Kamboja juga cenderung membiarkan para pemain Indonesia menguasai bola sampai melewati area tengah lapangan. Artinya, Kamboja menerapkan pertahanan garis bawah, alih-alih melakukan tekanan dengan garis tinggi.
Imbasnya, Indonesia mampu membangun serangan dan mengarahkan bola ke area kotak penalti Kamboja. Jika nahas, bola itu bisa saja langsung mengarah ke gawang. Kalau sedikit beruntung, bola akan dapat diblok namun menjadi sepak pojok.
Di sinilah, Indonesia kembali mencetak gol dan seperti gol pertama, Rachmat Irianto mampu mencetak gol lewat sundulan. Bedanya, hanya ada di titik sepak pojok dan pengeksekusi sepak pojok, yaitu Pratama Arhan.
Unggul tiga gol, Indonesia bukannya makin mengintimidasi lawan, justru menurunkan tempo permainan. Mereka juga "menyerahkan" permainan ke Kamboja.
Akibatnya, Kamboja mampu memperkecil ketertinggalan dengan memanfaatkan sepak pojok juga. Skor 3-1 menutup paruh pertama.
Di sinilah, penonton mulai bisa melihat pembuktian dari pernyataan Ryu Hirose. Permainan Kamboja di 15 menit terakhir babak pertama memperlihatkan kemampuan Kamboja dalam menguasai bola dan membangun serangan dari bawah.
Pada babak kedua, pemandangan serupa terjadi. Dan justru makin terlihat jelas, karena giliran Indonesia yang bertahan dengan garis rendah.
Operan-operan pendek pemain Kamboja bisa dikatakan ciamik. Hanya saja, operan akhirnya yang sulit membuahkan gol, karena penempatan pemain dan penyelesaian akhir yang tidak tepat.
Meski begitu, Kamboja sebenarnya sudah menyalakan alarm kepada Indonesia. Hanya saja, Indonesia terlihat seperti kurang waspada.
Jika ada yang menyatakan bahwa pergantian pemain Indonesia menyebabkan permainan Indonesia mengalami penurunan, sepertinya tidak seratus persen tepat. Justru, sepertinya ini karena perubahan taktik dan penurunan stamina.
Taktik di babak pertama, terutama pada 30 menit awal, Indonesia bermain dengan penekanan tinggi. Permainan Kamboja tidak berkembang karena penguasaan bola mereka terus diganggu sejak garis bawah.