Dunia digambarkan sebagai ciptaan Allah yang sempurna dalam bab pertama kitab Kejadian. Menurut Pareira (2011), Allah membuat langit dan bumi, serta isinya dengan sangat baik. Allah mengubah ketidakteraturan menjadi keteraturan, kegelapan menjadi cahaya, dan kematian menjadi kehidupan. Dia membuat ruang dan waktu untuk kehidupan berkembang (Pareira, 2011). Allah tidak menginginkan kekacauan, kekacauan, atau kekerasan dalam ciptaan-Nya. Allah membuat semua hal baik dan menginginkan rasa persaudaraan antar sesama manusia.
    Ketika Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, menurut gambar dan rupa-Nya, kehendak-Nya ini semakin jelas. Manusia diciptakan bukan hanya untuk bekerja sama dengan-Nya dalam menjaga ciptaan-Nya, tetapi juga untuk hidup bersama-sama dalam kelompok. Menurut International Theological Commission (2020), Allah Tritunggal menciptakan manusia untuk hidup bersama dengan sesama, ciptaan lain, dan Allah sendiri.
    Tidak peduli budaya, gender, atau sosial, setiap orang memiliki kewajiban untuk membantu dan menjaga sesama. Menurut Benediktus XVI (2013), martabat manusia tidak dapat diragukan lagi karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.Â
Kemudian, martabat manusia memiliki asal yang sama dari Allah, umat manusia adalah satu kesatuan (Katekismus Gereja Katolik, no.360). Oleh karena itu, kehidupan manusia adalah penting dan suci. Menurut Fransiskus (2018), manusia membawa gambar Allah dan merupakan objek kasih-Nya yang tak terbatas.
    Keyakinan bahwa Tuhan Maha Melihat dapat membantu orang menghindari perilaku buruk seperti bullying. Dalam penelitian Aulia, dkk (2023), wawancara yang dilakukan oleh Abdillah dan Chandra pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa praktik keagamaan dan ajaran untuk berbuat baik terhadap sesama dapat mencegah bullying karena semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan.Â
Selanjutnya, merasakan kedekatan dengan Tuhan mendorong seseorang untuk terus melakukan hal-hal baik dan menghindari melakukan hal-hal yang merugikan orang lain (Aulia, dkk (2023).
    Selain itu, yang ditunjukkan dalam wawancara dengan Ningsih, pendidikan agama dapat membantu orang mencerminkan nilai-nilai agama, seperti tidak menyakiti, membantu, dan menyayangi sesama (Aulia, dkk, 2023). Menurut analisis ini, seseorang yang memiliki pendidikan agama yang baik memiliki kontrol perilaku yang mencegah mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas.
PENUTUP
    Gereja Katolik melihat bullying mahasiswa sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia yang bertentangan dengan ajaran kasih Agama Katolik. Hal ini yang menuntut penghormatan terhadap sesama dan cinta kasih dalam setiap aspek kehidupan. Gereja menawarkan pendekatan yang didasarkan pada nilai-nilai pengampunan dan keadilan untuk mengatasi bullying di kampus.Â
Pendekatan ini berusaha mewujudkan rekonsiliasi dan pemulihan bagi korban sambil tetap menegakkan tanggung jawab pelaku bullying. Gereja berusaha menciptakan lingkungan kampus yang ramah, menghargai martabat manusia, dan menumbuhkan mahasiswa yang positif sesuai ajaran kasih Kristus dengan menyediakan komunitas pendukung, kebijakan anti-bullying yang tegas, dan layanan konseling yang membantu pemulihan trauma yang dialaminya.
Â