Tetapi, di satu sisi, saya cukup yakin bahwa di antara kita pernah melakukan tindakan itu. Entah, sekali, dua kali, atau kadang-kadang. Saya pun pernah melakukannya, walau padahal untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar itu tidak jarang saya harus berpusing-pusing ria.
Hanya, pada kenyataannya hal itu sulit dihindari. Mengapa bisa begitu?
Itulah mengapa, saya kalau membeli makanan, selalu memastikan bahwa makanan itu dapat diterima oleh perut saya. Kalau saya ingin menuruti lidah saja, semua makanan pasti pernah saya cicipi. Tetapi, pada kenyataannya tidak demikian.
Lewat cara itu, sebenarnya ampuh untuk mencegah tindakan membuang makanan. Tetapi, bagaimana kalau ternyata makanan itu hasil pemberian? Dilema, kan?
Itulah yang membuat tindakan membuang (sisa) makanan terkadang tidak bisa dihindari. Ini bukan faktor menghilangkan rasa syukur, tetapi lebih tepatnya untuk tidak mengakumulasi dampak negatif di kemudian hari pada tubuh kita.
Kitalah yang tahu batas kemampuan perut kita, bukan orang lain. Tetapi, kalau ada orang yang memberi, terima saja. Soal apakah dimakan semua atau tidak, itu sudah tanggung jawab dan konsekuensi kita.
Walaupun memang kita sangat butuh makan, tetapi jika suasana hati tidak bagus, maka ada kemungkinan untuk menolak makanan atau kadar mengonsumsi makanan menjadi tidak sesuai porsi biasanya--selera makan turun.
Ketika hal itu terjadi, maka peluang untuk membuang sisa makanan bisa hinggap di saya dan/atau pembaca. Akibatnya, di lain waktu akan ada penyesalan, karena pernah membuang makanan pada saat itu. Padahal, di waktu lain sangat menginginkan makanan itu.