Pendekatan berbasis nilai kasih ini dapat diterapkan di kampus dengan membentuk komunitas yang mendukung, menetapkan kebijakan tegas anti-bullying, dan menyediakan layanan konseling yang membantu mahasiswa mengatasi trauma yang disebabkan oleh bullying dan memberikan ruang bagi pelaku bullying untuk memperbaiki diri.
    Bagian dari tugas perutusan Gereja adalah menangani kekerasan. Hal ini bukan hanya hasil dari tugas mengajarkan iman, tetapi juga cara Gereja menghayati iman. Gereja bergantung pada kasih Kristus untuk membela kebenaran dan melindungi martabat manusia. Misi utusan Gereja didasarkan pada spiritual utama, yakni cinta kasih.
    Gereja diutus untuk keselamatan dalam ajaran Kristus yang dimulai dari dalam komunitas Gereja sendiri dan berlaku hingga akhir zaman. Semua orang yang bersekutu dengan Allah melalui Kristus juga dipanggil untuk keselamatan, dan Gereja memiliki misi untuk membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia. Kehadiran Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan karena dunia membutuhkan keselamatan, dan Gereja memiliki misi untuk menyediakan keselamatan kepada semua orang yang bersekutu dengan Allah melalui Kristus.
    Dalam imbauan apostolik Paus Paulus VI berjudul Evangelii Nuntiandi, menekankan bahwa "sarana utama bagi penginjilan adalah kesaksian hidup Kristen yang otentik" (Paulus VI, 1975, no.41). Kesaksian hidup ini sangat penting karena orang lebih tertarik pada kesaksian daripada pengajaran.Â
Yesus mengajarkan tidak menghakimi dan mengasihi musuh dalam Matius 5:21-23, 5:43, dan 7:1-5. Gereja hadir untuk mempromosikan kedamaian yang didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan dipelihara oleh hukum cinta kasih.
    "Allah adalah kasih," tulis Rasul Yohanes dalam suratnya. Melalui inkarnasi dan misteri Yesus Kristus, Paskah, Allah menunjukkan kasih-Nya yang nyata dan dapat dialami. Menurut Fransiskus (2016), Yesus disebut sebagai "wajah kerahiman Allah" karena seluruh keberadaan-Nya menunjukkan kasih Allah.Â
Tiga prinsip utama terdiri dari ajaran kasih Yesus: tidak berkata kasar, tidak membalas dendam, dan mengampuni orang yang bersalah (Lohor & Nampar, 2021). Yesus mengatakan dalam Khotbah di Bukit (Matius 5:21-22) bahwa orang yang marah dan kasar kepada sesamanya harus dihukum. Dengan menghindari ucapan dan tindakan kasar terhadap sesama, rantai kekerasan dapat diputuskan.
    Tidak membalas dendam. Yesus mengajarkan kita untuk melawan kekerasan bullying dengan kemurahan hati daripada membalas dendam. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus meminta murid-muridnya untuk memberikan pipi kiri mereka saat dia ditampar pipi kanan mereka dan untuk tidak menolak orang yang meminta bantuan (Matius 5:38-42).Â
Yesus mengajarkan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, meskipun hukum Taurat memungkinkan pembalasan yang setimpal, atau lex talionis (Seto Marsunu, 2015). Dikarenakan kekerasan hanya akan menghasilkan penindasan baru, gereja tidak dapat menerimanya (Paulus VI, 1975, no.37).
    Mengampuni Orang yang Bersalah. Ketidaksetiaan manusia sering mengganggu sejarah hubungan antara Allah dan manusia. Namun, Allah tidak menghukum dosa dengan hukuman, tetapi dengan belas kasihan (Fransiskus, 2016). Yesus menunjukkan pengampunan dalam kisah tentang perempuan yang berzinah (Yohanes 8:1-6) dan saat Dia mengampuni orang yang menyalibkan-Nya dari atas kayu salib (Lukas 23:34).Â
Menurut Fransiskus (2016), tanda cinta kasih Allah yang paling jelas adalah pengampunan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan membedakan antara orang yang bersalah dan orang yang melakukannya, lingkaran kekerasan dapat diputus. Gereja didorong oleh ajaran ini untuk mendukung kasih dan perdamaian yang didasarkan pada penghormatan terhadap martabat manusia (Yohanes XXIII, 1963; Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, no.28).