Tahap itulah yang membuat orang-orang yang dikritik sebenarnya sudah layak diapresiasi. Hanya saja, ada dua jenis apresiasi yang ada, yaitu proaktif (setuju) dan kontradiktif (berlawanan).
Apresiasi yang mengandung unsur proaktif, berarti akan berwujud pada pujian. Siapa orang yang tidak mau dipuji?
Saya pun mau, walau saya lebih memilih diberi bayaran uang dibandingkan hanya pujian. Becanda.
Apresiasi kedua adalah berunsur kontradiktif. Berarti, akan berwujud kritikan.
Misalnya, ada orang penggemar bola Indonesia yang langsung bilang, "PSSI Goblok!"
Coba bandingkan dengan, "PSSI sangat lambat dalam mengatasi polemik akibat Covid-19 dan menghadapi izin kompetisi dari POLRI yang takkunjung turun. Pihak DPR Komisi X dan Kemenpora juga cenderung kurang bergelora menghidupkan kembali sepak bola. Padahal, mereka ada di bagian yang seelemen dengan PSSI, yaitu olahraga."
Dua contoh itu sama-sama menyalurkan rasa kecewa, tetapi dengan cara yang berbeda. Contoh pertama, jelas itu adalah olok-olok. Itu seperti ketika seorang siswa yang mengatakan ke siswa lain dengan dua kata, "Dasar goblok!"
Kalau sudah demikian, kita wajib menyadari bahwa mengkritik itu sangat tidak mudah. Selain harus ikhlas, punya modal sekalipun sedikit, juga harus bisa mempertimbangkan bagaimana tata bahasa yang digunakan.
Selain itu, kritikan juga selalu dianggap kurang cantik, karena jika dibaca sekilas akan menimbulkan kekecewaan. "Sudah dikasih hati kok meminta lainnya", ibaratnya begitu kalau membaca kritikan secara sekilas.
Namun, pada kenyataannya kritikan itu tetap menjadi bagian dari sebuah tindakan yang sudah telanjur ada. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa kritik itu adalah apresiasi. Berarti, harus ada sesuatu dulu, baru diapresiasi.