Apakah Anda suka pekerjaan anda sekarang? Apakah Anda bahagia dengan pekerjaan itu? Atau apakah Anda lebih suka berada di rumah bersama keluarga atau melakukan sesuatu yang lain selain pekerjaan? Apakah Anda mengenal orang-orang di sekitar yang berhenti dari pekerjaan mereka?
Itu adalah beberapa pertanyaan yang coba dijawab oleh tim studi Microsoft pada Oktober 2021.
Dari studi, tim tersebut menyimpulkan bahwa 41% pekerja di dunia berencana untuk beralih pekerjaan.
Tahun 2021 disebut tahun "Great Resignation" atau "Big Quit" atau sebut saja "Pengunduran Diri Masal". Artinya, terjadi resign besar-besaran secara bersamaan.Â
Istilah ini dicetus oleh Anthony Klotz, seorang profesor manajemen di Mays Business School di Texas A&M University, yang memperkirakan resign massal pada Mei 2021. Klotz  menyebut tren 2021 ini sebagai "Pencerahan pandemi".
Di artikel ini saya akan mencoba memahaminya dan menyelami dampaknya di tahun 2022.
Pertanyaan pertama, kenapa orang meninggalkan pekerjaan mereka? Ke mana mereka pergi? Dan yang paling penting, apa sebaiknya anda pertimbangkan untuk resign juga? Jika Anda seorang majikan apa yang harus dilakukan?
Seperti yang saya sebut di atas kalau pada tahun 2021, Microsoft melakukan studi dan menemukan bahwa 41% karyawan di seluruh dunia ingin berhenti dari pekerjaan mereka.
Di Amerika 4,3 juta orang berhenti dari pekerjaan mereka  pada Agustus 2021. 4,3 juta orang merupakan 2,9% dari populasi pekerja Amerika. Dan kalau dihitung dari bulan April 2021 hingga Agustus, sebanyak 20 juta orang Amerika telah meninggalkan pekerjaan.
Di Jerman, sepertiga dari perusahaan kekurangan pekerja terampil, setidaknya ada 400.000 lowongan pekerjaan terampil yang dibutuhkan.Â
Data yang dikumpulkan oleh Dinas Ketenagakerjaan Jerman menunjukkan bahwa 38% atau setidaknya 20 juta pekerja belum kembali bekerja sejak pandemi 2020.
Di India tingkat pengurangan pekerja di sektor teknologi naik 23 %.
Di Vietnam banyak pekerja garmen belum kembali ke pabrik.
Di Karibia satu dari enam pekerja berusia 18 hingga 29 meninggalkan pekerjaan mereka.
Di cina ada kekurangan pekerja di sektor teknologi.
Di Indonesia? Pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak mengatakan kepada Kompas, fenomena tersebut tidak akan terjadi di Indonesia. Alasannya, di Indonesia para pekerja yang menganggur tidak ditopang adanya jaminan sosial dari negara.
Meski begitu, bukan berarti tidak ada orang Indonesia yang ingin resign dari pekerjaan selama pandemi.
Jadi, kenapa orang ingin berhenti dari pekerjaannya saat ini?
Sejak pandemi, beberapa pemerintah seperti AS memberikan tunjangan dasar yang cukup bagi pengangguran akibatnya beberapa orang lebih memilih untuk di rumah dan mencari pekerjaan harian; karena gaji yang tidak memadai; minimnya kepedulian perusahaan; dan karena covid jadi tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang; serta ingin pindah domisili.Â
Tapi semua ini hanya setengah cerita, tidak semua orang melakukan resign karena tunjangan pengangguran dari pemerintah; atau karena harus merawat anak atau orang tua di rumah; atau karena keluarga mereka pindah rumah selama pandemi, namun lebih karena keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan.
Kita sering mendengar pertanyaan klasik yang cukup terkenal "Hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup?" Selama bertahun-tahun hidup kita berputar di sekitar pekerjaan dan merencanakan pekan berdasarkan kalender kerja: bertemu orang-orang hanya selama akhir pekan, bersosialisasi hanya pada hari libur, tidak ke kondangan karena bertepatan dengan kegiatan di kantor, memprioritaskan rapat kerja daripada pertemuan orang tua-guru, berkompromi pada liburan dan mengambil lembur untuk menutupi 'cuti tanpa gaji'.
Pandemi telah mengubah semua ini. Seolah mengangkat cermin ke depan mata, pandemi memaksa orang untuk melihat ketidakpastian hidup dan mulai merenungkan apa yang benar-benar penting bagi mereka.
Banyak yang berpikir kalau pekerjaan saat ini bukan pekerjaan yang memberikan kesejahteraan, sehingga jutaan orang mulai merenungkan kembali kehidupan yang telah dilewatkan begitu saja selama ini.
Ada yang mengunci rumah di kota, dan pindah ke pinggiran kota, menyadari bahwa mereka tidak ingin menunggu sampai pensiun untuk menikmati hamparan rerumputan hijau.
Banyak yang berhenti dari pekerjaan penuh waktu dan menjadi pekerja lepas, agar bisa lebih banyak waktu di rumah atau dengan keluarga.
Banyak yang memutuskan untuk resign dan kembali ke sekolah, mereka menyadari hidup ini terlalu singkat untuk bertahan dalam karir yang salah.
Banyak yang mengubah hobi menjadi pekerjaan penuh waktu, kalau lebih asik kenapa tidak?
Banyak yang mulai trading penuh waktu. Per Februari 2021, sedikitnya 106 juta orang di seluruh dunia melakukan trading cryptocurrency, sepertinya jumlahnya sudah naik lagi karena tren kripto dan tagar Metaverse yang meningkat belakangan.
Kemudian banyak orang yang memutuskan untuk memulai great resignation disertai dengan ledakan startup.
Mereka yang tidak punya modal untuk memulai atau keahlian untuk mencari pekerjaan baru memutuskan untuk tetap tinggal di lingkungannya dan memulai atau bergabung dengan startup.
Pekerja pabrik garmen Vietnam misalnya, mereka mulai berjudi antara kondisi ekonomi yang buruk atau pelanggaran hak asasi manusia di pabrik, tidak sedikit yang memilih tinggal di rumah, setidaknya di rumah mereka punya keluarga.
Tidak heran great resignation juga disebut sebagai revolusi pekerja. Dan itu akan menjadi warisan pandemi.
Big quit memberi orang rasa hormat yang baru ditemukan dalam diri sendiri dan kehidupan mereka.
Tim Microsoft bertanya kepada orang-orang mengapa mereka berhenti dari pekerjaan mereka, 40% menyebut "kelelahan" sebagai alasan, 20% berbicara tentang kurangnya fleksibilitas, 16% mengatakan majikan sebelumnya tidak mendukung kesejahteraan mereka.
Jadi apa yang mereka cari dalam pekerjaan baru?
40% mengatakan ingin agar perusahaan lebih fleksibel dan peduli dengan kemampuan kerja jarak jauh karyawan sesuai dengan preferensi pribadi. Itulah yang orang inginkan.
Orang-orang tidak ingin hidupnya hanya berputar di sekitar pekerjaan. Mereka ingin pekerjaan mereka sesuai dengan jenis kehidupan yang mereka inginkan.
Orang tua yang sedang membesarkan anak menginginkan pekerjaan di mana dirinya bisa punya waktu khusus untuk antar-jemput si kecil  dari sekolah.
Yang berusia 25 tahun mungkin tak ingin lagi bekerja keras 10 jam sehari, ada yang ingin bekerja lima jam sehari dan ingin majikan yang menghargai bahwa sebagian pekerja ingin bekerja dari rumah selama sisa hidup mereka.
Orang mulai mencari pekerjaan yang fleksibel dari jarak jauh dengan hari kerja lebih pendek yang punya empat hari kerja dalam seminggu. Orang menginginkan pekerjaan yang membantu mereka mempertahankan worklife balance.
Melihat ke belakang, setiap peristiwa besar dalam sejarah telah memengaruhi keputusan ekonomi kita.Â
Selama Perang Dunia I (1914-1918), ketika pria pergi ke medan perang, wanita untuk pertama kalinya memasuki pabrik atau melakukan pekerjaan apapun yang berpenghasilan untuk mempertahankan ekonomi keluarga.
Setelah depresi hebat (1990) orang-orang berpegang teguh pada pekerjaan mereka, di pertengahan 90-an mereka beralih pekerjaan lagi.
Setelah resesi besar (2007-2009) tren bertahan pada pekerjaan kembali, orang ingin kepastian ekonomi.Â
Kemudian datang Covid-19 yang memberi realita lain, orang mulai memeriksa kehidupan orang terkasih yang selamat dari virus, dan mulai "lebih menghargai" hidup yang selama ini terlalu banyak dikompromikan kepada pekerjaan.
Linkedin mempelajari tren itu, menemukan bahwa persentase anggota Linkedin yang memperbarui profil mereka dan menemukan kalau pergantian pekerjaan telah meningkat 54 persen dari tahun ke tahun.Â
Generasi Z yang paling banyak berganti pekerjaan, transisi pekerjaan mereka meningkat 80%; Milenial berikutnya 50%; kemudian gen X 31%; dan Boomer 5%.
Sektor paling menderita karena great resignation termasuk perhotelan dan layanan kesehatan.Â
Jadi ini adalah cerita dari sisi karyawan. Bagaimana dengan para majikan?
Tahun pertama pandemi cukup sulit, pabrik dan perkantoran ditutup, karyawan di PHK. Ketika buka kembali, pasokan barang macet, mantan pekerja sudah tidak ingin kembali, talenta baru yang cocok juga susah dicari. Operasional perusahaan tercekik, dan sekarang pekerja mulai resign, rasanya seperti keluar dari penggorengan ke dalam api.
Saat ini ada 10 juta lowongan pekerjaan di Amerika Serikat. Jerman membutuhkan setidaknya 400.000 pekerja.
Apa yang dilakukan majikan untuk mempertahankan talenta perusahaan dengan baik?Â
Beberapa perusahaan menawarkan kenaikan gaji yang lebih tinggi, dan laporan bonus mengatakan upah untuk pekerja bergaji rendah naik pada tingkat tercepat sejak resesi besar.
Beberapa pengusaha bahkan memberikan liburan kolektif. Perusahaan e-commerce Jerman Zolando misalnya menawarkan staf cuti kolektif, perusahaan tutup kantor di minggu pertama Agustus 2021 agar semua karyawan bisa istirahat.
Beberapa perusahaan memberikan kupon food delivery, langkah ini menarik tetapi saya kira jika sebuah perusahaan ingin bertahan dari pengunduran diri berjamaah, perusahaan harus menyelami pikiran karyawan dan melihat apa yang sebenarnya diinginkan.
Fleksibilitas salah satunya, perusahaan harus mengizinkan orang untuk terus bekerja dari rumah jika diinginkan dan tidak menghukum pertumbuhan karir karyawan karenanya. Perusahaan harus mengubah model hibrida untuk kebaikan bersama.
Perusahaan harus menjadi beragam, bukan hanya orang-orang dari latar belakang sosial yang berbeda atau menciptakan perusahaan yang punya keragaman etnis, namun juga harus mencari  karyawan dengan kebutuhan yang berbeda.
Jika orang tua ingin punya satu jam setiap hari untuk anaknya, berikanlah. Jika seseorang ingin bekerja dari rumah biarkan perusahaan mengatur ulang sumber daya manusia dengan cara yang memungkinkan fleksibilitas, karena hari ini gaji tidak lagi cukup dan perusahaan harus menyadari hal ini.Â
Mereka juga harus menyadari bahwa karyawan lelah karena demam Senin, ada juga yang mungkin sedang berduka, mereka perlu diberi alasan untuk kembali bekerja setiap hari senin.
Jadi beri mereka kebijakan kesehatan yang lebih baik, buat kebijakan agar ada rasa kekeluargaan di dalam perusahaan, dan hadiahi karyawan sesuai pencapaian kerjanya agar mereka merasa dihargai.
Saatnya untuk memikirkan kembali pekerjaan, bayangkan kembali budaya kantor, ingat kembali pelajaran kepemimpinan karena jika tidak, beberapa perusahaan lain akan melakukannya dan Anda akan kalah dalam perlombaan untuk mempertahankan talenta di perusahaan.
Pertanyaan berikutnya apa yang harus dilakukan jika Anda berhenti dari pekerjaan, atau sebaliknya terus menggeluti pekerjaan sekarang?Â
Sebagai catatan, saya tidak memuliakan great resignation, saya hanya melakukan hobi yaitu berbagi informasi dan opini di sini, di Kompasiana.
Anda sendiri yang paling tahu sehingga paling mampu memutuskan apa yang ingin dilakukan sesuai dengan situasi worklife balance Anda.
Apa yang membantu bayar tagihan listrik, dan cicilan di bank. Apa yang membantu Anda menghidupi keluarga. Anda sendiri yang tahu apa yang akan berhasil bagi kehidupan Anda, apakah itu keamanan ekonomi dari jam kantor sembilan ke lima, atau fleksibilitas freelancing.Â
Yaah...pencarian jati diri, ketenangan jiwa memang terdengar bagus, tapi mengisi perut, dan membayar tagihan dan cicilan tetap menjadi pertempuran utama yang harus dihadapi.
Jadi jika puas dengan gaji sekarang, menyukai rekan kerja, ada prospek pengembangan karir, dan Anda senang untuk kembali ke kantor setiap Senin, kenapa harus jatuh dalam pelukan great resignation?
Tapi kalau punya kesempatan untuk memperbaiki kehidupan di tempat baru, kenapa tidak?
Semoga, dua pertanyaan terakhir cukup menjadi kesimpulan artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H