Dari kios buku, keduanya lalu pergi ke Taman Ismail Marzuki. Purnama ikut menumpang naik motor skuter antik warna merah marun milik temannya itu.
Mereka bertemu dengan seorang pria di sana, berkaca mata hitam, berjas hitam, berdasi merah. Pria itu berpenampilan necis bak orang penting.
Setelah diskusi cukup lama pria itu lalu mengeluarkan satu buku yang cukup tebal dari dalam koper yang dibawanya. Ia kemudian meletakkan buku itu ke atas meja. Sebuah dummy atau contoh cetakan pertama buku sebelum di cetak secara masal.
Tak lama pria itu lalu izin undur diri lebih dahulu, pergi dengan mobil hitam berplat biru metalik mewah buatan Jerman. Tinggal Purnama dan temannya kini di Taman Ismail Marzuki.
“Terima kasih kawan, kau telah banyak membantuku,” kata Purnama sambil mengacungkan contoh novel yang ditinggalkan pria tadi.
“Ah aku tidak membantu apa-apa. Ayahku memang bekerja di penerbitan buku. Kebetulan ia juga tertarik dengan proyek penulisanmu,” kata sang teman.
“Kalian orang baik, beruntung aku,” sahut Purnama.
Di tengah letupan-letupan rasa bahagia itu tiba-tiba telepon genggam Purnama berdering. Terpampang di layar telepon genggamnya itu: Panggilan dari Melati. Purnama segera mengangkat panggilan itu.
Panggilan dari Melati tak berlangsung lama, namun panggilan singkat itu cukup membuat Purnama gelisah.
“Aku harus pulang,” kata Purnama.
“Sepertinya darurat. Mari aku antar, ini sudah malam juga.”