***
Aku menjalani masa transisi justru saat usiaku hampir matang. Ketika aku sudah layak untuk membangun mahligai rumah tangga. Umur yang semakin tua ternyata tak menjaminku untuk tampil lebih dewasa. Berfikir lebih matang. Dan satu hal lagi yang mungkin menjadi akar masalah terbesarku, aku ingin tak pernah lagi melakukan kesalahan.
Secara teoristis, sebenarnya kenyataan ini sangat memalukan. Apalagi jika menengok sisi pendidikanku yang tak bisa dianggap remeh. Meski hanya di Madrasah Aliyah, semasa remaja aku pernah juga dijejali pelajaran SMA. Pernah mengeyam dan mejalani sebagai murid sekolah kebanggaan di desaku. Ketika banyak teman-temanku yang memutuskan untuk tak meneruskan belajarnya lagi (kuliah), karena persoalan biaya, hanya aku seorang diri yang melanjutkan bergerilya mencari ilmu. Meski bukan ke perguruan tinggi. Tapi mestinya, di tempat ini, aku justru bisa lebih matang, lebih berguna, dan lebih bijaksana dalam menjalani hidup.
Ya, pendidikan baruku ini adalah model pendidikan tertua milik bangsa ini. Pesantren, begitu orang sering menyebutnya. Dan tak dapat dipungkiri, walaupun penguasa negeri ini mengucilkannya, peran penting model pendidikan ini justru yang lebih berpengaruh dan kemanfaatan yang dirasakan masyarakat umum lebih nyata. (Tapi maaf tidak kusebut nama pesantren yang aku maksud. Bukan apa-apa, hanya saja aku segan untuk menyebutnya. Nama yang kotor ini bersanding dengan orang-orang mulia. Malu. Sungguh malu.)
Yang mengherankan dari masyarakat sendiri –pada umumnya, meski mereka sangat mengharapkan sosok santri di wilayahnya, tapi mereka sendiri enggan untuk menyekolahkan anaknya sendiri ke pesantren. Mereka seolah menanyakan mengapa anak-anak di sini “Nggak ada yang mau jadi santri” namun tak pernah menanyakan dirinya sendiri atau anaknya kenapa mereka tidak mau. Maklum secara matematis yang mereka fikirkan benar, namun bukan berarti aku ikut mengamininya. Sama sekali tidak.
Hitungan mereka itu di mataku tak lebih dari hitungan anak kecil yang baru mengenal tambah-menambah, diberi tugas untuk mengalikan. Betapa pun kita memberitahu bahwa lima dikalikan enol sama dengan enol, sebelum benar-benar memahami arti perkalian, mereka akan bersikeras bahwa jawaban kita pun salah. Meski kenyatannya mereka juga tak mengetahui berapa jawaban yang benar. Karena menurut cara pandang mereka, perkalian itu selalu lebih banyak dibandingkan dengan tambah-menambah. Apalagi dalam kasus itu, justru perkalian lebih rendah hasilnya dari pada penambahan. Hal ini jelas belum masuk dalam pikiran logisnya.
***
“Fiq, hidup ya nggak bisa semau guwe gitu. Sebebas-bebasnya hidup tetap ada aturanya. Nggak bisa kita tentukan sendiri,” ucapku menasihati temanku. “Siapa sih yang mau hidupnya sengsara? Nggak ada orang yang mau Fiq. Semua orang inginnya bahagia,” lanjutku penuh semangat. “Kamu mulai sekarang harus berubah. Apalagi kamu sekarang tinggal di pondok yang namanya saja sanggup menggemparkan jagat. Orang baru mendengar kita mondok di sini, kita sudah dianggap bisa segalanya. Intinya kamu mulai sekarang harus berubah. Kebahagiaan yang kamu kejar, yang kamu cari, itu tak bisa kau dapat dengan kemudahan seperti ini.”
“Robert G. Ingersoll bilang, ‘Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia.’ Itu berarti juga pengorbanan dari kita. Kalau menurut konsep Aly Haidar, ‘Nikmat yang akan didapatkan dalam sebuah proses akan sepadan dengan kesusahan yang telah dialami. Begitu juga kesengsaraan akan dibalas setimpal sesuai kenikmatan yang telah tergapai.’ Nah, intinya kesengsaraan itu juga menjadi bahan utama untuk menjadikan kita bahagia,” panjang lebar ceramahku.
“Aku ingin ada orang yang bisa merubahku,” Afiq mecoba menjelaskan masalahnya.
“Oh, Jadi kamu pengennya yang instan, yang cepet, nggak mau berubah sendiri?” sejenak aku berhenti untuk mengambil nafas.