Tak seperti biasanya hari ini Purnama pulang lebih awal. Purnama membuka pintu gerbang rumah yang terbuat dari papan-papan kayu berlempeng besi itu. Rumahnya sederhana walau tampak berukuran besar dan luas.
Rumah itu memanjang menghadap ke selatan. Kedua sisi rumah tampak dibagi menjadi dua bagian. Sebelah barat dijadikan galeri seni sedangkan sebelah timur dijadikan tempat di mana keluarga Purnama tinggal.
Di sebelah barat rumah, yaitu galeri seni banyak sekali benda yang dipajang di sana, ukiran, instalasi, sampai patung-patung beraneka ragam. Namun yang paling banyak menghiasi ruangan itu adalah lukisan, mulai panorama, abstrak, sampai dengan potrait manusia.
Suasana di sana selalu sepi, hampir tak ada pengunjung setiap harinya. ‘Tampaknya, sudah tak ada lagi yang peduli pada seni’ kata Purnama di satu kesempatan.
Memang setiap hal berbau seni, di zaman modern yang serba digital kini sudah dianggap kuno, dianggap sebagai infestasi semu dan sedikit sekali peminatnya. Hal itu secara tak langsung ikut memengaruhi hidup sang Ayah yang telah menggantungkan seluruh hidupnya kepada karya-karya lukisnya.
Purnama kemudian masuk ke bagian timur rumah. Di sana keadaannya benar-benar menampilkan suasana rumah pada umumnya: ada tiga buah kursi dan satu meja sederhana dari rotan, dinding rumah di dekor dengan amat sederhana bahkan cenderung tidak mendapat sentuhan dekorasi. Suasananya sangat berbeda dengan ruang galeri seni.
Di dalam rumah, Purnama mendapati Melati, sang adik, tengah ditemani telepon genggamnya duduk santai di ruang tamu.
“Kamu sudah pulang dik? Ibu sama Ayah di mana?” tanya Purnama.
“Ayah di galeri kak. Kalau Ibu, Ibu belum pulang,” jawab Melati datar. Pandangannya masih tetap menancap di layar telepon genggamnya.
“Ibu... Katanya jam 12 mau pulang?”
“Katanya ada meeting mendadak atau ada apalah di kantornya,” jawab Melati tetap tidak memalingkan pandangannya.
Purnama lalu menyimpan tas di meja dan duduk di kursi samping jendela beranda rumah. “Eh, tadi bagimana kata bagian keuangan?” Purnama memulai topik obrolan baru.
“Melati dikasih toleransi kak, sampai ujian semester nanti. Kalau soal bayar kuliah katanya bisa dicicil.”
“Syukurlah.”
“Hmm... Ibu belum pulang, padahal aku ada kabar baik ini,” ujar Purnama.
“Ibu kan seperti itu kak. Kerja nomor satu. Gak tahu kita ada di urutan berapa,” lanjut Melati tiba-tiba ketus, lalu pergi meninggalkan sang kakak.
“Sudahlah, dik tunggu,” Purnama mengejar Melati. “Tunggu dulu Dik, kamu tahu tidak?”
“Apa?”
“Novel kakak mau diterbitkan. Ada orang yang mau membantu kakak,” seru Purnama penuh semangat.
“Yang benar Kak? Kakak bakal jadi penulis dong?”
“Yaaa begitulah, heheheee.”
“Selamat Kak!”
“Aku harus segera beri tahu Ayah.”
“Kak!”
“Ada apa?”
“Tunggu.”
“Kenapa?”
“Ayah, sepertinya habis bertengkar.”
Mendengar hal itu perasaan Purnama yang sedang bahagia seketika berubah jadi cemas dan hati-hati.
Di dalam galeri, tampak Ayah sedang melukis. Setiap goresan kuasnya tampak kasar. Sebuah kanvas di depannya sedang ia coret-coret. Warna-warna dengan nuansa gelap saling menimpa di sana.
Purnama yang berdiri di belakang sang Ayah, terkejut melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya itu. “Ayah, bukankah itu lukisan Ibu? Ada apa ini Yah?”
Mendengar suara Purnama, Ayah berhenti. Dengan santai dan masih memandangi kanvas di depannya Ayah lalu menyimpan semua peralatan lukisnya di atas meja.
“Oh kamu nak, sudah pulang rupanya,” Ayah tersenyum dingin melihat wajah Purnama menuntut jawaban atas pertanyaannya itu.
“Oh, ini? Tidak ada apa-apa. Ayah hanya sedang butuh kanvas baru. Ini juga kan lukisan lama. Biar nanti Ibu Ayah lukis lagi. Kalau beli kanvas baru mahal harganya, sayang.”
Jawaban Ayah sangat sederhana, namun bagi Purnama itu cukup masuk akal. Apalagi jika melihat kondisi keuangan mereka saat ini yang sedang dalam situasi genting.
“Bagaimana kuliahmu nak?” tanya Ayah.
“Seperti biasa, tak ada yang istimewa,” jawab Purnama. “Tapi, ada satu hal yang ingin aku kabarkan pada Ayah.”
“Apa itu?”
“Novelku akan segera terbit Yah! Ada orang yang mau membantuku!”
“Benarkah nak?” tanya Ayah.
Purnama mengangguk, tersenyum lebar. Sang Ayah tampak sangat gembira mendengar kabar itu. “Selamat nak! Selamat!”
“Aku harap, dari sana, nantinya bisa membantu hidup kita Yah.”
Ayah tersenyum. “Siapa orang yang mau membantumu itu nak? Kalau ada waktu ajaklah ia kemari. Ayah ingin mengucapkan terima kasih padanya.” Kini rona bahagia tampak di wajah Ayah.
Purnama lalu menjelaskan tentang sosok yang akan membantunya itu. Setelah bicara dengan Ayah, Purnama lalu izin keluar, hendak pergi ke Taman Ismail Marzuki. Purnama dan orang yang membantunya akan diskusi kecil-kecilan di sana.
“Nak, kalau di luar sana ada orang yang butuh jasa melukis, kabari Ayah ya. Ayah sudah lama tidak ada order. Ayah juga tidak mau kalah denganmu.” Ayah tersenyum.
.......................…..
Malamnya, di salah satu kios buku dekat Taman Ismail Marzuki, Purnama ditemani seorang teman sedang melihat-lihat buku di sana. Teman Purnama lalu mendapatkan buku yang sedang ia cari.
“Karena ini kios buku langgananku, biar aku saja yang membayarnya. Biar dapat potongan harga. Mana bukunya?” kata Purnama setengah berbisik kepada temannya.
“Buku ini berapa koh?” tanya Purnama sambil mengacungkan sebuah buku tebal berjudul Ensiklopedia Mesin ke si penjaga kios.
“150 ribu aja. Udah diskon itu, harga kawan,” kata penjaga kios lengkap dengan kekhasan cara bicaranya, cadel di huruf r.
“Waduh Koh, buku KW ini. Gak bisa kurang?”
“Gak bisa. Ini buku udah langka. Gak dicetak lagi!”
“Bukannya tiap bulan suka ada cetak ulang ya, versi KW,” ucap Purnama bercanda.
“Gak ada, buku ini udah gak direstok. Kapan si gue boong. Ini buku terakhir,” ujar si penjaga kios sambil berlalu dari hadapan Purnama dan kawannya itu.
Purnama membayangkan tak lama lagi bukunya akan bernasib buruk terdampar di sini, versi bajakan tentunya. Kegiatan memperbanyak buku secara ilegal jelas akan merusak ekosistem perbukuan. Profit penjualan akan berputar di tangan si pembajak, sedangkan si penulis tidak akan mendapat laba dari produk itu.
Maka tak jarang akhirnya banyak penulis yang strugle dan lebih memilih banting stir dari dunia kepenulisan. Namun berbeda dengan Purnama, ia merupakan pribadi yang punya idealisme tingkat dewa. Ia mempunyai mimpi jadi penulis dunia seperti Stephen King atau Ernest Hemingway.
“Bukunya KW semua ya Koh?” tanya Purnama kembali iseng sambil menyerahkan 3 lembar uang 50 ribuan kepada si penjaga kios.
“Pertanyaan kuno. Untung jadi beli lu. Belajar sana yang rajin, jangan sampai kayak gue gini,” ujar si penjaga kios.
“Semua yang Koh kerjakan ini menakjubkan,” Purnama menunjuk semua bagian kios. Tak ada sama sekali sudut yang kosong di sana, semuanya diisi buku. Tumpukan buku bahkan banyak yang sampai mentok ke langit-langit ruangan.
“Gue jual barang-barang bajakan lu kan tahu. I-le-gal. Kalo lu rajin belajar, nanti punya pekerjaan bagus, punya uang banyak. Dari sana nanti hidup lu bakal bagus. Kalau lu berkeluarga pun bakal gak banyak masalah.” Sang penjaga kios mencecar Purnama, tak lupa masih setia dengan bunyi cadelnya itu.
Purnama tertegun mendengar kalimat terakhir yang disampaikan si penjaga kios. Keluarga? Kenapa dengan keluarga? Banyak masalah? Hah? Di tengah renungannya itu si penjaga kios tiba-tiba menyalami Purnama.
"Ini kembaliannya. Gue tau ini buku bukan buat lu, tapi buat temen lu ini," ujar penjaga kios ke Purnama yang masih terdiam. "Kalo cari-cari buku lagi pokoknya mampir aja ke sini ya mas. Dijamin, kualitas barang dan pelayanannya nomor satu," ujar penjaga kios, kini ke teman Purnama.
Sambil berusaha menata diri dan perasaannya, Purnama kemudian merentangkan satu lembar uang 50 ribuan itu ke hadapan temannya. "Diskon berhasil, hehehe." Celetuk Purnama.
.......................…..
Dari kios buku, keduanya lalu pergi ke Taman Ismail Marzuki. Purnama ikut menumpang naik motor skuter antik warna merah marun milik temannya itu.
Mereka bertemu dengan seorang pria di sana, berkaca mata hitam, berjas hitam, berdasi merah. Pria itu berpenampilan necis bak orang penting.
Setelah diskusi cukup lama pria itu lalu mengeluarkan satu buku yang cukup tebal dari dalam koper yang dibawanya. Ia kemudian meletakkan buku itu ke atas meja. Sebuah dummy atau contoh cetakan pertama buku sebelum di cetak secara masal.
Tak lama pria itu lalu izin undur diri lebih dahulu, pergi dengan mobil hitam berplat biru metalik mewah buatan Jerman. Tinggal Purnama dan temannya kini di Taman Ismail Marzuki.
“Terima kasih kawan, kau telah banyak membantuku,” kata Purnama sambil mengacungkan contoh novel yang ditinggalkan pria tadi.
“Ah aku tidak membantu apa-apa. Ayahku memang bekerja di penerbitan buku. Kebetulan ia juga tertarik dengan proyek penulisanmu,” kata sang teman.
“Kalian orang baik, beruntung aku,” sahut Purnama.
Di tengah letupan-letupan rasa bahagia itu tiba-tiba telepon genggam Purnama berdering. Terpampang di layar telepon genggamnya itu: Panggilan dari Melati. Purnama segera mengangkat panggilan itu.
Panggilan dari Melati tak berlangsung lama, namun panggilan singkat itu cukup membuat Purnama gelisah.
“Aku harus pulang,” kata Purnama.
“Sepertinya darurat. Mari aku antar, ini sudah malam juga.”
“Tidak usah, terima kasih. Tidak apa-apa, rumahku dekat ini.” Purnama menolak, lalu tersenyum berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang tengah dirasakannya. Ia mengambil contoh novelnya lalu pergi meninggalkan sang teman.
Di tengah malam tanpa rembulan itu Purnama berjalan dengan sangat cepat menuju rumah, khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk di sana.
Di rumah, Purnama melihat Melati sedang menangis sesenggukan di ruang tamu. Ia pun melihat hal yang sama terjadi pada Ibu. Sedangkan di galeri, terdengar suara gaduh, barang-barang terdengar dibanting. Siapa yang menggila di galeri seni? Ayah?!
Dalam tangisnya itu Melati tampak sangat tertekan. Saat sadar bahwa kakak sudah ada di depan pintu rumah, Melati lalu lari ke dalam kamarnya.
“Ada apa ini bu?” tanya Purnama.
Ibu menggeleng, Ibu yang masih lengkap berpakaian kantor itu lalu terduduk menangis tersedu-sedu dan tersenyum penuh kepahitan.
“Tak ada apa-apa nak. Maafkan Ibu. Ibu selalu sibuk bekerja dan jarang ada di rumah. Tapi itu semua demi kalian, demi kuliah kamu dan Melati, demi Ayahmu. Kamu tahu 'kan, kalau kita hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan lukisan Ayahmu, kita bakal tidak bisa makan!”
“No-Novelku akan diterbitkan bu,” kata Purnama.
Ibu tersenyum datar. Sementara itu di depan rumah, Ayah terlihat penuh dengan amarah buru-buru pergi bersama beberapa gulung lukisan di punggungnya.
Melihat hal itu, Ibu kembali menangis. Ia segera pergi ke kamar lalu menutup pintunya, keras! Purnama pergi ke kamar Melati. Melati masih menangis.
“Mereka bertengkar kak!” kata Melati.
“Ayah ingin Ibu berhenti bekerja, fokus mengurus rumah, tapi Ibu menolaknya. Ibu bilang Ayah sudah gila, tidak realistis! A-Aku berhenti kuliah saja kak! Lebih baik cari uang!” kata Melati.
“Jangan bicara begitu!” Ayah sama Ibu hanya salah paham. Biarkan mereka meredakan emosinya dulu. Besok kakak akan coba bicara lagi dengan mereka,” timpal Purnama....*** (Cerpen Keluarga: Jangan Bersedih, Purnama Bagian 1 bersambung ke bagian 2)
Jangan Bersedih Purnama: Cerpen ke-2 Trilogi Perspektif
Trilogi Perspektif: Mentari di Malam Hari; Jangan Bersedih Purnama; Melawan Arus.
Penulis : Dede Rudiansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H