Mohon tunggu...
David Khadafi
David Khadafi Mohon Tunggu... Buruh - Debutan

Melesatlah bersama cinta seperti anak panah menuju sasarannya.

Selanjutnya

Tutup

Money

Omnibus Law: Keliru dalam Logika, Berbahaya dalam Praktik!

14 Agustus 2020   08:58 Diperbarui: 13 Oktober 2020   05:57 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pamflet Penolakan Omnibus Law

Dengan penuh percaya diri, Jokowi bilang begini: "Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini (tangan menunjuk ke atas)," kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu (5/8/2015).

Tapi kenyataannya, ekonomi justru menukik. Alih-alih meroket.

Presiden Jokowi berdalih bahwa ini adalah akibat investor tidak mau masuk ke Indonesia, sebabnya izinnya terlalu berbelit-belit. Indonesia mengalami hyper regulasi, obesitas regulasi, dan maka dari itu Omnibus Law dapat menjadi solusi atas persoalan tersebut. "Kita mengalami hyper regulasi, obesitas regulasi. Membuat kita terjerat oleh aturan yang kita buat sendiri. Oleh karena itu mulai dari PP, Perpres, Permen, Perdirjen, Perda harus kita sederhanakan,"

"Omnibus law memang belum operate di Indonesia, tapi sudah diterapkan di berbagai negara lain. Harapannya hukum kita jauh lebih sederhana, fleksibel, dan siap berkompetisi," begitu kata Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2020).

Sekarang, marilah kita selidiki, apakah Omnibus Law itu merupakan suatu pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia dewasa ini? Apakah hal itu patut diterima oleh kita semua? Atau sebaliknya? Yaitu, kita tolak habis-habisan!

Pertama-tama, saya ingin mengutip kalimat seorang fisikawan hebat abad ke-20, Alberth Einstein. Beliau berkata: "The difference between genius and stupidity is that genius has its limits", yang artinya: "Perbedaan antara kejeniusan dan kebodohan adalah bahwa kejeniusan memiliki batasnya". Sederhananya: kejeniusan itu memiliki batas, sementara kebodohan tidak terbatas. Karenanya, orang-orang bodoh seringkali melampaui batas.

Merujuk data kajian World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) dalam Global Competitiveness Report 2017-2018 menunjukan bahwa faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi. WEF menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia

Praktik-praktik korupsi, perampokan-perampokan yang terjadi di proyek-proyek pemerintah dan BUMN seperti e-KTP, Asabri, dan Jiwasraya -- yang merugikan negara Triliunan rupiah -- tentu memiliki konsekuensi logis hal-ihwal investasi. Jika proyek dan perusahaan milik negara saja mudah sekali digarong, mudah sekali dirampok, bagaimana perusahaan yang bukan milik negara? Belum lagi praktik suap, gratifikasi, dan pelicin yang dilakukan sejumlah oknum, terutama dalam pengurusan perizinan.

Kendati fakta menunjukan demikian, alih-alih pemerintah memperkuat KPK dalam perang melawan korupsi, malah justru melemahkan lembaga anti rasuah itu secara sistematis -- merevisi UU KPK -- membentuk dewan pengawas KPK, memberlakukan aturan penyadapan yang harus seijin dewan pengawas KPK, dan membatasi waktu pengusutan kasus korupsi -- artinya, memberhentikan penyidikan suatu kasus korupsi bila tidak bisa dibuktikan dalam dua tahun.

"Thinking is difficult, that's why most people judge", begitu kata C.G Jung -- filsuf yang juga seorang psikoanalis.

Jung benar bahwa berpikir itu sulit, itulah mengapa kebanyakan orang cuma bisa menilai. Dan elite negara kita, termasuk dari kebanyakan orang yang Jung maksud -- sulit untuk berpikir. Karenanya, kebijakan-kebijakan yang mereka buat tidak pernah menyentuh persoalan rakyat. Termasuk RUU Omnibus Law -- yang justru akan membuat kita mengalami krisis multidimensional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun