"ibu dan bapak tak memberi izin..."
"AKU TIDAK PEDULI! kalian berdua egois, tak mau mengerti perasaanku."
Tanpa sadar aku membentak ibu. Suara melengking dengan nada tinggiku sukses membuat ibu terdiam.
"INTAN! dimana sopan santunmu hah?" bapak berteriak menatap tajam kearahku. Matanya merah menyala menahan marah.
Tak mau kalah kubalas tatapan tajam bapak, lalu berkata dengan berani, "Aku sudah dewasa dan aku berhak menentukan hidupku." Kuraih ranselku lalu berniat pergi. Tapi bapak mencekal lenganku dengan kasar, tapi kutebas dengan kuat.
"bapak tak berhak atas hidupku."
"jaga ucapanmu." PLAK..ibu menampar pipi kananku keras, terasa panas dan nilu.
Tak ada gunanya bertengkar dengan mereka. Aku pergi dan berlari secepat mungkin. lariku baru terhenti saat di dermaga. Nafasku naik turun tak beraturan. Jantungku berpacu cepat. kapal akan segera berangkat. Ketika hendak mauk, aku melihat seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, mata sembabnya menatap pilu ke arahku. Tio. Kuhampiri adik kecilku itu.
"jangan menangis tio, kakak perginya tidak lama kok." aku membelai rambut ikalnya. Tampaknya ia melihat pertengkaranku dengan bapak dan ibu. Aku menjelaskan panjang lebar padanya, jika aku tak akan pergi dan meninggalkannya. namun jauh disana, dibawah pohon kelpa, aku melihat bapak. Raut wajahnya menggambarkan kesedihan.
Setelah bapak dan Tio pergi, aku bergegas masuk ke kapal. Lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan untuk penumpang. Fikiranku melayang,tamparan ibu berbekas merah dipipiku. Hatiku yang paling terdalam merasa bersalah dengan apa yang telah kukatakan pada mereka.
Teringat aku dengan kenangan sebelum Irwan pamit untuk pergi merantau di kota.