Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Kebangkitan AI, Akankah Algoritma Menggantikan Manusia?

29 Maret 2023   21:07 Diperbarui: 29 Maret 2023   21:25 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana para ekonom humanis tahu jika keputusan ekonomi mereka adalah keputusan yang tepat? Bagaimana mereka tahu jika suatu produk adalah produk yang bagus? Dalam ekonomi humanis, kita bertanya kepada pelanggan. Lalu pelanggan memilih dengan uang dan kartu kredit mereka. Dan ketika sudah memilih, tidak ada otoritas yang lebih tinggi yang bisa mengatakan kepada pelanggan, "Tidak, kalian salah ".

Jadi katakanlah Toyota atau Ford ingin menghasilkan mobil terbaik di dunia. Mereka mengumpulkan para pemenang nobel di bidang fisika, kimia, dan bidang ekonomi lalu membentuk tim dengan para psikolog dan sosiolog terbaik. Mereka bahkan membayar artis terbaik dan pemenang Oscar dan Grammy untuk pemasaran. Lalu perusahaan memberi mereka waktu empat tahun untuk berpikir bersama dan merancang serta membuat mobil yang sempurna. Dan mereka berhasil memproduksi Toyota perfect atau Ford perfect.

Kemudian mereka memproduksi jutaan mobil ini, dan mengirimkannya ke agen mobil di seantero dunia. Tapi tidak ada yang membeli mobil ini. Apa artinya? Apakah ini berarti pelanggan salah? Tidak, dalam ekonomi humanistik, pelanggan selalu benar. Artinya semua orang bijak ini salah. Mereka bukanlah otoritas yang lebih tinggi dari pelanggan.

Dalam kediktatoran komunis, aparat bisa mendatangi masyarakat dan bilang, "Politbiro memutuskan dengan kebijaksanaannya, bahwa ini adalah mobil yang sempurna untuk pekerja Soviet, jadi milikilah. Jangan yang lain."

Ide yang sama juga ditemukan pada dasar seni modern. Seni humanis adalah seni yang percaya bahwa keindahan itu subjektif, tergantung mata yang melihatnya. Bagaimana kita tahu apa itu seni? Bagaimana kita tahu apa itu seni yang bagus? Apa yang indah dan apa yang jelek?

Selama ribuan tahun, filsuf , pemikir, dan seniman punya berbagai macam teori tentang apa itu seni dan apa itu keindahan. Dan biasanya, mereka berpendapat ada beberapa ukuran yang obyektif. Mungkin sebuah tolok ukur ilahi, yang mendefinisikan seni dan keindahan. Jadi Tuhan mendefinisikan apa itu seni dan apa yang indah.

Kemudian muncullah estetika humanis dalam dua abad terakhir dan menggeser sumber otoritas seni ke perasaan manusia. Keindahan tergantung mata yang melihatnya. Beberapa orang seperti saya berpendapat bahwa sebuah lukisan tidak terkenal yang menampilkan gambarah hamparan padi terkena siraman cahaya senja jutaan kali lebih indah ketimbang Monalisa yang terkenal sejagat raya. Dalam seni humanis, pandangan saya ini sama sekali tidak salah.

Prinsip yang sama juga terjadi dalam bidang etika. Apa yang baik dan apa yang tidak? Yang mana perbuatan saleh dan mana yang dosa? Pada era sebelumnya, hampir semua manusia menengadahkan kepala ke atas, atau bertanya kepada pemuka agama atau kepada kitab suci.

Katakanlah kasus homoseksualitas. Di Abad Pertengahan, Gereja Katolik mengatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa. Kenapa? Karena Tuhan berkata demikian, karena Alkitab berkata demikian, dan karena paus berkata demikian. Semua ini adalah sumber otoritas dari etika. Tidak ada yang terlalu peduli dengan apa yang orang rasakan.

Sekarang, di era etika humanis, orang tidak terlalu peduli apa yang kitab suci katakan atau apa yang dikatakan ahli agama. Para humanis ingin tahu bagaimana perasaan orang sebenarnya.

Jika dua orang perempuan sedang jatuh cinta, dan mereka berdua merasa sangat bahagia, dan mereka tidak menyakiti siapa pun, lalu apa yang salah? Sangat sederhana. Otoritas tertinggi di bidang etika adalah perasaan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun