sedang mburuh panen padi. Kepada Yuk Jum istri Haji Rofiq bilang, "kalau PKI dibiarkan, bisa-bisa sawah keluargaku akan dibagi-bagi kepada rakyat, kan kami bisa jatuh miskin." Mendengar cerita Yuk Jum, Karti hanya mbatin. Dia yakin Gusti Pengeran akan memberi keadilan dengan cara-Nya sendiri.

Yang tidak kalah menyakitkan bagi Karti adalah kutbah kedua haji itu ketika sembahyang Jum'at di masjid kecil di depan rumahya.

"PKI itu tidak punya Gusti Alloh, makanya tidak pantas hidup di Indonesia, juga tidak pantas hidup di Desa Pangkat. Bagi mereka yang bersimpati ke PKI atau keluarganya terlibat, segeralah bertaubat, biar mendapatkan ampunan dari Gusti Alloh." Begitulah kutbah yang sering diulang-ulang oleh Haji Syafi'i.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun