Berdasarkan gambar diatas, pemaknaan terjadi dalam dua tahap. Tanda (penanda dan petanda) pada tahap pertama dan menyatu sehingga dapat membentuk penanda pada tahap kedua, kemudian pada tahap berikutnya penanda dan petanda yang yang telah menyatu ini dapat membentuk petanda baru yang merupakan perluasan makna.
Dengan demikian, semiologi Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa pada tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebutnya metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang berisi penanda dan petanda Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama disebutnya dengan istilah denotosi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Konotasi dan metabahasa adalah cermin yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi-operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan untuk menerapkan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda, di luar kesatuan penanda-penanda asli, di luar al am deskriptif. Sementara itu, konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utamanya bersifat sosial dalam hal pesan literal memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisial atau ideologis secara umum.
Dalam kerangka Barthes, terdapat aspek lain dari penandaan yaitu 'mitos'. Barthes menjelaskan bahwa mitos bukanlah artian yang berkembang di kalangan masyarakat yang mempunyai makna tahayul atau tidak logis (tidak masuk akal). Mitos yang dimaksud Barthes adalah sebuah bahasa dan juga sebuah pesan. Barthes mengatakan bahwa mitos adalah sistem semiologis, yaitu sistem tanda-tanda yang dimaknai oleh manusia. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Jadi jika konotasi tersebut sudah lama terbentuk di masyarakat maka itu menjadi sebuah mitos.
d. Semiotika Umberto Eco
Umberto Eco mengungkapkan bahwa semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai sebagai suatu tanda-tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai pengganti untuk sesuatu yang lain. Semiotika berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat diambil sebagai tanda. Semiotika adalah ilmu komunikasi dan sistem tanda, tentang cara orang memahami fenomena dan mengaturnya secara mental. Bidangnya mencakup semua isyarat non-verbal dan meluas dimana dimensi komunikatifnya hanya dirasakan secara tidak sadar.
e. Semiotika Hukum
Aliran semiotika hukum (Semiotic Jurisprudence) merupakan cabang dari filsafat semiotika yang muncul pada tahun 1980an di Amerika Serikat. Aliran semiotika hukum dipengaruhi oleh pemikiran semiotika dari Charles Sanders Peirce. Semiotika hukum saat ini masih berada dalam proses penentuan kajiannya sehingga muncul banyak istilah baru dalam kompleks dengan kegunaan dan definisi yang berbeda. Bahkan salah satu pandangan yang cukup ekstrim telah membuat klaim untuk eksistensi otonomnya sebagai sebuah paradigma. Sementara sudut pandang ekstrim lainnya mencoba untuk menyatukan elemen-elemen analisis semiotika dalam analisis hukum.
Tulisan ini akan mencoba menjadikan UU HPP sebagai objek kajian yang ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermeneutika hukum, yang dengan kata lain berupa teks dari UU HPP itu sendiri. Semiotik kajian dilakukan bukan hanya melalui teks UU HPP itu sendiri namun juga berdasarkan penyandingan dengan undang-undang pajak sebelumnya.
Semiotika Kajian Perubahan Aturan KUP Dalam UU HPP
a. Kajian semiotika penambahan pasal 2 ayat (1a)