Kejadian kurang menyenangkan saya alami sewaktu melakukan kegiatan jurnalistik, kemarin malam. Ibarat pepatah, "tak kenal maka tak sayang", bukannya dipermudah justru dipersulit. Meski begitu, saya selalu beranggapan bahwa ada hikmah dibalik tiap peristiwa.
Saya dan kekasih, bersama dua orang teman berencana pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di Denpasar, Rabu (30/12) malam.
Selagi perjalanan itu, dipersimpangan jalan Raya Puputan, saya melihat adanya sekumpulan pecalang sedang mengerumuni tukang terompet pinggir jalan.
Insting jurnalistik saya langsung 'menyala'. Saya sangka para polisi adat itu sedang merazia atau melarang penjaja terompet berjualan. Maklum, hingga H-2, saya tidak menjumpai satu pun tukang terompet di sisi jalan.
Sepanjang jalan saya jadi kepikiran. Kalau Sat Pol PP yang merazia sudah biasa. Tapi kalau pecalang, rasanya belum pernah saya temui sebelumnya.
Saya kemudian 'bernegoisasi' dengan kekasih saya. Itu ada berita baru, sayang kalau dilewatkan begitu saja. Tentu saya membujuknya dengan untaian kata manis disertai bumbu gombal dan nada memelas.
Akhirnya saya diijinkan. Saya drop dia di pusat perbelanjaan. Toh ada dua teman lain yang bisa menjaga dan mengawalnya. Sementara saya melakukan peliputan.
Baru jalan beberapa meter, saya terjebak kemacetan di jalan Raya Diponegoro. Aduh! Saya lupa kalau sekarang lagi momen-nya orang belanja gila-gilaan akhir tahun.
Selap-selip sana sini diantara celah mobil, terbebas juga saya dari kepadatan arus. Namun sayang, sesampainya di lokasi kejadian, razianya sudah berpindah tempat entah kemana.
Ketimbang pulang tanpa hasil, saya mintai keterangan si pedagang terompet.
Adit, 26, menuturkan bahwa pecalang-pecalang itu sedang merazia petasan / mercon. Pria asal Lumajang, Jawa Timur, itu mengaku baru sekali ini berjualan terompet di Denpasar.