“Tidak usah, terima kasih. Tidak apa-apa, rumahku dekat ini.” Purnama menolak, lalu tersenyum berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang tengah dirasakannya. Ia mengambil contoh novelnya lalu pergi meninggalkan sang teman.
Di tengah malam tanpa rembulan itu Purnama berjalan dengan sangat cepat menuju rumah, khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk di sana.
Di rumah, Purnama melihat Melati sedang menangis sesenggukan di ruang tamu. Ia pun melihat hal yang sama terjadi pada Ibu. Sedangkan di galeri, terdengar suara gaduh, barang-barang terdengar dibanting. Siapa yang menggila di galeri seni? Ayah?!
Dalam tangisnya itu Melati tampak sangat tertekan. Saat sadar bahwa kakak sudah ada di depan pintu rumah, Melati lalu lari ke dalam kamarnya.
“Ada apa ini bu?” tanya Purnama.
Ibu menggeleng, Ibu yang masih lengkap berpakaian kantor itu lalu terduduk menangis tersedu-sedu dan tersenyum penuh kepahitan.
“Tak ada apa-apa nak. Maafkan Ibu. Ibu selalu sibuk bekerja dan jarang ada di rumah. Tapi itu semua demi kalian, demi kuliah kamu dan Melati, demi Ayahmu. Kamu tahu 'kan, kalau kita hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan lukisan Ayahmu, kita bakal tidak bisa makan!”
“No-Novelku akan diterbitkan bu,” kata Purnama.
Ibu tersenyum datar. Sementara itu di depan rumah, Ayah terlihat penuh dengan amarah buru-buru pergi bersama beberapa gulung lukisan di punggungnya.
Melihat hal itu, Ibu kembali menangis. Ia segera pergi ke kamar lalu menutup pintunya, keras! Purnama pergi ke kamar Melati. Melati masih menangis.
“Mereka bertengkar kak!” kata Melati.