Beberapa anggota laskar kembali memukulnya dengan penthungan. Mukanya benar-benar sudah menjadi merah oleh darah. Ketua laskar mencengkeram lehernya dengan penuh kemarahan, tidak ada tanda-tanda sama sekali sebagai pemeluk Islam.
"Kamu ini banyak omong. Ayo cepat katakan, apa pengapesan-mu," bentak ketua laskar, sambil mendorong tubuh Kardi hingga tersungkur. Dia bangun kembali.
"Ha...ha...ha...Kalian itu orang berilmu agama kok malah nanya pengapesan-ku. Wah...wah...apa ndak kebalik." Tiga orang laskar langsung menyabet lehernya dengan sabit. Lagi-lagi, gagal membunuhnya. Dua orang berikutnya memukulnya dengan penthungan. Kardi sempoyongan, ambruk.
"Kardi, kalau kamu tidak mau memberitahu kami pengapesan-mu, baiklah, istri dan anakmu akan kami jemput juga," ucap ketua laskar dengan nada pelan.
Mendengar perkataan itu, Kardi mencoba duduk. Dia menundukkan kepala. Tidak menangis. Bayangan masa-masa pengantin muncul kembali di benaknya. Bayangan ketika istrinya melahirkan anak pertama, kedua, dan ketiga memenuhi ruang-ruang otaknya. Dia tidak kuasa melihat mereka harus mati akibat pilihannya bergabung ke dala PKI.
"Baiklah, aku akan ngomong. Tapi ingat, kematianku berarti kekalahan kalian. Kalian tidak bisa mengambil inti dari agama kalian. Kematianku menandakan Gusti Pengeran segera ingin melihat kalian mengalami kehancuran dalam hidup, karena Dia sebenarnya belum ingin aku mati. Aku akan segera menemui Pengeran-ku di langit ketujuh. Cepat lepaskan sabukku. Lalu, ambillah carang, ranting bambu, lancipkan dan tusukkan ke jantungku." Kardi sujud di atas tanah, mencium Ibu Bumi yang telah membantu Gusti Pengeran membahagiakan kehidupannya selama ini. Ibu Bumi sebentar lagi akan membuka pintunya bagi manusia yang tidak pernah punya niatan membunuh sesama, karena ajaran gurunya melarang untuk menyakiti sesama.
Seorang anggota laskar melepaskan sabuk di celanannya. Seorang lagi mengambil carang dan melancipkannya.
"Allohu Akbar...Allohu Akbar....Allohu Akbar." Orang-orang memekik, memanggil kebesaran Alloh.
Tepat di jantungnya, carang itu menancap mengalirkan darah segar yang mengiringi senyum Kardi. Dia menengadah ke atas, memandang langit yang mulai terbuka dengan jutaan malaikat yang siap menyambut kedatangannya. Â "Gusti Hang Maha Asih, inilah aku, menghadapmu kembali. Segala urusan istri dan anak-anakku, aku pasrahkan kepada keadilan-Mu. Segala urusan orang-orang yang telah mendahului takdir-Mu, aku pasrahkan kepada keadilan-Mu juga," doa Kardi dalam Batin menyertai kepergiannya dari dunia.
Orang-orang itu segera pergi, meninggalkan begitu saja jasad Kardi di mbarongan. Mereka pergi ketika adzan Subuh mulai memanggil manusia untuk menyambut kehidupan; bukan dengan kebahagiaan, tetapi dengan anyir darah dan tangis yang tak kunjung berhenti istri dan anak-anak Kardi, dan juga tangis istri dan anak-anak lain yang suami dan bapaknya diambil oleh orang-orang yang biasa membaca Al-Qur'an dan mendengar kutbah Jum'at. Di sebuah telaga, orang-orang itu berhenti, mandi dan mengambil wudhu.
***