Deru ombak saling beradu. Agin berhembus menerpa wajahku yang sayu. Fikiranku berkecamuk, saling berdebat hingga hatiku tak mampu tuk melerai. Satu hal yang membuat hatiku terusik resah, tentang kekasihku. Entah dimana Ia sekarang, apakah tiada kerinduan untuk pulang? apa yang menahannya untuk tetap tinggal di pulau seberang? Mungkinkah aku seorang kain lapuh yang terganti oleh baju baru. Semoga saja semua ini hanya kekhawatiranku semata.
"untuk apa kau mengharapkannya kembali? Ia bukanlah pemuda yang baik untukmu Intan!"
Aku menoleh ke sumber suara, bapak berdiri tak jauh dari tempatku.
"aku lebih mengenalnya pak, Hubungan kita terlampau 3 tahun. Irwan tidak seperti yang bapak  fikirkan."
Bapak mengehembuskan nafas berat. Mungkin ia lelah melihatku selalu melamun di dermaga. Sudah satu tahun tak ada kabar dari irwan.
"nanti sore Intan mau ke pulau seberang, aku mohon do'a restu." ucapku seraya menatap lekat-lekat wajah bapak.
"untuk menemui Irwan? omong kosong, ibumu tak akan memberi izin." jawab bapak, lalu ia berbalik dan pergi meninggalkanku sendiri.
Hatiku terasa pilu, tak ada satu orangpun yang mau memahamiku. Tapi aku tak peduli, jikapu ibu tak memberi izin maka aku akan tetap pergi. Kuusap air mataku yang tadi sempat menetes. Dengan setengah berlari aku pulang ke rumah. Begitu sampai aku langsung menuju kamar berniat untuk berkemas. Jarum jam menunjukkan pukul 14.30, kurang setengah jam keberangkatanku ke pulau seberang.
"nak, tak usahlah kau repot-repot menyusul Irwan. Pemuda sepertinya tak pantas untuk diperthankan."
Perkataan ibu persis seperti bapak. Ada apa dengan mereka berdua, mengapa begitu tak menyukai Irwan? Aku tak menghiraukan perkataan ibu, dan tetap fokus berkemas.
"ibu dan bapak tak memberi izin..."
"AKU TIDAK PEDULI! kalian berdua egois, tak mau mengerti perasaanku."
Tanpa sadar aku membentak ibu. Suara melengking dengan nada tinggiku sukses membuat ibu terdiam.
"INTAN! dimana sopan santunmu hah?" bapak berteriak menatap tajam kearahku. Matanya merah menyala menahan marah.
Tak mau kalah kubalas tatapan tajam bapak, lalu berkata dengan berani, "Aku sudah dewasa dan aku berhak menentukan hidupku." Kuraih ranselku lalu berniat pergi. Tapi bapak mencekal lenganku dengan kasar, tapi kutebas dengan kuat.
"bapak tak berhak atas hidupku."
"jaga ucapanmu." PLAK..ibu menampar pipi kananku keras, terasa panas dan nilu.
Tak ada gunanya bertengkar dengan mereka. Aku pergi dan berlari secepat mungkin. lariku baru terhenti saat di dermaga. Nafasku naik turun tak beraturan. Jantungku berpacu cepat. kapal akan segera berangkat. Ketika hendak mauk, aku melihat seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, mata sembabnya menatap pilu ke arahku. Tio. Kuhampiri adik kecilku itu.
"jangan menangis tio, kakak perginya tidak lama kok." aku membelai rambut ikalnya. Tampaknya ia melihat pertengkaranku dengan bapak dan ibu. Aku menjelaskan panjang lebar padanya, jika aku tak akan pergi dan meninggalkannya. namun jauh disana, dibawah pohon kelpa, aku melihat bapak. Raut wajahnya menggambarkan kesedihan.
Setelah bapak dan Tio pergi, aku bergegas masuk ke kapal. Lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan untuk penumpang. Fikiranku melayang,tamparan ibu berbekas merah dipipiku. Hatiku yang paling terdalam merasa bersalah dengan apa yang telah kukatakan pada mereka.
Teringat aku dengan kenangan sebelum Irwan pamit untuk pergi merantau di kota.
"sejauh  apapun aku pergi, maka aku akan tetap kembali padamu, karena kau adalah rumah bagiku."
Kupandangi matanya, berharap menemukan kejujuran didalamnya.
"berjanjilah kau akan menungguku pulang." ucapnya seraya menggenggam tanganku lembut. Aku tersenyum.
"Lihat itu! laut terbentang luas, hingga aku tak bisa melihat ujungnya. Bagaimana pulau diseberang sana, aku tak tahu. Maka jika kau sampai dan menemukan pulau di ujungs ana. Maka aku akan setia menunggumu untuk mendengar cerita tentang pulau seberang. Aku akan setia menunggumu disini'"
Tanpa sadar air mataku jatuh.Apakah irwan lupa dengan janjinya?
"mbak, kapal sudah berlabuh. apa kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita berkulit kuning langsat padaku. Matanya sipit, hidungnya mancung, ia terlihat seperti keturunan tiongha.
"wah cepat sekali."
Setelah itu kami berkenalan, namanya Valene. Ia begitu cantik menawan. Tak butuh waktu lama kita sudah akrab. Valene menawariku untuk menginap dirumahnya. mengingat aku pendatang baru, sangat berbahaya jika sendirian. Dan Valene ternyata adalah anak juragan paling kaya didesanya. Lihat saja rumah dihadapanku ini, begitu besar dan mewah.
Begitu masuk rumah, seorang anak kecil yang usianya sekitar 1 atau 2 tahunan menyambutnya gembira. Balita itu memanggil valene denga sebutan'Mama'. Wah, bagiku Valene masih terlalu muda untuk memiliki anak.
Tiba-tiba oksigen di sekitar menipis, nafasku tercekat, rasanya sesak. Â Jantungku berdegup kencang. Mata kami saling beradu. Diam tanpa kata. Ialah orang yang menjadi alasanku datang kesini.
"oh ya Intan, perkenalkan ini rehan anakku, usianya 1 tahun lebih 3 bulan. Dan itu adalah suamiku." tangannya mengacung, menunjuk pria yang disebutnya sebagai suami. Irwan? kami terus beradu pandang. Â Rindu dan kecewa menjadi pembuka pertemuan kami.Â
"hmm, apa kalian saling mengenal?" tanya Valene sambil menatap aku dan Irwan bergantian.
"ah iya, dia temanku. Lama tak berjumpa Irwan." mulutku bergetar kala menyebut namanya. inikah balasan kesetiaanku padanya?
"sepertinya aku harus pergi, aku sedang ada urusan mendadak. Mungkin lain kali aku akan menginap dirumahmu." pamitku pada Valene.
Valene tampak tak curiga dengan gelagatku. Syukurlah, aku segera pergi meninggalkan rumah Valene. Aku berlari kembali ke dermaga, tangisku pecah seketika. Aku menangis tersedu-sedu. Penghianatan Irwan membuat ku sakit.
"Intan.." aku menoleh ke sumber suara, dan mendapi irwan.
"tolong dengarkan penjelasanku."
"sudah tak apa, aku tak marah padamu." kuusap air mataku dengan punggung tangan..
"bapakku punya hutang pada keluarga Valene, dan tidak bisa membayar. Mereka mengancam memenjarakan bapak. Satu-satunya jalan adalah aku harus menikahi Valene yang sedang hamil. Anak tadi bukanlah darah dagingku."
Aku mendengar penjelasannya dengan seksama. Meski kenyataannya Irwan tak berniat menghianati cintaku, tapi tetap saja, aku sakit dibuatnya.
"kita memang tak berjodoh."
"tidak Intan, aku sangat mencintaimu." Irwan mendekat hendak memelukku.
"apa yang kau lakukan? ingat kau sudah beristri Irwan!" aku memperingatkannya tegas.
"tapi hatiku hanya untukmu."
"sudahlah, kau pulang saja. Lupakan aku, dan aku juga akan melupakanmu. Kembalilah pada Valene, jangan kau sakiti hatinya. Ia wanita yang baik."
Lalu selanjutnya kami saling mengucap kata perpisahan. Memang takdir tak ada yang tahu. Sebesar apapun cinta kami berdua, jika tak berjodo ya mau bagaiman lagi. Lagi-lagi air mataku meluncur bebas, menatap punggung lelaki yang kucintai kian menjauh dan tak terlihat. Â Ia telah pergi dengan kehidupan barunya.
"mari pulang bersama bapak nak." aku kaget saat mendapati bapak ada disini.
"tak ada orang tua yang tega membenci anaknya. Lupakan masa lalu, masa depan sudah menantimu."
Memang rumah terbaik untuk pulang adalah keluarga. Tempat paling nyaman dan aman. Semua yang bapak dan ibu lakukan semata hanya untuk kebaikanku.
                                                     -selesai-
                                                                                               dy,jombang 26/09/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H