Dari penggambaran tentang dampak kisruh Rusia Ukraina terhadap sepak bola yang sebertele-tele ini, saya kemudian mengaitkannya dengan revolusi pemikiran. Perubahan pola pikir yang cepat maupun lambat pasti akan dialami individu maupun sosial. Berhubung skala regenerasi manusia tidak sampai lebih dari 100 tahun, maka saya menyebutnya revolusi, bukan evolusi.
Revolusi juga dapat diberlakukan dalam perubahan pemikiran seseorang hanya dalam hitungan 24 jam. Bahkan, ketika seseorang punya pemikiran A sebelum tidur, ia bisa menjadi berpikir B setelah bangun dari tidurnya.
Apakah itu menandakan ia plin-plan?
Menurut saya, tidak. Orang yang dapat mengubah pemikirannya selama itu berdampak positif bagi dirinya dan orang lain--tidak semua, maka orang tersebut dapat disebut sebagai penerima opsi, alias sosok yang open minded jika harus menggunakan kosakata yang populer saat ini.
Menjadi orang yang open minded itu tidak mudah, karena harus berkaitan dengan ego, pengetahuan, dan pemahaman. Setiap orang punya ego, secara individu maupun komunal. Begitu juga dengan pengetahuan dan pemahaman. Masing-masing punya standarnya sendiri.
Itulah kenapa, ketika ada sikap yang berubah, tindakan yang berubah, hingga kebijakan yang berubah, itu tidak dapat serta-merta disebut plin-plan. Orang yang vokal mengatakannya pun saya yakin akan melakukan hal sama ketika dia sudah berdekatan dengan kepentingan bersama.
Orang yang vokal meneriakkan standar ganda, plin-plan, dan sejenisnya, kemungkinan besar setiap hari hanya fokus memikirkan hidupnya sendiri, dan belum tentu sudah beres. Itulah mengapa, ketika FIFA, UEFA, dan sepak bola terlihat kemarin A lalu besok B, ya itulah kehidupan yang sebenarnya kita hadapi dan mungkin kita miliki--cuma kita yang kadang tidak (mau) sadar.
Sepengetahuan dangkal saya, kehidupan akan dan pasti ada revolusi, entah adil dan tidak adil. Dan manusia yang punya akal--yang senantiasa harus dipakai, juga harusnya punya revolusi pemikiran, entah besar atau kecil.
Kira-kira begitu.
---
Malang, 27 Maret 2022
Deddy Husein S.
Catatan: tulisan ini hanya bagian dari persepsi individu yang (amat) menyukai sepak bola juga (mau tidak mau) hidup dalam kemanusiaan dan sosial. Artinya, tidak ada jaminan tulisan ini memuat kebenaran yang mutlak. Semua dapat dan layak diperdebatkan. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H