“Nggak kok Yang, lagi suntuk aja di pondok. Pengen refresing Yang.”
“Ayo masuk,” ajak Eyang.
Duuggh… “Auuw…” lagi-lagi kepalaku terjedot pintu Eyang. “Dasar Rumah Tua!” makiku. Eyang hanya memandangiku sambil tertawa. Lebih keras dari yang tadi.
“Kok malah diketawain sih Yang? Sakit nih!” aku protes.
“Ya nggak papa. Cuma heran saja sama kamu.”
“Heran gimana? Lha wong Pintu Eyang yang terlalu pendek! Perasaan dulu Nggak sependek ini.”
“Ha ha ha ha…,” tawa Eyang semakin menjadi. “Bukan pintu Eyang yang berubah atau direndahkan. Tapi kamu yang sudah berubah. Mentang-mentang sudah tinggi, lupa. Sudah Nggak bisa lagi menundukan kepala. Mestinya kalau kamu sudah merasa tinggi, kamu juga harus sadar dan tahu bagaimana caranya menundukkan kepala, biar kepalamu nggak kejedot. Menundukkan kepalamu saja tidak cukup le. Bisa saja dengan hanya menundukan kepala kamu merasa bahwa kepala kamu benar-benar menunduk. Padahal kenyataanya kepalamu masih tegak ke atas begitu angkuhnya. Untuk benar-benar menundukkan kepala dada dan hatimu juga perlu kamu tundukkan le. Dengan itu, kamu baru bisa benar-benar telah menundukkan kepalamu.
Sesuatu yang rendah itu tidak bisa menggapi ke atas. Yang merasa tinggi harus belajar membungkuk, biar hubungan yang bawah dengan yang di atas masih terjalin. Biar nggak merasa hidup ini sendirian. Kalau sudah merasa sendiri, hidup tidak tenang, sumpek dan tidak betah dengan rutinitas yang ada.”
Ah, entah apa yang dibicarakan Eyang. Apa hubungannya sumpek dengan kepalaku kejedot pintu. Aku semakin pusing!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H