Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Standar Ganda FIFA, Revolusi Pemikiran, dan Plin-plan

27 Maret 2022   15:02 Diperbarui: 28 Maret 2022   18:45 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo FIFA di atap markas badan sepak bola dunia di Zurich, Swiss, Rabu (27/5/2015).(FABRICE COFFRINI / AFP via kompas.com)

Dalam beberapa waktu ini, tepatnya sejak Rusia menginvansi wilayah Ukraina yang bertujuan untuk melumpuhkan kekuatan militer Ukraina, Rusia kemudian diboikot oleh dunia. Terutama, pemboikotan dilakukan di dunia olahraga.

Setiap federasi olahraga dunia menyingkirkan Rusia dari setiap arena olahraga. Dari ajang balap, sepak bola, hingga olahraga secara umum. Namun, yang paling menyita perhatian bagi saya adalah sektor sepak bola.

Dari penyentilan Spartak Moskow dari Liga Europa, Timnas Rusia dari play-off kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar, hingga penendangan Roman Abramovich dari Chelsea.

Jika disuruh memilih mana yang cukup tepat, pendepakan timnas Rusia masih relevan, karena itu memang tim Rusia. Sedangkan, untuk Spartak Moskow masih 50-50, karena tim itu tidak hanya dihuni pesepakbola Rusia. Tetapi memang, klub tersebut berasal dari Rusia.

Kemudian, apa yang terjadi kepada Roman Abramovich, saya sebenarnya setuju, dalam artian, Abramovich didepak dengan catatan mempunyai tenggat waktu tertentu untuk melakukan pergantian kepemilikan Chelsea. Karena, apa yang terlibat dalam struktur dan sistem Chelsea sudah bersangkutan dengan skala semi-makro.

Disebut kecil, tidak pantas, disebut besar juga bukanlah dalam standar sebuah negara, terutama negara-negara besar seperti Inggris dan lainnya. Itulah mengapa segala hal yang berkaitan antara Chelsea dengan Abramovich harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang tepat untuk dapat menyingkirkan aroma Rusia dari Chelsea.

Lalu, bagaimana dengan tajuk Save Ukraine, Stop War, Stop Invasion, dan sebagainya yang berseliweran di sepak bola? Bukankah itu berkaitan dengan politik, dan artinya mencampurkan sepak bola dengan politik?

Dari zaman tenarnya Lev Yashin, Pele, hingga Kylian Mbappe, sepak bola juga ada politiknya. Hanya saja, politik di sini adalah keilmuan, alias suatu peran untuk menjalankan struktur organisasi, dari skala kecil yakni klub hingga skala besar seperti federasi yakni FIFA.

Artinya, politik yang ingin dijauhkan dari sepak bola adalah politik pemerintahan. Rasanya memang mustahil, namun kenyataannya FIFA terlihat cukup bisa melakukan itu walaupun perlu adanya dukungan juga dari pihak yang ingin menunjukkan bahwa FIFA 'netral', yakni dengan berbasis di Swiss, bukan di Amerika Serikat (AS) ataupun negara kuat secara ekonomi maupun sepak bolanya di Eropa.

Salah satu nilai positif dari tajuk No Politic Intervension dari sepak bola adalah tidak terlihatnya kekisruhan kalender sepak bola di tengah adanya praktik politik seperti pemilihan umum (pemilu). 

Terlepas dari kebanyakan negara Eropa menggunakan sistem parlementer dan perdana menteri bukan presiden, namun kita bisa melihat bahwa sepak bola seringkali tetap jalan terus di saat sekelilingnya ada permasalahan.

Contoh nyatanya seperti eksistensi tim nasional Suriah, Irak, Palestina, Ethiopia, hingga Korea Utara. Di saat politik pemerintahannya "tidak normal", nyatanya sepak bolanya tetap jalan terus. Bahkan, mereka masih di atas level timnas Indonesia. Suka-tidak suka, sayangnya itu fakta.

Artinya, sepak bola seperti suatu oase di tengah kemajemukan olahraga. Jarang ada olahraga yang seperti itu. Bahkan, American Football cenderung terpengaruh dengan AS, kriket juga cenderung terikat dengan negara bekas persemakmuran Inggris. Sedangkan, sepak bola dapat menyebar di Amerika Selatan, Afrika, Eropa, hingga Asia Tenggara. Dan, mereka semua terlihat berhak mengakui sepak bola sebagai identitasnya.

Di situlah hebatnya sepak bola, yang harus diakui bahwa bisa saja karena ia tidak terikat dengan politik (pemerintahan) yang jika didalami lagi juga dapat membawa politik identitas, makin bikin pusing jika membahasnya juga. 

Intinya, dari fleksibilitas sepak bola terhadap dunia itulah yang kemudian dapat kita lihat, bahwa FIFA juga berusaha menjangkaukan sepak bola kepada dunia Timur Tengah (Asia Barat), yang sepanjang saya hidup isinya cuma perang dan terorisme yang paling populer.

Itulah kenapa Piala Dunia 2022 diselenggarakan di Qatar. Negara yang jaraknya dengan Afghanistan, Irak, dan Palestina, ibarat beda blok perumahan saja.

Bagi yang iri dan ingin menjadi pahlawan kemanusiaan saat penunjukan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia, maka segala borok Qatar ditunjukkan lewat media sosial dan media massa digital. 

Begitu juga dengan borok yang ada di Azerbaijan, negara yang beribukota di Baku itu juga punya borok HAM yang berusaha dikuak saat mereka mulai mendekati sepak bola Eropa yang salah satunya dengan menjadi tuan rumah final Liga Europa 2019.

Apa yang terjadi?

Presiden FIFA, Gianni Infantino (kiri) bersama salah seorang legenda sepak bola, Samuel Eto'o (26/2/2021). Photo by: Instagram.com/@fifaworldcup
Presiden FIFA, Gianni Infantino (kiri) bersama salah seorang legenda sepak bola, Samuel Eto'o (26/2/2021). Photo by: Instagram.com/@fifaworldcup

Sepak bola tidak terpengaruh. Jalan terus. Chelsea dapat bersukacita mengangkat piala kasta kedua, dan saya yakin juara Piala Dunia 2022 nanti juga akan berbahagia di Qatar. Apalagi, dengan kalender penyelenggaraannya berdekatan dengan Natal dan Tahun Baru, maka itu akan menjadi kado indah bagi yang juara.

Dari sini kita dapat melihat bahwa standar ganda yang dilakukan FIFA dan UEFA sudah ada sejak sebelum kita melihat segala tajuk beraroma Ukraina ada di sepak bola saat ini. 

Memang, FIFA dan UEFA sedikit melakukan kesalahan dengan mengabaikan atau malah memberi sanksi terhadap aksi-aksi simpatisan pesepak bola atau suporter Eropa terhadap Palestina dan negara lain yang terkena dampak perang. Tetapi yang mereka lakukan juga tidak sepenuhnya salah, karena yang harusnya peduli dengan Palestina, Afghanistan, hingga Myanmar sekalipun, itu bukan UEFA--federasi sepak bola Eropa, tetapi AFC--federasi sepak bola Asia.

Jika AFC peduli dengan Palestina dll., maka mereka bisa mengkomunikasikannya ke FIFA. Meminta bantuan simpatik atau pun sejenisnya. Itulah yang dilakukan UEFA ketika Ukraina terbombardir Rusia.

Kenapa UEFA bisa begitu?

Karena, UEFA bagian dari Uni Eropa, bagian dari negara-negara Eropa yang terancam keamanannya dari amukan Rusia. Agar keamanan negara Eropa tidak semrawut seperti Ukraina, maka mereka harus menghindari perang senjata, akhirnya dicarilah cara lain, yakni penggembosan terhadap Rusia dari segala lini. Salah satunya dengan boikot Rusia dalam elemen sosial dan ekonomi.

Salah duanya adalah membentuk simpatisan tinggi di Eropa melalui sepak bola, yang notabene menjadi "agama" kedua masyarakatnya. Itulah yang sebenarnya dilakukan FIFA, yakni mengakomodasi nasib anggotanya yang memang berkaitan erat dengan kedaulatan negara.

Jika Eropa hancur, sepak bolanya yang menjadi kiblat sepak bola dunia juga hancur, sesederhana itu logika yang mendasari keputusan FIFA. Dan inilah yang menurut saya tidak ada salahnya untuk diambil.

Kalaupun kemudian menyengsarakan Chelsea, saya pikir, itu sebenarnya yang salah bukan FIFA dan UEFA, tetapi kebijakan pemerintah Inggris yang terlalu cepat dalam memberi hukuman tanpa memproses tindakan pencegahan terhadap Chelsea dari carut-marut sistem operasionalnya. Kalau Roman Abramovich pelaku korupsi, pembekuan finansial klub wajib dilakukan, tetapi jika Abramovich bukan pelaku korupsi, masa' iya finansial klub dibekukan di saat mereka butuh dana operasional?

Tetapi, di sisi lain, saya juga berpikir bahwa apa yang terjadi pada Chelsea tidak akan sangat besar pengaruhnya terhadap sirkulasi operasional yang dibutuhkan pemain. Ada faktor yang melandasinya, yakni kesejahteraan pemain.

Jikalau, Chelsea adalah klub Indonesia, saya yakin aktivitas klub langsung lumpuh hanya dalam hitungan hari, bukan pekan dan bulan. Karena, kalaupun ada patungan dari pemain, tidak akan cepat menutupi kebutuhan tim saat berkompetisi. Gaji pemain Indonesia berapa? Hedonismenya--yang meniru gaya hidup atlet mancanegara--juga butuh modal berapa? Sudahkah terikat apparel olahraga?

Nah, hal semacam itu yang membedakan dengan Chelsea yang para pemainnya sudah bergaji tinggi. Di situlah letak guna gaji tinggi dari pemain sepak bola dewasa ini. Ditambah, sepak bola juga baru saja terkena dampak pandemi yang sempat membuat para pemain terpotong gajinya, maka fenomena Chelsea--akibat ulah Rusia--ini tidak terlalu mengejutkan, walaupun harus segera diakhiri.

Dari penggambaran tentang dampak kisruh Rusia Ukraina terhadap sepak bola yang sebertele-tele ini, saya kemudian mengaitkannya dengan revolusi pemikiran. Perubahan pola pikir yang cepat maupun lambat pasti akan dialami individu maupun sosial. Berhubung skala regenerasi manusia tidak sampai lebih dari 100 tahun, maka saya menyebutnya revolusi, bukan evolusi.

Revolusi juga dapat diberlakukan dalam perubahan pemikiran seseorang hanya dalam hitungan 24 jam. Bahkan, ketika seseorang punya pemikiran A sebelum tidur, ia bisa menjadi berpikir B setelah bangun dari tidurnya.

Apakah itu menandakan ia plin-plan?

Menurut saya, tidak. Orang yang dapat mengubah pemikirannya selama itu berdampak positif bagi dirinya dan orang lain--tidak semua, maka orang tersebut dapat disebut sebagai penerima opsi, alias sosok yang open minded jika harus menggunakan kosakata yang populer saat ini.

Menjadi orang yang open minded itu tidak mudah, karena harus berkaitan dengan ego, pengetahuan, dan pemahaman. Setiap orang punya ego, secara individu maupun komunal. Begitu juga dengan pengetahuan dan pemahaman. Masing-masing punya standarnya sendiri.

Itulah kenapa, ketika ada sikap yang berubah, tindakan yang berubah, hingga kebijakan yang berubah, itu tidak dapat serta-merta disebut plin-plan. Orang yang vokal mengatakannya pun saya yakin akan melakukan hal sama ketika dia sudah berdekatan dengan kepentingan bersama.

Orang yang vokal meneriakkan standar ganda, plin-plan, dan sejenisnya, kemungkinan besar setiap hari hanya fokus memikirkan hidupnya sendiri, dan belum tentu sudah beres. Itulah mengapa, ketika FIFA, UEFA, dan sepak bola terlihat kemarin A lalu besok B, ya itulah kehidupan yang sebenarnya kita hadapi dan mungkin kita miliki--cuma kita yang kadang tidak (mau) sadar.

Sepengetahuan dangkal saya, kehidupan akan dan pasti ada revolusi, entah adil dan tidak adil. Dan manusia yang punya akal--yang senantiasa harus dipakai, juga harusnya punya revolusi pemikiran, entah besar atau kecil.

Kira-kira begitu.
---
Malang, 27 Maret 2022
Deddy Husein S.

Catatan: tulisan ini hanya bagian dari persepsi individu yang (amat) menyukai sepak bola juga (mau tidak mau) hidup dalam kemanusiaan dan sosial. Artinya, tidak ada jaminan tulisan ini memuat kebenaran yang mutlak. Semua dapat dan layak diperdebatkan. Terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun