Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Kebangkitan AI, Akankah Algoritma Menggantikan Manusia?

29 Maret 2023   21:07 Diperbarui: 29 Maret 2023   21:25 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama berabad-abad sebelumnya, manusia percaya bahwa sumber otoritas yang sebenarnya di dunia bukanlah imajinasi, atau kekuatan kolektif tetapi kebanyakan manusia percaya bahwa otoritas tertinggi berasal dari luar. Kebanyakan dari atas langit. Manusia percaya bahwa otoritas tertinggi berasal dari para dewa.

Sumber otoritas terpenting dalam politik, ekonomi, etika, adalah para dewa agung, kitab suci dan perwakilan mereka di Bumi seperti pendeta, rabi, dukun, khalifah, Paus, dan sebagainya.

Kemudian dalam dua sampai tiga abad terakhir, terjadi revolusi humanis. Di mana terjadi revolusi pada politik, agama dan etika, yang pada dasarnya mengatakan bahwa otoritas tertinggi telah diturunkan dari langit turun ke bumi kepada manusia, jadi sumber otoritas tertinggi di semua bidang kehidupan adalah manusia, khususnya, perasaan dan kehendak bebas individu manusia.

Humanisme mengatakan bahwa ketika menghadapi masalah dalam hidup, entah itu masalah dalam kehidupan pribadi atau kolektif seluruh masyarakat, atau seluruh bangsa, kita tidak perlu mencari jawaban jauh-jauh ke atas langit atau kitab suci atau pemuka agama. Manusia hanya perlu mencari jawabannya di dalam diri sendiri, dalam perasaan dan kehendak bebas.

Ribuan kali kita mendengar slogan-slogan seperti "listen to your heart", "Connect to yourself", atau "follow your heart". Pada dasarnya, "lakukan apa kata hatimu". Semua ini benar-benar merupakan gagasan atau nasihat terpenting tentang otoritas yang terbentuk selama dua atau tiga abad terakhir.

Politik dalam dunia humanis (yang percaya bahwa otoritas tertinggi adalah perasaan manusia) percaya bahwa pemilih adalah "Tuhan" atau otoritas tertinggi. Pemilih tahu yang terbaik. Saat negara (contoh Indonesia) mengambil keputusan politik yang sangat besar semisal siapa yang harus menjadi presiden, kita tidak bertanya pada Tuhan atau para ulama dan pendeta, atau kepada para cendikiawan. Sebaliknya, kita bertanya kepada setiap individu. Kita bertanya pada hasil Pemilu. Dan kebanyakan hasil Pemilu bukanlah hasil pemikiran rasional manusia, melainkan perasaan.

Negara seperti China dan Rusia percaya bahwa demokrasi adalah pertunjukan boneka emosional. Seseorang kandidat mungkin tidak mampu menyediakan fasilitas kesehatan yang baik tapi bisa bikin kita mencintainya dan membenci oposisi (yang justru sangat mampu menyediakan fasilitas kesehatan).

Jadi asumsi umum dalam politik humanis adalah bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada perasaan manusia. Pada abad pertengahan para ahli agama mengatakan "okelah, kalau menurutmu begini atau merasa begitu tapi kamu tetap salah karena perintah otoritas tertinggi di atas langit yang disampaikan representasinya di bumi mengatakan sebaliknya."

Tapi tidak dalam politik humanis, apalagi dalam demokrasi moderen, perasaan manusia adalah sumber otoritas tertinggi.

Hal yang sama juga berlaku di bidang ekonomi. Ekonomi humanis adalah pandangan ekonomi yang mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah perasaan dan keinginan individu pelanggan. Pelanggan selalu benar. Pelanggan adalah Raja.

Bagaimana para ekonom humanis tahu jika keputusan ekonomi mereka adalah keputusan yang tepat? Bagaimana mereka tahu jika suatu produk adalah produk yang bagus? Dalam ekonomi humanis, kita bertanya kepada pelanggan. Lalu pelanggan memilih dengan uang dan kartu kredit mereka. Dan ketika sudah memilih, tidak ada otoritas yang lebih tinggi yang bisa mengatakan kepada pelanggan, "Tidak, kalian salah ".

Jadi katakanlah Toyota atau Ford ingin menghasilkan mobil terbaik di dunia. Mereka mengumpulkan para pemenang nobel di bidang fisika, kimia, dan bidang ekonomi lalu membentuk tim dengan para psikolog dan sosiolog terbaik. Mereka bahkan membayar artis terbaik dan pemenang Oscar dan Grammy untuk pemasaran. Lalu perusahaan memberi mereka waktu empat tahun untuk berpikir bersama dan merancang serta membuat mobil yang sempurna. Dan mereka berhasil memproduksi Toyota perfect atau Ford perfect.

Kemudian mereka memproduksi jutaan mobil ini, dan mengirimkannya ke agen mobil di seantero dunia. Tapi tidak ada yang membeli mobil ini. Apa artinya? Apakah ini berarti pelanggan salah? Tidak, dalam ekonomi humanistik, pelanggan selalu benar. Artinya semua orang bijak ini salah. Mereka bukanlah otoritas yang lebih tinggi dari pelanggan.

Dalam kediktatoran komunis, aparat bisa mendatangi masyarakat dan bilang, "Politbiro memutuskan dengan kebijaksanaannya, bahwa ini adalah mobil yang sempurna untuk pekerja Soviet, jadi milikilah. Jangan yang lain."

Ide yang sama juga ditemukan pada dasar seni modern. Seni humanis adalah seni yang percaya bahwa keindahan itu subjektif, tergantung mata yang melihatnya. Bagaimana kita tahu apa itu seni? Bagaimana kita tahu apa itu seni yang bagus? Apa yang indah dan apa yang jelek?

Selama ribuan tahun, filsuf , pemikir, dan seniman punya berbagai macam teori tentang apa itu seni dan apa itu keindahan. Dan biasanya, mereka berpendapat ada beberapa ukuran yang obyektif. Mungkin sebuah tolok ukur ilahi, yang mendefinisikan seni dan keindahan. Jadi Tuhan mendefinisikan apa itu seni dan apa yang indah.

Kemudian muncullah estetika humanis dalam dua abad terakhir dan menggeser sumber otoritas seni ke perasaan manusia. Keindahan tergantung mata yang melihatnya. Beberapa orang seperti saya berpendapat bahwa sebuah lukisan tidak terkenal yang menampilkan gambarah hamparan padi terkena siraman cahaya senja jutaan kali lebih indah ketimbang Monalisa yang terkenal sejagat raya. Dalam seni humanis, pandangan saya ini sama sekali tidak salah.

Prinsip yang sama juga terjadi dalam bidang etika. Apa yang baik dan apa yang tidak? Yang mana perbuatan saleh dan mana yang dosa? Pada era sebelumnya, hampir semua manusia menengadahkan kepala ke atas, atau bertanya kepada pemuka agama atau kepada kitab suci.

Katakanlah kasus homoseksualitas. Di Abad Pertengahan, Gereja Katolik mengatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa. Kenapa? Karena Tuhan berkata demikian, karena Alkitab berkata demikian, dan karena paus berkata demikian. Semua ini adalah sumber otoritas dari etika. Tidak ada yang terlalu peduli dengan apa yang orang rasakan.

Sekarang, di era etika humanis, orang tidak terlalu peduli apa yang kitab suci katakan atau apa yang dikatakan ahli agama. Para humanis ingin tahu bagaimana perasaan orang sebenarnya.

Jika dua orang perempuan sedang jatuh cinta, dan mereka berdua merasa sangat bahagia, dan mereka tidak menyakiti siapa pun, lalu apa yang salah? Sangat sederhana. Otoritas tertinggi di bidang etika adalah perasaan manusia.

Jika manusia merasa baik tentang sesuatu, dan tidak ada yang merasa buruk tentang itu, maka itu baik. Tentu saja, ada beberapa pertanyaan sulit juga dalam etika humanis. Apa yang terjadi jika saya merasa baik tentang sesuatu, katakanlah perselingkuhan, tetapi istri merasa sangat tidak enak?

Jadi perasaan siapa yang lebih penting? tentu saja ada dilemma etika di sana, jadi pasutri ini harus berdiskusi, apakah harus berpisah atau tidak. Poin kuncinya adalah bahwa pembahasan akan dilakukan dalam konteks perasaan manusia, bukan lagi dalam istilah perintah ilahi, yang (misalnya) memerintahkan agar tidak boleh bercerai.

Dan terakhir, humanis dalam bidang pendidikan. Apa itu pendidikan humanis? Selama ratusan tahun ketika hampir semua orang percaya bahwa sumber otoritas tertinggi ada di luar manusia, tujuan utama pendidikan adalah menghubungkan orang- orang dengan sumber otoritas luar tersebut.

Misalnya, orang percaya bahwa kitab adalah sumber otoritas tertinggi, atau Tuhan adalah sumber otoritas tertinggi, maka tujuan utama pendidikan adalah untuk mengajari siswa tentang apa yang Tuhan katakan, dan apa yang dikatakan kitab suci, dan apa kata orang bijak di masa lalu.

Dalam pendidikan humanis, karena sumber otoritas tertinggi adalah perasaan dan pikiran sendiri manusia, tujuan terpenting pendidikan adalah memungkinkan pembelajar untuk bisa berpikir untuk diri mereka sendiri. Sekarang ketika bertanya kepada guru atau professor, "Apa yang Anda coba ajarkan kepada para siswa? Kebanyakan akan menjawab," Oh, kami mencoba mengajarkan matematika, fisika, sejarah dan sebagainya, tetapi yang terpenting adalah agar murid-murid bisa berpikir mandiri untuk diri mereka sendiri".

Ini adalah cita-cita tertinggi dari pendidikan humanis, karena pikiran dan perasaan manusia adalah sumber otoritas. Siswa sekarang lebih banyak dituntut untuk bisa kenali diri sendiri dan terhubung dengannya. Pikirkan saja perbedaan kurikulim pendidikan tahun 1994 dan kurikulum merdeka sekarang. Siswa sekarang dituntut untuk mengambil keputusan sendiri tentang apa yang ingin dipelajarinya. Mereka lebih dituntut untuk bisa berpikir dan bertindak sesuai perasaan dan pikiran sendiri.

Sekarang seluruh gagasan humanis tentang sumber otoritas di bawah langit ini menghadapi ancaman. Bukan dari fundamentalis agama, atau dari diktator di Korea Utara atau Rusia atau tempat lain. Ancaman yang sangat besar bagi pandangan dunia humanis sekarang muncul dari laboratorium, universitas, dan departemen penelitian di tempat-tempat seperti Silicon Valley.

Kini, semakin banyak ilmuan mengatakan bahwa seluruh kisah humanism ini benar-benar didasarkan pada ilmu pengetahuan yang sudah kadaluarsa atau pemahaman yang ketinggalan zaman tentang dunia. Dan khususnya, pemahaman kadaluarsa tentang manusia.

Humanisme didasarkan pada kepercayaan akan kehendak bebas, dan kemampuan manusia untuk membuat pilihan bebas, dan kepercayaan yang sangat kuat pada perasaan manusia sebagai sumber otoritas terbaik di dunia.

Tapi, sekarang para ilmuwan berkata, "Pertama-tama, tidak ada yang namanya keinginan bebas." Mereka mengatakan bahwa hanya ada dua proses yang terjadi di alam. Hanya ada proses deterministik, dan proses acak, dan kombinasi dari keduanya acak dan determinisme, yang menghasilkan hasil probabilistik. Jadi tidak ada yang proses yang terjadi oleh kehendak bebas (free will) manusia.

Kebebasan sama sekali tidak memiliki arti dari perspektif fisik atau biologis. Sebaliknya hanyalah mitos lain, istilah kosong lain yang diciptakan manusia. Manusia telah menciptakan "tuhan", dan manusia telah menciptakan "surga dan neraka", dan manusialah yang menciptakan "kehendak bebas". Tapi kebenaran tentang kehendak bebas tidak lebih dari kebenaran tentang surga dan neraka. Begitulah pendapat kebanyakan ilmuan.

Tapi perasaan itu nyata. Bukan fiksi imajinasi kita, tetapi perasaan sebenarnya hanyalah algoritma biokimia, dan tidak ada metafisik atau supernatural tentangnya. 

Tidak ada alasan yang jelas untuk menjadikannya sebagai otoritas tertinggi di dunia, dan yang terpenting, apa yang semakin banyak dikatakan oleh para ilmuwan dan insinyur kepada kita, adalah bahwa jika kita hanya memiliki data yang cukup, dan daya komputasi yang cukup, kita dapat membuat algoritma eksternal yang memahami pikiran dan perasaan manusia jauh lebih baik daripada manusia dapat memahami diri sendiri.

Dan saat tercipta algoritma yang memahami pikiran dan perasaan manusia lebih baik daripada manusia memahami diri sendiri, inilah titik ketika otoritas benar-benar bergeser dari manusia ke algoritma.

Nah, mungkin kedengarannya menakutkan dan rumit. Katakanlah, jika ingin menyimpulkan hasil riset biologi dan evolusi selama berabad-abad dalam satu kalimat pendek, maka "manusia adalah algoritma". Kini, ide ini menjadi pandangan yang semakin dominan, tidak hanya dalam ilmu kehidupan, tetapi juga dalam ilmu komputer. Itulah sebabnya keduanya makin diintegrasikan dari hari ke hari.

Gagasan organisme adalah algoritma berarti bahwa perasaan manusia (dan bukan hanya perasaan manusia, tapi juga simpanse, gajah,  dan lumba-lumba), sensasi dan emosi manusia, semuanya hanyalah proses perhitungan biokimiawi untuk menghitung probabilitas dalam membuat keputusan.

Perasaan bukanlah kualitas metafisik yang Tuhan berikan kepada Homo sapiens untuk menulis puisi dan menghargai music. Perasaan adalah proses perhitungan biokimia, yang dibentuk oleh jutaan tahun seleksi alam, untuk memungkinkan manusia dan hewan lain menjadi lebih baik dalam mengambil keputusan ketika dihadapkan pada masalah kelangsungan hidup dan reproduksi.

Mari kita ambil contoh konkret. Katakanlah seekor babun di suatu tempat di sabana Afrika, sedang menghadapi masalah untuk bertahan hidup. Untuk bertahan hidup, babon ini harus makan, dan harus berhati-hati agar tidak dimangsa hewan lain.

Saat mencari makan di sepanjang sabana, tiba-tiba babun melihat sebatang pohon pisang dengan buah lebat di atasnya. Sayangnya, juga terdapat seekor singa tidak jauh dari pohon itu. Babun  perlu membuat keputusan apakah akan mempertaruhkan hidupnya demi pisang atau tidak. Masalah Ini adalah jenis masalah yang telah dihadapi hewan seperti babun dan manusia selama jutaan tahun.

Jadi ini benar-benar tentang menghitung probabilitas. Babun tersebut perlu menghitung kemungkinan bahwa dirinya akan mati kelaparan jika tidak makan pisang, versus kemungkinan singa akan memangsanya.

Jika Babun ingin meraih pisang-pisang ini, ia perlu tahu probabilitas mana yang lebih tinggi untuk membuat keputusan yang tepat. Untuk itu pertama-tama babun perlu mengumpulkan banyak data. Babun butuh data tentang pisang. Seberapa jauh pisangnya? Berapa buah pisang? besar atau kecil? Matang atau hijau?

Di situasi ini, ada 10 pisang matang berukuran besar, dan itu sangat berbeda dengan jika hanya ada dua pisang hijau kecil.

Demikian informasi yang dibutuhkan babun. Kemudian ia masih butuh data tentang singa. Seberapa jauh singa itu? Seberapa besar singa itu? Seberapa cepat singa tersebut berlari. Apakah singa sedang tidur atau bangun? Apakah singa terlihat lapar atau kenyang? Babun kelaparan membutuhkan semua jenis data tentang singa ini.

Yang terakhir, babun butuh banyak data tentang dirinya sendiri. Seberapa lapar dirinya, seberapa cepat ia bisa berlari dan lain sebagainya. Kemudian Babun mengumpulkan semua data ini dan entah bagaimana menghitung probabilitasnya dengan sangat, sangat cepat.

Babon tidak mengeluarkan pena dan selembar kertas atau kalkulator dan mulai menghitung probabilitas. Tidak, seluruh tubuh babon adalah kalkulator. Ia mengambil data dengan apa yang kita sebut indra, (sensasi, penglihatan, penciuman, dan telinga). Babun mengambil semua data juga dari dalam tubuh, sistem saraf dan otak. Semuanya dikalkulasi dalam sepersekian detik, menghitung probabilitas.

Dan jawabannya tidak muncul dalam bentuk angka, tapi dalam bentuk perasaan atau emosi. Jika hasil kalkulasinya mengatakan bahwa peluangnya mati kelaparan lebih besar dibanding dimangsa singa, maka akan muncul dalam bentuk emosi keberanian. Babun tersebut akan merasa sangat berani, dan dan akan lari menuju pisang.

Jika hasil perhitungannya sebaliknya, maka ini juga akan muncul tidak dalam bentuk angka, tetapi dalam bentuk emosi takut. Dan Babun tersebut akan mengurungkan niatnya untuk mengambil pisang.

Jadi apa dalam bahasa sehari-hari kita sebut perasaan, emosi, dan sebagainya, menurut teori standar dalam sains kehidupan saat ini sebenarnya adalah algoritma biokimia yang menghitung probabilitas.

Sekarang, gagasan ini (pemahaman bahwa organisme adalah algoritma, bahwa emosi dan perasaan sebenarnya hanyalah proses biokimiawi untuk menghitung probabilitas) tidak punya banyak dampak praktis, karena tidak ada yang punya kapasitas untuk mengumpulkan cukup data, dan daya komputasi yang diperlukan untuk menganalisis data tersebut, dan benar-benar memahami apa yang terjadi dalam diri manusia.

Selama ribuan tahun, semua jenis otoritas mencoba meretas manusia untuk memahami apa yang kita pikirkan dan rasakan, tapi tidak ada yang benar-benar bisa melakukannya. Gereja Katolik di Abad Pertengahan atau KGB di Soviet Rusia, perusahaan-perusahaan yang mencoba mensurvei pelanggan atau tim sukses yang melakukan survei pemilih. Semuanya sangat tertarik untuk memahami (meretas) manusia tapi tidak satupun yang benar-benar berhasil.

Bahkan jika KGB mengikuti kita kemana-mana dan merekam setiap percakapan dan aktivitas yang kita lakukan, KGB tetap gagal karena tidak memiliki pemahaman biologis dan daya komputasi yang diperlukan untuk benar-benar memahami apa yang terjadi di dalam otak dan tubuh manusia.

Jadi sampai hari ini, ketika humanisme mengatakan kepada orang-orang "dengarkanlah kata hatimu." sebenarnya adalah nasihat yang bagus. Karena perasaan Anda benar-benar adalah metode terbaik untuk membuat keputusan. Itulah algoritma terbaik di dunia.

Perasaan manusia adalah algoritma yang dibentuk oleh jutaan tahun seleksi alam, algoritma yang bertahan dalam uji kualitas paling keras di dunia yakni uji kualitas dalam seleksi alam. Perasaan manusia adalah mekanisme terbaik untuk membuat keputusan yang telah dibentuk oleh jutaan tahun seleksi alam. Jadi sekali lagi, "dengarkan karata hatimu" merupakan slogan yang bagus.

Tapi sekarang, banyak hal berubah. Kita sekarang berada di persimpangan atau titik tumbukan antara dua gelombang pasang ilmiah yang sangat besar. Di satu sisi selama lebih dari satu abad, setidaknya sejak Charles Darwin, kita telah memperoleh pemahaman yang lebih baik dan lebih baik tentang tubuh dan otak manusia, serta tentang pengambilan keputusan manusia dan emosi dan sensasi manusia dan sebagainya.

Dan pada saat yang sama, dengan bangkit dan berkembangnya ilmu komputer, manusia telah mempelajari cara merekayasa algoritma elektronik yang terus membaik dari hari ke hari serta dengan daya komputasi yang semakin besar.

Hingga beberapa tahun ke belakang, keduanya merupakan perkembangan pengetahuan yang terpisah, tetapi sekarang keduanya menyatu. Hal krusial yang terjadi sekarang di dekade kedua abad ke-21, adalah penggabungan dua gelombang pasang ini.

Dinding yang memisahkan biotek dari infotek sedang runtuh. Peristiwa ini bisa dilihat di pasar teknologi. Perusahaan seperti Apple atau Amazon atau Google atau Facebook, yang bermula sebagai perusahaan infoteknologi, semakin menjadi bioteknologi.

Karena memang, tidak ada lagi perbedaan esensial di antara keduanya. Dan kita sangat mendekati titik ketika (tidak seperti KGB, dan tidak seperti Gereja Katolik) Facebook atau Google akan dapat memahami kita lebih baik daripada kita memahami diri sendiri.

Karena mereka akan memiliki data, pengetahuan biologis, kekuatan komputasi yang diperlukan untuk memahami dengan tepat bagaimana perasaan kita, dan mengapa kita merasakan apa yang kita rasakan.

Hal Ini sudah terjadi di satu bidang yang sangat penting, yaitu bidang kedokteran. Di bidang kedokteran, pada dasarnya hal itu sudah terjadi. Sumber otoritas telah mulai bergeser secara dramatis dari manusia ke algoritma.

Pada beberapa kasus kesehatan, keputusan paling penting tentang kesehatan manusia buksn lagi atas dasar perasaan, tapi oleh algoritma, berdasarkan apa yang informasi diri kita yang disimpan di sever komputer. Dan pengetahuan atau informasi-informasi ini kebanyakan tidak diketahui sendiri oleh kita.

Contoh praktisnya bisa kita temukan pada tajuk berita utama beberapa tahun ke belakang. Ada cerita menarik dari artis Holywood Angelina Jolie. AJ melakukan tes genetik, dan hasilnya menunjukkan bahwa dirinya mengalami mutasi, yaitu pada BRCA1.

Dan menurut statistik pada big data, wanita yang memiliki mutasi khusus pada gen khusus ini, punya 87% kemungkinan terkena kanker payudara.

Saat itu Angelina Jolie tidak sedang mengidap kanker payudara. Semua pemeriksaan kanker dijalani dan hasilnya negative. Dia juga merasa sangat sehat. Perasaannya mengatakan padanya kalau dia sedang baik-baik saja. Tetapi algoritma data besar, memberitahunya informasi yang sangat berbeda. Algoritma data besar mengatakan kepadanya bahwa AJ punya bom waktu yang berdetak di dalam DNAnya. Dan meskipun tidak merasa ada yang salah, sebaiknya lakukan sesuatu sekarang.

Angelina Jolie lebih memilih mendengarkan algoritma dan bukan perasaannya sendiri, lalu menjalani mastektomi ganda. AJ juga menerbitkan ceritanya di New York Times untuk mendorong wanita lain agar melakukan tes serupa dan mengambil langkah pencegahan serupa.

Jadi skenario semacam ini, di mana perasaan manusia memberi tahu kalau kita sedang baik-baik saja, tetapi beberapa algoritma data besar yang "lebih mengenal" kita mengatakan sebaliknya, dan kita lebih suka mendengarkan algoritma, diprediksi akan semakin menjadi bentuk pengobatan di abad ke-21.

Dan tidak hanya pada obat-obatan, ke depannya kita akan semakin melihat pergeseran otoritas dari perasaan manusia ke algoritma dalam berbagai bidang kehidupan.

Tapi kita masih sangat, sangat jauh dari memahami otak dan bahkan lebih jauh dari memahami pikiran. Dan ada kemungkinan bahwa pada akhirnya, ternyata organisme bukanlah algoritma. Ada beberapa hal yang sangat dalam yang masih belum dimengerti oleh para ilmuan tentang otak dan pikiran kita.

Jadi semua cerita tentang A.I. mengambil alih kehidupan manusia dalam cerita fiksi ilmiah akan tetap menjadi fiksi semata.

Hal penting lainnya yang perlu diingat, adalah bahwa teknologi tidak pernah deterministik. Kita bisa menggunakan teknologi yang sama untuk menciptakan masyarakat yang sangat berbeda sama sekali.

Kita bisa menggunakan teknologi abad ke-20 dari Revolusi Industri seperti kereta api, listrik, radio, mobil dan sebagainya untuk menciptakan kediktatoran komunis, atau rezim fasis, atau demokrasi.

Kereta api tidak memberikan rekomendasi kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita menggunakananya.

Ilustrasi paling nyata terdapat dalam sebuah foto yang sangat terkenal dari Asia Timur. Berikut ini merupakan foto Asia Timur pada malam hari yang diambil satelit dari luar angkasa. 

suara.com
suara.com

Di pojok kanan bawah adalah Korea Selatan, terdapat semacam lautan cahaya. Dan di pojok kiri atas adalah China, lautan cahaya lainnya.

Keduanya terpisah oleh bagian gelap. Tapi itu bukan laut, melainkan wilayah Korea Utara. Kenapa Korea Utara sangat gelap di malam hari sementara Korea Selatan dan China begitu penuh cahaya?

Ini bukan karena orang Korea Utara belum pernah mendengar tentang listrik atau bola lampu. Namun karena mereka memilih untuk melakukan hal yang sangat berbeda dengan listrik daripada orang-orang di Korea Selatan atau di Cina.

Gambaran ini merupakan ilustrasi yang sangat visual dari sebuah ide bahwa teknologi tidak bersifat deterministik. Manusia selalu punya pilihan tentang bagaimana menggunakannya.

Rujukan : Homo Deus: A Brief History of Tomorrow oleh Yuval Noah Harari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun