"Hidup tidak pernah adil!"
Sekiranya begitulah yang sering dipikirkan oleh orang-orang yang sedang merasa hidupnya susah. Biasanya, orang yang merasa demikian akan menganggap orang lain seperti tidak ada masalah. Orang lain seperti sudah hidup enak.
Padahal, tidak begitu. Semua orang pasti punya masalah. Hanya, yang terlihat membedakan adalah konteks dan ruang-waktu.
Konteks itu seperti sesuatu yang sedang melingkupi suatu kejadian di waktu dan tempat tersebut. Artinya, konteks juga bisa disebut situasi. Situasi selalu muncul setiap saat dan di mana saja. Selama ada aktivitas dan interaksi, situasi selalu ada.
Itulah yang menyebabkan adanya keragaman, walau pada akhirnya juga bisa menimbulkan konteks global, yang artinya situasi di sini dan di sana ada persamaan. Contoh paling nyata jelas ketika ada pandemi covid-19.
Keberadaan Covid-19 yang kemudian menjadi pandemi, jelas menghasilkan kesamaan konteks antarnegara, dan akhirnya menjadi konteks global alias juga disebut permasalahan global. Nahasnya, ketika berbicara tentang pandemi, kita juga teringat dengan dampaknya yang beragam.
Kesehatan dan kesejahteraan. Khusus pada kesejahteraan, kita bisa mengurainya ke banyak disiplin, seperti ekonomi, pendidikan, tatanan sosial, hingga pola hidup.
Menyinggung soal pola hidup, tidak lepas pula dengan aktivitas yang sangat mendasar, yaitu makan dan minum. Siapa yang tidak melakukan aktivitas mengisi perut?
Ketika pandemi covid-19 merajalela, sektor ini juga sangat terpengaruh. Bahkan, negara-negara yang di situasi "aman" saja ada yang memiliki indeks kelaparan pada penduduknya yang tinggi, apalagi dengan situasi saat ini.
Tetapi, di satu sisi, saya cukup yakin bahwa di antara kita pernah melakukan tindakan itu. Entah, sekali, dua kali, atau kadang-kadang. Saya pun pernah melakukannya, walau padahal untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar itu tidak jarang saya harus berpusing-pusing ria.
Hanya, pada kenyataannya hal itu sulit dihindari. Mengapa bisa begitu?
Itulah mengapa, saya kalau membeli makanan, selalu memastikan bahwa makanan itu dapat diterima oleh perut saya. Kalau saya ingin menuruti lidah saja, semua makanan pasti pernah saya cicipi. Tetapi, pada kenyataannya tidak demikian.
Lewat cara itu, sebenarnya ampuh untuk mencegah tindakan membuang makanan. Tetapi, bagaimana kalau ternyata makanan itu hasil pemberian? Dilema, kan?
Itulah yang membuat tindakan membuang (sisa) makanan terkadang tidak bisa dihindari. Ini bukan faktor menghilangkan rasa syukur, tetapi lebih tepatnya untuk tidak mengakumulasi dampak negatif di kemudian hari pada tubuh kita.
Kitalah yang tahu batas kemampuan perut kita, bukan orang lain. Tetapi, kalau ada orang yang memberi, terima saja. Soal apakah dimakan semua atau tidak, itu sudah tanggung jawab dan konsekuensi kita.
Walaupun memang kita sangat butuh makan, tetapi jika suasana hati tidak bagus, maka ada kemungkinan untuk menolak makanan atau kadar mengonsumsi makanan menjadi tidak sesuai porsi biasanya--selera makan turun.
Ketika hal itu terjadi, maka peluang untuk membuang sisa makanan bisa hinggap di saya dan/atau pembaca. Akibatnya, di lain waktu akan ada penyesalan, karena pernah membuang makanan pada saat itu. Padahal, di waktu lain sangat menginginkan makanan itu.
Misalnya, saat berada di stadion sepak bola dan melihat tim dukungannya kalah, bermain jelek, dan kebobolan. Pada situasi semacam itu, ada kemungkinan bagi kita untuk tidak bisa mengontrol diri dan membuang makanan.
Kita pun bisa ikut-ikutan meluapkan emosi seperti yang dimiliki dan dikeluarkan oleh orang-orang di sekitar kita. Contoh ini tidak jarang terjadi di sepak bola, karena sepak bola selalu melibatkan emosi dan tidak jarang dapat melepaskan kendali diri kita.
Berikut ini juga saya akan sedikit membagikan momen-momen tersebut, yang ternyata diantaranya juga melibatkan pemain-pemain tenar, dan terjadi di berbagai waktu dan tempat.
Dimulai dari yang terlama yang bisa direkam di media massa saat ini, yaitu kejadian pelemparan pisang ke John Barnes. Bagi penggemar Liverpool dan telah lahir sejak minimal 1960-an dan 1970-an tentu akan tahu kejadian itu.
Berhubung saya masih belum lahir dan masih "jauh dari panggang", maka saya hanya mengetahui hal itu dari media massa. Tetapi, saya menduga bahwa pelemparan pisang yang dilakukan suporter Everton tidak lepas dari unsur situasi yang memengaruhi kendali diri.
Walaupun, hanya sebuah pisang, tetap saja saya anggap itu adalah makanan. Dan, tentunya berarti bagi kita yang siapa tahu untuk membeli pisang saja masih pikir-pikir.
Melangkah ke era yang lebih modern, ada kejadian lainnya yang berkaitan dengan pelemparan makanan. Itu dialami oleh legenda Real Madrid, Inter Milan, dan seharusnya Barcelona, yaitu Luis Figo.
Luis Figo memang diketahui memutuskan menyeberang ke Real Madrid dari Barcelona. Akibatnya, dia harus dilempari sebuah kepala babi di pertandingan El Clasico.
Secara pribadi, saya kurang tahu apakah kepala babi dikonsumsi atau tidak. Tetapi, karena daging pada tubuhnya dikonsumsi, maka saya anggap potongan kepala babi juga makanan.
Dan, jika itu dilakukan di lingkungan yang masyarakatnya mengonsumsi daging babi, maka yang dilakukan suporter Barcelona itu juga termasuk membuang makanan. Daripada dibuang, lebih baik dimakan untuk mendinginkan suasana hati yang terpengaruh oleh keberadaan Luis Figo dengan jersey berbeda.
Sebenarnya saya tahu bek sayap ini karena ia bermain di Real Madrid. Selepas itu, saya sulit menemukan jejaknya. Baru beberapa tahun kemudian, saya tahu kalau Roberto Carlos ternyata bermain di klub Anzhi Makachkala.
Klub asal Rusia itu memang tiba-tiba menjadi topik perbincangan hangat masyarakat penggemar bola--termasuk di Indonesia, karena berani menggaji mahal pemainnya. Menariknya, mereka memiliki pemain kelas bintang salah satunya Roberto Carlos, sebelum diperkuat juga oleh Samuel Eto'o.
Saat di musim 2011/12, ada berita kurang bagus untuk disimak, karena terkait dengan pelemparan pisang yang bisa diartikan sebagai tindakan rasialis. Akibatnya, Roberto Carlos enggan bermain di laga tersebut.
Jika berbicara tentang rasialis, nama Balotelli seolah menjadi topik utamanya. Walau ini tentu berkonotasi negatif, alias tidak bisa diterima. Sayangnya, kejadian rasialis yang salah satunya berupa pelemparan pisang terjadi pada tahun 2012, ketika pertandingan penyisihan grup di Euro.
Suporter Kroasia dikabarkan ingin menjatuhkan mental Balotelli yang memang saat itu masih bisa dianggap pemain bagus dan harapan Timnas Italia. Tetapi, sayangnya perundungan ras itu seperti bukan akhir bagi Balotelli hingga kini. Memprihatinkan.
Selain Balotelli, pemain yang tidak jarang mendapatkan siulan dan perundungan dari suporter lawan adalah Dani Alves. Salah satu bentuknya juga berupa pisang.
Uniknya, Dani Alves lebih santai dalam menanggapi pelemparan pisang itu dengan cara memakan pisang yang dilemparkan oleh suporter Villareal. Lumayan, saat sedang mengerahkan banyak energi, ternyata ada yang memberikan sebatang pisang.
Keren, Dani!
Tidak bisa dipungkiri bahwa negara Brasil melahirkan banyak pesepak bola hebat. Itulah mengapa, mereka banyak bermain di Eropa yang bisa disebut sebagai pusatnya sepak bola dunia.
Tetapi, dengan perawakannya yang lebih gelap dibandingkan pesepak bola Eropa, mereka tidak jarang menjadi sasaran rasialis. Salah satunya tentu Neymar.
Setelah bermain di Barcelona, pemain yang pernah memperkuat Santos itu berlabuh ke Paris Saint-Germain (PSG). Jika di Barcelona, ia akan bertemu dengan Real Madrid di El Clasico. Maka, di PSG ia akan bertemu dengan Olympique Marseille di derbi Le Classique.
Pada derbi inilah, ia mendapatkan "menu makan siang" dari suporter Marseille. Ia bahkan harus mendapatkan pengawalan ketika hendak mengambil sepak pojok. Karena, saat momen itulah akan ada banyak aksi pelemparan makanan dan minuman.
Ini sepak bola atau "perayaan ulang tahun"?
Mungkin, kita tidak menyangka bahwa pemain seperti Mesut Ozil akan mendapatkan pelemparan makanan. Tetapi, kenyataannya memang begitu.
Kejadian itu ada di Liga Europa, ketika Arsenal menjamu Atletico Madrid di Emirates Stadium. Tanpa dinyana, ada pelemparan sepotong roti ke arah Mesut Ozil.
Kebetulan, saya juga menonton pertandingan itu. Sehingga, saya juga mengingat bagaimana momen singkat yang sangat mengharukan itu terjadi.
Mesut Ozil tanpa ragu mengambil sepotong roti itu lalu menempelkannya sebentar ke dahi. Akibatnya, banyak pujian terhadap aksi tersebut.
Pendapat itu yang kemudian menginspirasi saya untuk menulis artikel ini dengan relevansi terkait konteks saat ini. Menurut saya, orang-orang bisa tanpa sadar membuang makanan dengan berbagai alasan--termasuk saya. Tetapi, yang seharusnya diingat adalah bagaimana makanan-makanan itu bisa ada dan memberikan dampak kepada kita.
Itulah mengapa, jika pada suatu waktu yang tidak kita inginkan harus membuang makanan, jangan lupa untuk berdoa agar makanan yang kita buang--dengan berbagai keterdesakan--tetap tidak sia-sia. Dan, sembari berharap bahwa kita tidak pernah lagi membuang makanan.
Terima kasih Ozil, Alves, dan orang-orang yang sangat menghargai makanan di segala penjuru bumi ini. Semoga, kita tetap dapat menghargai makanan yang berhasil mampir di genggaman kita.
Remember that we are blessed by God in so many ways. Always be grateful & thankful. #alhamdulillah #JummaMubarak #HayirliCumalar #tb pic.twitter.com/SYS0kGQSIM--- Mesut Ozil (@MesutOzil1088) December 11, 2020
Malang, 28 Desember 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
Kompas.com, Alodokter.com, Mirror.co.uk, Metro.co.uk, Thesun.co.uk, Tribunnews.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H