Mohon tunggu...
David Khadafi
David Khadafi Mohon Tunggu... Buruh - Debutan

Melesatlah bersama cinta seperti anak panah menuju sasarannya.

Selanjutnya

Tutup

Money

Omnibus Law: Keliru dalam Logika, Berbahaya dalam Praktik!

14 Agustus 2020   08:58 Diperbarui: 13 Oktober 2020   05:57 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pamflet Penolakan Omnibus Law

Ada tanaman yang cocok, tumbuh dan berbuah apabila ditanam di dataran tinggi, seperti strawberry dan paprika. Strawberry dan paprika tidak akan hidup dan tumbuh di dataran rendah. Adapula tanaman yang cocok, tumbuh dan berbuah apabila ditanam di dataran rendah, misalnya padi dan jagung. Begitulah alam memberikan kita suatu pelajaran berharga dalam hidup, selain memberi kita makan.

Apa yang cocok di belahan dunia lain, belum tentu cocok di belahan dunia lainnya.

Di era revolusi, dalam menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan, Bung Karno mengingatkan bangsa Indonesia untuk senantiasa berhati-hati, selalu hati-hati, agar bangsa Indonesia jangan asal meniru saja "demokrasi-demokrasi" yang dipraktikan di negara-negara lain.

Hal itu ia kemukakan dengan menjabarkan bagaimana awal mula demokrasi itu muncul di dunia Barat -- Prancis, "kendati di Prancis semboyannya adalah liberté, égalité, fraternité -- kemerdekaan, keadilan dan persaudaraan; justru di sana kapitalisme tumbuh subur, justru di sana kaum proletar ditindas hidupnya, justru di sana hidup jutaan penganggur. 

Justru di sana upah dan nasib kelas pekerjanya, kaum buruhnya tidak selamat -- sengsara. Ya, sengsara! Sengsara, sesengsara-sengsaranya." Begitu kata Bung Karno dalam tulisannya di majalah Fikiran Ra'jat, 1932.

Seharusnya kita mengingat kembali dan merenungkan betul-betul kata-kata Bung Karno itu, sebagai langkah awal berkontempelasi agar supaya dapat menemukan kembali jati diri yang telah lama hilang sebagai bangsa. 

Kenapa? Supaya kita tidak menjadi bangsa penjiplak, supaya kita tidak asal meniru suatu ide yang berkembang dan dipraktikan di negara luar! Apalagi yang tidak cocok sama sekali dengan bangsa kita, dengan kehendak rakyat kita, dengan masalah-masalah kita, dengan tuntutan-tuntutan zaman kita, dan dengan harapan dan cita-cita kita.


Omnibus Law

Omnibus Law, dua kata ini diucapkan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada Oktober 2019 lalu: "Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU."

Tetapi, apakah Omnibus Law itu? Dari mana ia berasal?

Omnibus Law berasal dari bahasa latin, yakni Omni, yang artinya "semua". Adapula kata Omnis, yang artinya "semuanya" atau "banyak".

Omnibus Law adalah sebuah regulasi yang mencakup berbagai isu atau topik. Sifat dari Omnibus Law adalah simplifikasi -- menggantikan beberapa pasal di satu UU dan saat bersamaan mencabut seluruh isi UU lain. Omnibus Law pertama kali diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon, yakni Inggris, Amerika Serikat, Irlandia dan Australia. Berasal dari Ingggris lalu menyebar dan diterapkan di negara-negara bekas jajahannya.

RUU Omnibus Law yang kini digadang-gadang Pemerintah sudah masuk ke DPR sejak Februari 2020 lalu dan ditargetkan rampung Agustus 2020. RUU tersebut tebalnya 1.028 halaman, mencakup 79 UU yang tediri dari 1.244 pasal, dan 11 kelompok atau klaster, yaitu: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.

Selain itu adapula Omnibus Law Perpajakan yang mencakup 6 klaster, yaitu: 1) Pendanaan Investasi, 2) Sistem Teritori, 3) Subjek Pajak Orang Pribadi, 4) Kepatuhan Wajib Pajak, 5) Keadilan Iklim Berusaha, dan 6) Fasilitas.


Keliru Dalam Logika

Omnibus Law diyakini sebagai cara jitu guna meningkatkan investasi di Indonesia. Tetapi, apakah investasi itu? Apa yang dimaksud dengan investasi?

Investasi, secara etimologi -- cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang asal-usul kata, berasal dari kata "investire", yang artinya "memakai", "menggunakan". Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris, yakni "invest", yang artinya "menanam". Investasi adalah suatu kegiatan -- suatu hal yang kita lakukan, dengan harapan mendapatkan hasil, mendapatkan keuntungan, atau memetik buahnya manfaat dari apa yang kita lakukan, dari apa yang kita tanam. Singkatnya, Sopo Nandur Bakal Ngunduh! Siapa menanam akan menuai. Demikianlah investasi.

Jadi, investasi adalah kegiatan -- suatu aktivitas -- suatu kita punya daya upaya, baik yang bentuknya konkret maupun yang abstrak. Investasi bukanlah melulu soal ekonomi, soal fulus, soal money, soal uang!

Anda bercocok tanam, maka Anda berinvestasi. Anda bertani, maka Anda berinvestasi. Anda sekolah dan belajar, maka Anda berinvestasi. Anda bekerja, maka Anda berinvestasi. Anda merawat & mencintai lingkungan, maka Anda berinvestasi.

Anda berpikir, maka Anda berinvestasi. "What we think, we become!" -- apa yang kita pikirkan, itulah yang akan terjadi, begitu kata Sang Buddha dalam Dhammapada.

Kembali ke Omnibus Law!
Selain meningkatkan investasi, Omnibus Law juga diyakini sebagai solusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, bukan kali ini saja Presiden Jokowi bicara soal pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, pada tahun 2015 Jokowi juga pernah bicara soal pertumbuhan ekonomi, katanya pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meroket sampai 7%.

Dengan penuh percaya diri, Jokowi bilang begini: "Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini (tangan menunjuk ke atas)," kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu (5/8/2015).

Tapi kenyataannya, ekonomi justru menukik. Alih-alih meroket.

Presiden Jokowi berdalih bahwa ini adalah akibat investor tidak mau masuk ke Indonesia, sebabnya izinnya terlalu berbelit-belit. Indonesia mengalami hyper regulasi, obesitas regulasi, dan maka dari itu Omnibus Law dapat menjadi solusi atas persoalan tersebut. "Kita mengalami hyper regulasi, obesitas regulasi. Membuat kita terjerat oleh aturan yang kita buat sendiri. Oleh karena itu mulai dari PP, Perpres, Permen, Perdirjen, Perda harus kita sederhanakan,"

"Omnibus law memang belum operate di Indonesia, tapi sudah diterapkan di berbagai negara lain. Harapannya hukum kita jauh lebih sederhana, fleksibel, dan siap berkompetisi," begitu kata Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2020).

Sekarang, marilah kita selidiki, apakah Omnibus Law itu merupakan suatu pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia dewasa ini? Apakah hal itu patut diterima oleh kita semua? Atau sebaliknya? Yaitu, kita tolak habis-habisan!

Pertama-tama, saya ingin mengutip kalimat seorang fisikawan hebat abad ke-20, Alberth Einstein. Beliau berkata: "The difference between genius and stupidity is that genius has its limits", yang artinya: "Perbedaan antara kejeniusan dan kebodohan adalah bahwa kejeniusan memiliki batasnya". Sederhananya: kejeniusan itu memiliki batas, sementara kebodohan tidak terbatas. Karenanya, orang-orang bodoh seringkali melampaui batas.

Merujuk data kajian World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) dalam Global Competitiveness Report 2017-2018 menunjukan bahwa faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi. WEF menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia

Praktik-praktik korupsi, perampokan-perampokan yang terjadi di proyek-proyek pemerintah dan BUMN seperti e-KTP, Asabri, dan Jiwasraya -- yang merugikan negara Triliunan rupiah -- tentu memiliki konsekuensi logis hal-ihwal investasi. Jika proyek dan perusahaan milik negara saja mudah sekali digarong, mudah sekali dirampok, bagaimana perusahaan yang bukan milik negara? Belum lagi praktik suap, gratifikasi, dan pelicin yang dilakukan sejumlah oknum, terutama dalam pengurusan perizinan.

Kendati fakta menunjukan demikian, alih-alih pemerintah memperkuat KPK dalam perang melawan korupsi, malah justru melemahkan lembaga anti rasuah itu secara sistematis -- merevisi UU KPK -- membentuk dewan pengawas KPK, memberlakukan aturan penyadapan yang harus seijin dewan pengawas KPK, dan membatasi waktu pengusutan kasus korupsi -- artinya, memberhentikan penyidikan suatu kasus korupsi bila tidak bisa dibuktikan dalam dua tahun.

"Thinking is difficult, that's why most people judge", begitu kata C.G Jung -- filsuf yang juga seorang psikoanalis.

Jung benar bahwa berpikir itu sulit, itulah mengapa kebanyakan orang cuma bisa menilai. Dan elite negara kita, termasuk dari kebanyakan orang yang Jung maksud -- sulit untuk berpikir. Karenanya, kebijakan-kebijakan yang mereka buat tidak pernah menyentuh persoalan rakyat. Termasuk RUU Omnibus Law -- yang justru akan membuat kita mengalami krisis multidimensional.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 2020, ada 1.663 bencana melanda Indonesia. Akibat bencana itu, sebanyak 246 orang meninggal dunia dan lebih dari 2,6 juta orang terdampak dan mengungsi.

Kita sering berpikir bahwa kita mengendalikan hidup kita, tapi nyatanya tidak selalu demikian. Oleh karena itu, ketika kehidupan kita tampaknya tidak bekerja, tidak beres -- tidak sesuai ekspektasi, maka kita melihat penyebab masalahnya berasal dari luar -- eksternal. Jarang, bahkan tidak pernah melihat ke dalam diri sendiri, apakah yang kita perbuat sudah benar atau justru salah.

Sopo Nandur Bakal Ngunduh! Kalimat itu bukan sekadar pepatah Jawa, tetapi, ungkapan itu sarat nilai kehidupan -- siapapun dan apapun yang diperbuat atau dilakukan oleh seseorang, maka orang itu sendirilah yang akan menanggung atas perbuatannya.

Bencana-bencana itu bukanlah tanpa sebab, itu adalah hasil investasi kita selama ini.

Investasi yang merusak tatanan sosial, merusak lingkungan, menegasikan -- meniadakan aspek-aspek penting bagi keberlangsungan hidupnya seluruh makhluk hidup -- merusak pondasi-pondasi keseimbangan alam, menggerogoti pasak-pasak bumi, memutus mata rantai ekosistem.

Watak antroposentris itu nyata. Lihatlah Reklamasi Teluk Jakarta, lihatlah penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi, lihatlah Pabrik Semen di Pegunungan Karst Kendeng, lihatlah pembabatan hutan-hutan lindung milik kita, dan lihatlah proyek-proyek infrastruktur lainnya yang ugal-ugalan itu.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)", begitulah tertulis dalam Al-Qur'an, Surah Ar-Rum: 41!

Tapi nampaknya bencana-bencana itu tak kunjung menyadarkan pemerintah kita agar kembali ke jalan yang benar. Justru sebaliknya, merasa sudah berada di jalan yang benar dengan mengusung RUU Omnibus Law. Sebab, RUU Omnibus Law menghapus izin lingkungan yang merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha -- sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 40 ayat (1) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup -- yang secara prinsip menjamin dan memastikan bahwa suatu usaha atau kegiatan pembangunan berjalan tanpa merusak lingkungan.

"Ketentuan Pasal 40 dihapus", demikian tertulis dalam Pasal 23 angka 19 RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Selain itu, RUU Omnibus Law juga menghapus pasal-pasal penting  UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Artinya, dengan menghapus pasal-pasal penting UU tersebut; mendirikan bangunan tidak lagi memerlukan surat tujuan mendirikan bangunan, tidak memerlukan surat izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat kepemilikan tanah sebagai prasyarat mendirikan bangunan.

Dengan demikian, RUU Omnibus Law bukan hanya berpotensi memperparah kerusakan lingkungan hidup tapi juga memicu konflik agraria.
Penghapusan pasal-pasal tersebut juga merupakan jalan bebas hambatan bagi para investor untuk melakukan perampokan sumber daya alam secara besar-besaran, melakukan penggusuran serta perampasan lahan baik di kota-kota, di desa-desa maupun di pelosok-pelosok pedalaman.

Padahal, dalam Pasal 9 ayat (3) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia jelas menegaskan: "setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat."

Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Omnibus Law adalah regulasi yang mencakup berbagai isu atau topik. Sifatnya simplifikasi -- menggantikan beberapa pasal di satu UU dan saat bersamaan mencabut seluruh isi UU lain. Dan ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Selain lingkungan hidup, adalah ketenagakerjaan.

Pada bagian mengingat atau yang dikenal sebagai dasar hukum, yakni dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan itu -- RUU Omnibus Law -- adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara berbunyi: "Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."

Tapi di dalam RUU Omnibus Law yang terjadi adalah sebaliknya -- tiap warga negara tidak berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dalam Bab IV RUU Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan, yang terjadi adalah penghilangan hak-hak tiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Seperti dihapusnya Pasal 89 dan Pasal 90 yang selama ini diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni larangan bagi para pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Artinya, dengan dihapusnya Pasal 89 dan Pasal 90 maka tidak ada lagi larangan membayar upah di bawah upah minimum. Sedangkan, upah minum adalah upah terendah.

RUU Omnibus Law juga menghapus Pasal 91 UU 13/2003 yang memungkinkan pengusaha membuat kesepakatan dengan pekerja untuk membayar upah di bawah upah minimum -- membayar upah pekerja serendah mungkin. Sebab, dalam Pasal 91 ayat (2) menegaskan apabila upah yang dibayarkan lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, RUU Omnibus Law juga menghapus pasal 152 UU 13/2003 tentang PHK. Artinya, dengan dihapusnya pasal tersebut maka pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat dengan mudah dilakukan secara sepihak tanpa adanya perundingan dengan pekerja. Begitu juga dengan hak pesangon para pekerja yang terancam hilang dengan adanya revisi dalam RUU Omnibus Law terhadap Pasal 156 dan Pasal 157 UU 13/2003. Para pekerja juga semakin rentan terhadap bentuk kriminalisasi dan kesewenang-wenangan yang dilakukan pengusaha apabila menuntut hak-haknya. Sebab, selain banyak pasal-pasal penting yang melindungi pekerja dihapus, banyak juga pasal-pasal terkait sanksi-sanksi pidana ketenagakerjaan yang dihapus.

Omnibus Law Berbahaya Dalam Praktik

Ya! Omnibus Law berbahaya! Bahkan, ia sudah berbahaya sejak dalam pikiran. Sedari awal perumusan RUU Omnibus Law berbahaya -- eksklusif -- tertutup, anti-sosial, tidak partisipatif melibatkan publik.

Omnibus Law menutup ruang-ruang perdebatan -- berusaha sekuat tenaga dan pikiran mencegah munculnya perbedaan pikiran dan pandangan. Omnibus Law anti demokrasi.

Omnibus Law mengingkari prinsip-prinsip republik -- trias politica. Omnibus Law bermaksud memorak-porandakan konstitusi kita. Yang pada akhirnya membuat kita terjerat pada aturan yang kita buat sendiri.

Omnibus Law adalah metode atau siasat -- yang menggunakan eufismisme bahasa -- suatu penghalusan kata-kata -- Cipta Kerja; bermaksud mengamandemen UUD Negara kita, menghancurkan sendi-sendi bernegara, meluluhlantakkan nila-nilai Pancasila -- yang mungkin tidak kita sadari sampai nanti ketika mudhorotnya terasa.

Omnibus Law bermaksud merubah negara kita -- dari republik yang merdeka, menjadi terjajah.

Omnibus Law adalah apa yang dikatakan  Antonio Gramsci, yakni suatu konsep Hegemoni! Apakah itu Hegemoni?

Hegemoni adalah satu kondisi, satu keadaan dalam satu masyarakat -- yang dimana satu kelompok sosial di dalam masyarakat mempengaruhi dan menguasai kelompok sosial yang lain di dalam masyarakat itu; dengan atau tanpa kekerasan.

Omnibus Law adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi. Pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.


PENUTUP

Apakah Omnibus Law merupakan satu bentuk wujud dari jargon Trisakti?

Jika iya, maka di mana letak Berdikari dalam politiknya? Jika iya, maka di mana letak Mandiri dalam ekonominya? Jika iya, maka apa dan di mana letak Kepribadian yang mencerminkan budayanya orang-orang Indonesia?

Hendaklah gerakan Menolak Omnibus Law ini bukan hanya menjadi geraknya kaum tani Indonesia, bukan hanya menjadi geraknya kaum buruh Indonesia, bukan hanya menjadi geraknya Mahasiswa Indonesia saja.

Penolakan terhadap Omnibus Law ini harus pula menjadi geraknya Ulama-Ulama Indonesia, menjadi geraknya Pendeta-Pendeta Indonesia, menjadi geraknya Biksu-Biksu Indonesia, menjadi geraknya Brahmana-Brahmana Indonesia, menjadi geraknya kepala-kepala suku Indonesia.

Ia haruslah menjadi satu entitas tunggal, yakni satu gerakannya bangsa Indonesia -- satu gerakannya masyarakat Indonesia -- satu kehendaknya rakyat Indonesia.

"Kelaparan massal memang masih melanda dari waktu ke waktu, tetapi semua itu pengecualian, dan hampir selalu disebabkan oleh politik manusia, ketimbang bencana alam. Tidak ada lagi bencana kelaparan alamiah di dunia, yang ada hanya bencana kelaparan politik. Jika orang-orang di Suriah, Sudan, atau Somalia mati kelaparan, itu karena sebagian politisi menginginkannya." Homo Deus - Masa Depan Umat Manusia, karya Yuval Noah Harari.

Tolak Omnibus Law..!


Referensi:

RUU Omnibus Law

UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Okezone.com. 1.663 Bencana Terjang Indonesia, Sebanyak 2,6 Juta Jiwa Terdampak.

The Conversation. Tiga Alasan Mengapa Pembahasan RUU Omnibus Law Seharusnya Ditunda Di Tengah Pandemi COVID-19.

Hukum Online.com. Arti 'Menimbang' dan 'Mengingat' Dalam Peraturan Perundang-Undangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun