Mohon tunggu...
daphnelesmana
daphnelesmana Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa S1 Farmasi

Saya adalah mahasiswa S1 Farmasi semester 3 yang aktif di berbagai kegiatan organisasi dan kepanitiaan. Saya menjabat sebagai koordinator pelatihan di lembaga pers mahasiswa, di mana saya mengelola berbagai pelatihan dan pengembangan anggota. Selain itu, saya juga mengikuti beberapa panitia lepas, yang memberikan pengalaman berharga dalam mengelola acara besar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Agama Katolik tentang Bullying pada Kalangan Mahasiswa terhadap Kesehatan Mental

17 November 2024   00:00 Diperbarui: 7 Desember 2024   17:07 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrak

Mahasiswa perguruan tinggi merupakan transisi remaja akhir menghadapi masalah kesehatan mental, salah satunya akibat bullying. Korban dari perilaku bullying, yang didefinisikan sebagai perilaku agresif yang berulang dan disengaja, dapat mengalami efek negatif yang signifikan, termasuk depresi, kecemasan, dan masalah tidur, serta mengganggu partisipasi sosial dan akademik mereka di kampus. Gereja Katolik memandang bullying sebagai pelanggaran martabat manusia yang bertentangan dengan ajaran kasih, sehingga menekankan pentingnya membuat lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan mendukung. Gereja berusaha membantu pemulihan korban, membangun komunitas yang sehat, mewujudkan rekonsiliasi, membantu mahasiswa mengatasi trauma bullying, dan membangun lingkungan yang menghargai martabat manusia dengan menggunakan pendekatan nilai kasih, pengampunan, dan keadilan.

Kata Kunci: Bullying, Kesehatan Mental, Agama Katolik

PENDAHULUAN

       Mahasiswa, sebagai peserta didik di perguruan tinggi, termasuk dalam kategori remaja akhir dengan rentang usia antara 18 hingga 21 tahun (Hurlock, 1990). Pada fase ini, mahasiswa mulai belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang lebih luas, mempersiapkan diri untuk menjalani berbagai peran sebagai orang dewasa (Rumini & Sundari, 2004). Namun, dalam proses ini, mereka sering dihadapkan pada tantangan yang signifikan, terutama terkait dengan kesehatan mental akibat pengalaman bullying.

       Menurut Priyatna, 2010, bullying adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh pelaku terhadap korban. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Olweus, 1999, yang menyatakan bahwa bullying merupakan perilaku agresif yang dilakukan dengan sengaja oleh satu atau lebih pelaku dalam jangka waktu yang cukup lama terhadap korban yang tidak mampu membela dirinya sendiri. 

Tindakan bullying antar sesama, terutama yang terjadi di lingkungan institusi pendidikan, telah menjadi keprihatinan mendalam bagi berbagai kalangan, termasuk orang tua, dosen, lembaga pendidikan, serta masyarakat luas.

       Permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental seorang individu. Menurut WHO, kesehatan mental adalah kondisi yang dimiliki individu secara sadar, mencakup berbagai kemampuan untuk mengelola tingkat stres dalam kehidupan dengan cara yang wajar. Dengan kata lain, kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menjaga stabilitas dirinya saat menghadapi berbagai masalah (Wahani, 2022). 

Remaja yang mengalami bullying secara terus-menerus dapat mengembangkan emosi yang tidak stabil dan mengalami penurunan kepercayaan diri dengan contoh mengurangi partisipasi aktif mereka dalam kegiatan kampus. Selain itu, perilaku bullying juga berdampak pada kondisi psikologis korban, seperti mudah menangis, cepat marah, dan merasakan ketakutan yang berlebihan saat berinteraksi dengan orang lain. Insiden bullying juga menciptakan lingkungan yang tidak kondusif.

       Dalam pandangan Agama Katolik, perundungan dianggap bertentangan dengan prinsip kasih, penghormatan, dan martabat manusia (Lohor & Nempar, 2021). Gereja menekankan pentingnya memperlakukan sesama dengan cinta, serta menghindari segala bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, maupun emosional yang terjadi dalam bullying. Di kalangan mahasiswa, seperti juga kelompok lain, tindakan ini merusak hubungan antarindividu dan mengabaikan martabat manusia sebagai Ciptaan Tuhan.

       Oleh karena itu, ajaran Katolik dapat menjadi solusi dalam upaya mengatasi dan mencegah bullying dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan mendukung bagi setiap individu. Bullying di kalangan mahasiswa terbukti memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental mereka. Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk menganalisis lebih dalam mengenai perilaku bullying dan dampaknya terhadap kesehatan mental di kalangan mahasiswa, serta bagaimana nilai-nilai Katolik dapat memberikan kontribusi dalam penanganannya.

METODE

       Metode yang digunakan ialah metode kualitatif deskriptif yang sumber datanya diperoleh dari jurnal yang relevan. Metode ini membahas dengan menguraikan sumber data-data yang sudah diperoleh dari dokumen atau jurnal yang mengarah pada tanggapan Agama Katolik mengenai pengaruh bullying terhadap kesehatan mental mahasiswa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

       Berdasarkan Wahani, dkk (2022), penyebab bullying terdapat beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal ini terkait dengan diri sendiri seorang individu, yakni jenis kelamin, kepribadian, sikap apatis (sikap kurangnya kepedulian dengan orang lain pada lingkungan disekitarnya), dan perilaku disruptif yang merupakan perilaku anak yang cenderung mengganggu, melakukan tindakan kekerasan, serta melawan orang lain dan aturan di sekitarnya (Yulianti, dkk, 2024).

 Umumnya, perilaku disruptif terjadi pada lingkungan yang kurang mendukung. Sebagai contoh sekolah adalah tempat dimana anak-anak mengembangkan keterampilan intelektual, psikomotorik, perilaku, dan emosional. 

Selain itu, sekolah sebagai tempat untuk berinteraksi dengan lingkungan maupun teman. Hal ini seorang individu dapat mengetahui bahwa setiap orang memiliki tipe kepribadian yang berbeda-beda. Sebagai lanjutan dari pengalaman sekolah, kampus sebagai wadah untuk mengembangkan diri dan beradaptasi dengan dinamika sosial yang lebih kompleks. 

Lingkungan kampus menentukan apakah pertumbuhan mahasiswa didukung atau dihambat. Jika lingkungan kampus tidak mendukung atau tidak menanggapi kebutuhan emosional siswa, maka dapat memperburuk risiko bullying. Lingkungan kampus yang kurang mendukung, baik dari segi fasilitas, dukungan emosional, atau koneksi sosial, dapat mendorong mahasiswa untuk berkembang secara positif dan berkontribusi secara aktif pada komunitasnya. 

Sebaliknya, lingkungan kampus yang mendukung atau sehat, mahasiwa dapat memperoleh dukungan dan interaksi sosial yang inklusif, sehingga dapat membantu membangun karakter mahasiswa yang positif untuk berkembang secara positif dan berkontribusi secara aktif di komunitasnya.

       Faktor-faktor yang berasal dari luar diri seseorang disebut faktor eksternal. Misalnya, lingkungan sekolah dan masyarakat seseorang individu. Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang negatif, seperti kemiskinan atau status sosial ekonomi yang rendah. 

Selain itu, perundungan juga dapat disebabkan dari media sosial. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi, informasi atau data yang ingin dicari menjadi semakin canggih, mudah, dan cepat didapatkan. Banyak tayangan di media sosial yang tidak sesuai dengan perkembangan anak, yang dapat memicu perilaku kasar yang dapat berujung bullying (Yulianti, dkk, 2024). 

Media sosial dapat memudahkan untuk memicu perilaku bullying, sehingga membuat korban terintimidasi atau terancam untuk berkembang, seperti merasa malu atau rendah diri. Oleh karena itu, penting bagi orang tua seorang individu untuk memberikan perhatian khusus kepada anak-anak mereka (Wahani, dkk, 2022).

       Adapun 4 aspek dalam bullying menurut Coloroso (2007:44), yakni ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut, dan teror. Pada ketidakseimbangan kekuatan, pelaku dan korban bullying tidak memiliki kekuatan yang sama. 

Hal ini menyebabkan bullying. Pelaku bullying memiliki keunggulan, seperti usia, kemampuan berbicara, status sosial yang lebih tinggi atau berasal dari kasta yang lebih tinggi, sedangkan korban bullying umumnya berasal dari kasta yang lebih rendah dan memiliki kelemahan yang membuat mereka rentan terhadap bullying.

       Niat untuk mencederai ini merupakan pelaku bullying sering kali memiliki niat untuk menyakiti korban secara fisik atau psikologis. Luka fisik dan kesedihan emosional yang dialami korban bullying dapat membuat pelaku bullying puas. Hal ini yang menunjukkan bahwa adanya niat untuk mencederai.

       Ancaman agresi lebih lanjut adalah perilaku berulang baik pelaku maupun korban bullying memahami jika perilaku bullying ini akan terjadi lagi di masa depan. Oleh karena itu, perilaku bullying merupakan perilaku secara kontinu. Aspek terakhir bullying, yaitu teror dimana bullying merupakan bentuk intimidasi yang digunakan untuk mengintimidasi seseorang. Teror memiliki tujuan, yaitu untuk menindas. Perilaku bullying umumnya menindas korbannya.

       Bullying dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan mental korban dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan korban bullying, terutama pada anak-anak, remaja, hingga mahasiswa. Studi menunjukkan bahwa menjadi korban bullying dapat menyebabkan gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan masalah tidur.

       Korban bullying sering mengalami depresi, yang membuat mereka merasa sedih, kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya mereka nikmati, dan merasa putus asa. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup mereka dan bahkan memicu pemikiran atau tindakan yang merugikan diri sendiri (Wahani, dkk, 2022). 

Dampak selanjutnya dari bullying adalah kecemasan. Korban bullying sering merasa cemas, takut, dan was-was dalam berbagai situasi, terutama di kampus. Hal ini dapat mengganggu fokus korban secara akademik dan lingkungan luar (berinteraksi dengan orang lain), serta meningkatkan risiko mengembangkan gangguan kecemasan yang lebih serius di masa depan (Yulianti, dkk, 2024).

       Korban bullying umumnya mengalami gangguan tidur, termasuk kesulitan tidur (insomia), sering terbangun di malam hari, atau mimpi buruk berulang akibat trauma yang dialaminya. Gangguan tidur ini dapat menyebabkan kelelahan, penurunan konsentrasi, dan mempengaruhi kesejahteraan fisik dan mental mereka secara keseluruhan (Saputri, 2020). Selain efek psikologis adapun bullying juga dapat membuat korban merasa tidak aman dan terisolasi di kampus. 

Perasaan tidak aman ini dapat menghambat korban bullying untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial maupun akademik, serta mempengaruhi pertumbuhan sosial dan emosional mereka. Hal ini juga dapat merusak pengalaman kampus secara keseluruhan dan berdampak pada kemampuan mereka untuk berkembang secara optimal dalam komunitas kampus.

       Menurut Gereja Katolik, tindakan kekerasan bullying dianggap sebagai pelanggaran moral yang menentang penghormatan terhadap martabat manusia, karena melibatkan penghinaan, merendahkan, dan dapat menyakiti individu lain baik secara fisik maupun emosional (Lohor & Nampar, 2021). Gereja menentang perilaku bullying dan melalui tindakan kasih yang diajarkan oleh Kristus. Gereja juga membantu mereka yang menjadi korban. 

Pandangan ini sejalan dengan prinsip yang terkandung dalam Konsili Vatikan II, yaitu menetapkan bahwa Gereja harus terlibat dalam menangani masalah kemanusiaan. Menurut Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, para murid Kristus juga merasakan kegembiraan, harapan, kesedihan, dan kecemasan manusia (Konsili Vatikan II, 1965). 

Pendekatan berbasis nilai kasih ini dapat diterapkan di kampus dengan membentuk komunitas yang mendukung, menetapkan kebijakan tegas anti-bullying, dan menyediakan layanan konseling yang membantu mahasiswa mengatasi trauma yang disebabkan oleh bullying dan memberikan ruang bagi pelaku bullying untuk memperbaiki diri.

       Bagian dari tugas perutusan Gereja adalah menangani kekerasan. Hal ini bukan hanya hasil dari tugas mengajarkan iman, tetapi juga cara Gereja menghayati iman. Gereja bergantung pada kasih Kristus untuk membela kebenaran dan melindungi martabat manusia. Misi utusan Gereja didasarkan pada spiritual utama, yakni cinta kasih.

       Gereja diutus untuk keselamatan dalam ajaran Kristus yang dimulai dari dalam komunitas Gereja sendiri dan berlaku hingga akhir zaman. Semua orang yang bersekutu dengan Allah melalui Kristus juga dipanggil untuk keselamatan, dan Gereja memiliki misi untuk membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia. Kehadiran Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan karena dunia membutuhkan keselamatan, dan Gereja memiliki misi untuk menyediakan keselamatan kepada semua orang yang bersekutu dengan Allah melalui Kristus.

       Dalam imbauan apostolik Paus Paulus VI berjudul Evangelii Nuntiandi, menekankan bahwa "sarana utama bagi penginjilan adalah kesaksian hidup Kristen yang otentik" (Paulus VI, 1975, no.41). Kesaksian hidup ini sangat penting karena orang lebih tertarik pada kesaksian daripada pengajaran. 

Yesus mengajarkan tidak menghakimi dan mengasihi musuh dalam Matius 5:21-23, 5:43, dan 7:1-5. Gereja hadir untuk mempromosikan kedamaian yang didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan dipelihara oleh hukum cinta kasih.

       "Allah adalah kasih," tulis Rasul Yohanes dalam suratnya. Melalui inkarnasi dan misteri Yesus Kristus, Paskah, Allah menunjukkan kasih-Nya yang nyata dan dapat dialami. Menurut Fransiskus (2016), Yesus disebut sebagai "wajah kerahiman Allah" karena seluruh keberadaan-Nya menunjukkan kasih Allah. 

Tiga prinsip utama terdiri dari ajaran kasih Yesus: tidak berkata kasar, tidak membalas dendam, dan mengampuni orang yang bersalah (Lohor & Nampar, 2021). Yesus mengatakan dalam Khotbah di Bukit (Matius 5:21-22) bahwa orang yang marah dan kasar kepada sesamanya harus dihukum. Dengan menghindari ucapan dan tindakan kasar terhadap sesama, rantai kekerasan dapat diputuskan.

       Tidak membalas dendam. Yesus mengajarkan kita untuk melawan kekerasan bullying dengan kemurahan hati daripada membalas dendam. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus meminta murid-muridnya untuk memberikan pipi kiri mereka saat dia ditampar pipi kanan mereka dan untuk tidak menolak orang yang meminta bantuan (Matius 5:38-42). 

Yesus mengajarkan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, meskipun hukum Taurat memungkinkan pembalasan yang setimpal, atau lex talionis (Seto Marsunu, 2015). Dikarenakan kekerasan hanya akan menghasilkan penindasan baru, gereja tidak dapat menerimanya (Paulus VI, 1975, no.37).

       Mengampuni Orang yang Bersalah. Ketidaksetiaan manusia sering mengganggu sejarah hubungan antara Allah dan manusia. Namun, Allah tidak menghukum dosa dengan hukuman, tetapi dengan belas kasihan (Fransiskus, 2016). Yesus menunjukkan pengampunan dalam kisah tentang perempuan yang berzinah (Yohanes 8:1-6) dan saat Dia mengampuni orang yang menyalibkan-Nya dari atas kayu salib (Lukas 23:34). 

Menurut Fransiskus (2016), tanda cinta kasih Allah yang paling jelas adalah pengampunan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan membedakan antara orang yang bersalah dan orang yang melakukannya, lingkaran kekerasan dapat diputus. Gereja didorong oleh ajaran ini untuk mendukung kasih dan perdamaian yang didasarkan pada penghormatan terhadap martabat manusia (Yohanes XXIII, 1963; Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, no.28).

       Dunia digambarkan sebagai ciptaan Allah yang sempurna dalam bab pertama kitab Kejadian. Menurut Pareira (2011), Allah membuat langit dan bumi, serta isinya dengan sangat baik. Allah mengubah ketidakteraturan menjadi keteraturan, kegelapan menjadi cahaya, dan kematian menjadi kehidupan. Dia membuat ruang dan waktu untuk kehidupan berkembang (Pareira, 2011). Allah tidak menginginkan kekacauan, kekacauan, atau kekerasan dalam ciptaan-Nya. Allah membuat semua hal baik dan menginginkan rasa persaudaraan antar sesama manusia.

       Ketika Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, menurut gambar dan rupa-Nya, kehendak-Nya ini semakin jelas. Manusia diciptakan bukan hanya untuk bekerja sama dengan-Nya dalam menjaga ciptaan-Nya, tetapi juga untuk hidup bersama-sama dalam kelompok. Menurut International Theological Commission (2020), Allah Tritunggal menciptakan manusia untuk hidup bersama dengan sesama, ciptaan lain, dan Allah sendiri.

       Tidak peduli budaya, gender, atau sosial, setiap orang memiliki kewajiban untuk membantu dan menjaga sesama. Menurut Benediktus XVI (2013), martabat manusia tidak dapat diragukan lagi karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. 

Kemudian, martabat manusia memiliki asal yang sama dari Allah, umat manusia adalah satu kesatuan (Katekismus Gereja Katolik, no.360). Oleh karena itu, kehidupan manusia adalah penting dan suci. Menurut Fransiskus (2018), manusia membawa gambar Allah dan merupakan objek kasih-Nya yang tak terbatas.

       Keyakinan bahwa Tuhan Maha Melihat dapat membantu orang menghindari perilaku buruk seperti bullying. Dalam penelitian Aulia, dkk (2023), wawancara yang dilakukan oleh Abdillah dan Chandra pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa praktik keagamaan dan ajaran untuk berbuat baik terhadap sesama dapat mencegah bullying karena semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan. 

Selanjutnya, merasakan kedekatan dengan Tuhan mendorong seseorang untuk terus melakukan hal-hal baik dan menghindari melakukan hal-hal yang merugikan orang lain (Aulia, dkk (2023).

       Selain itu, yang ditunjukkan dalam wawancara dengan Ningsih, pendidikan agama dapat membantu orang mencerminkan nilai-nilai agama, seperti tidak menyakiti, membantu, dan menyayangi sesama (Aulia, dkk, 2023). Menurut analisis ini, seseorang yang memiliki pendidikan agama yang baik memiliki kontrol perilaku yang mencegah mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas.

PENUTUP

       Gereja Katolik melihat bullying mahasiswa sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia yang bertentangan dengan ajaran kasih Agama Katolik. Hal ini yang menuntut penghormatan terhadap sesama dan cinta kasih dalam setiap aspek kehidupan. Gereja menawarkan pendekatan yang didasarkan pada nilai-nilai pengampunan dan keadilan untuk mengatasi bullying di kampus. 

Pendekatan ini berusaha mewujudkan rekonsiliasi dan pemulihan bagi korban sambil tetap menegakkan tanggung jawab pelaku bullying. Gereja berusaha menciptakan lingkungan kampus yang ramah, menghargai martabat manusia, dan menumbuhkan mahasiswa yang positif sesuai ajaran kasih Kristus dengan menyediakan komunitas pendukung, kebijakan anti-bullying yang tegas, dan layanan konseling yang membantu pemulihan trauma yang dialaminya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab: Deuterokanonika. 1992. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Aulia, A.Z.N, Cheriyanto, A.R.P., Alifia, D.A.T., Fakhrissa, Y., & Rizkiyah, E.L. 2023. Penerapan Sikap Religius Dalam Kasus Bullying. Moderasi: Jurnal Kajian Islam Kontemporer, 1(1); 1-25.

Benediktus XVI, P. 2007. Angelus. Available at: https://www.vatican.va/content/benedict-xvi/en/angelus/2007.index.html (Accessed: 11 November 2024).

Coloroso, B. 2007. Stop Bullying. PT. Ikrar Mandiri Abadi.

Fransiskus, P. 2016. Misericordiae Vultus (Wajah Kerahiman). Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia.

Fransiskus, P. 2018. Audiensi Umum. Available at: https://www.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2018.html (Accessed: 11 November 2024).

Hurlock, E.B. 1990. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

International Theological Commission. 2020. The Reciprocity between Faith and Sacraments in the Sacramental Economy. Available at: https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/cti_documents/rc_cti_20200303_reciprocita-fede-sacramenti_en.html (Accessed: 11 November 2024).

Katekismus Gereja Katolik. 2007. Diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru. Ende: Nusa Indah.

Konsili Vatikan II. 1965. Gaudium et spes. Available at: https://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19651207_gaudium-et-spes_en.html# (Accessed: 11 November 2024).

Lohor, P.J.D., & Nampar, H.D.N. 2021. Pandangan Gereja Katolik Tentang Pendidikan Anti Kekerasan dan Implementasinya Bagi Kehidupan Gereja. Gaudium Vestrum: Jurnal Kateketik Pastoral, 5(2); 112-124.

Olweus, D. 1999. Sweden. The nature of school bullying: A cross-national perspective. London & New York: Routledge.

Pareira, B.A. 2011. Spiritualitas Ekologi Menurut KEJ 1:1-2:4a'. STFT Widya Sasana, Malang.

Paulus VI, P. 1975. Evangelii Nuntiandi. Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia.

Priyatna. 2010. NoLet's End Bullying: Memahami, Mencegah, dan. Mengatasi Bullying. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Rumini, S. & Sundari, S. 2004. Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.

Saputri, I. 2020. Bimbingan Kelompok dalam Membangun Kepercayaan diri bagi Korban Bullying. Doctoral dissertation, IAIN Parepare.

Wahani, E. T., Isroini, S. P., & Setyawan, A. 2022. Pengaruh Bullying Terhadap Kesehatan Mental Remaja. EduCurio: Education Curiosity, 1(1); 198-203.

World Health Organization. Mental Health: Strengthening Our Responses. 2018. Diakses pada 26 September 2024 dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response

Yohanes XXIII, P. 1963. Pacem di Terris. Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia.

Yulianti, Pakpahan, I., Angraini, D., Ayunabilla, R., Febia, A. A., & Habibi, M. I. 2024. DAMPAK BULLYING TERHADAP KESEHATAN MENTAL. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia, 10(1); 153-160.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun