"Ubah penampilanmu agak dewasa dikit, Ha. Jadi, para bujang nggak segan buat ndeketin kamu."
Apa pun penampilan Juleha selalu salah bagi emak. Mau bagaimana lagi, dia termasuk pemilik berkah baby face.Â
"Harus pakai daster gitu, Mak?"
"Pokoknya sesuai umur dong, Ha. Jangan kek anak abageh mulu."
Bapak berdehem sebagai tanda akan memberi interupsi. Lelaki paruh baya tersebut memang lebih terlihat santai menyikapi Juleha yang belum bertemu jodohnya.
"Berapa kali aku bilang, Nah? Biarkan Juleha menjemput jodoh dengan caranya."
"Kalau nggak diarahin gimana mau dapat lakik?"
"Nah, dunia nggak bakal kiamat hanya karena Juleha belum laku di usianya yang belum dua lima tahun!"
Suara bapak terdengar ketus sehingga emak memilih tutup mulut. Juleha dapat bernapas lega karena terbebas dari omelan emak.
Hidup di kampung yang tradisinya unik, Juleha memang harus tebal muka dan tebak hati. Bahkan, ketika kesendiriannya selalu dipertanyakan dan dijadikan bahan gunjingan oleh para tetangga. Dia harus tetap memasang tampang penyabar meskipun hatinya kesal.
Di lain hari, emak membuat keputusan yang bikin Juleha bimbang. Hatinya menolak ajakan emak untuk pergi ke dukun.
"Auramu kudu dibuka biar daya tariknya lebih kliatan, kita minta tolong sama Mbah Mintardi."
"Mbah Mintardi itu dukun?"
"Orang pintar, dia ahlinya melancarkan jodoh seret."
"Dosa loh, Mak."
"Gosah riweh! Buruan mandi mumpung bapakmu baru ada acara di tambak."
Juleha hanya menuruti perintah emak untuk menghindari pertikaian sengit. Dia terus berdoa agar diampuni segala khilaf.
Jalan menuju rumah Mbah Mintardi ternyata sangat sepi. Bahkan, harus melewati hutan kecil yang seram. GPS pun tidak dapat bekerja dengan baik karena sinyal di luar jangkauan area.
"Belum juga zuhur kok gelap gini ya, Ha?"
"Kesasar ke desa demit kali."
"Jaga mulutmu!" Emak menoyor kepala Juleha. "Doa yang bagus, napa?"
"Doa yang bagus ... niat kita aja udah salah, Mak. Pantaslah kalau Gusti Allah nyasarin kita."
Suara dahan jatuh menjeda obrolah mereka. Juleha memacu sepeda motornya dengan kecepatan penuh hingga keluar dari hutan.
"Ada orang, Ha. Berhenti dulu bentar."
Emak turun dari sepeda motor lalu menghampiri seseorang yang sedang merumput.
"Maaf, Pak. Apa benar ini Desa Songgo Nyowo?"
"Ya, Bu. Ada apa ya?"
"Eh, a--nu .... Kami mau ke tempat Mbah Mintardi. Rumahnya se--sebelah mana?"
"Oh, mau ke rumah Mbah Min? Lurus saja terus, Bu. Rumahnya persis di belokan pertama."
"Terima kasih, Pak. Permisi."
Setelah mendapat petunjuk, Juleha segera menyalakan stater motor. Dia dan emak menuju rumah Mbah Mintardi.Â
"Mak, coba tengok belakang."
"Apaan sih?"
"Kok orang yang kita tanya tadi ilang ya? Terus kenapa lapangannya jadi kuburan gitu?"
Bulu kuduk Juleha meremang, dia menarik gas paling besar hingga emak hampir saja terjengkang. Selama perjalanan, dia memilih diam dan berkonsentrasi penuh pada jalan yang terasa gaib. Hatinya terus meminta perlindungan agar dia dan emak tidak tersesat ke dunia iblis.
Rumah pertama tepat di belokan pertama telah berada di depan mata. Asap keluar dari bagian samping rumah yang bisa disebut sebagai dapur.
"Masuklah! Sebentar lagi akan hujan angin."
Seorang perempuan tua mengajak Juleha dan emak yang masih terbengong di atas motor.
"Mak ... pulang aja, yuk."
"Langit mendung tebal, Ha. Udah deh berteduh dulu," tukas emak.
"Jangan khawatir, Nok. Akulah Mbah Mintardi yang kalian cari."
Mau tidak mau, Juleha mengikuti emak masuk rumah model joglo. Baru saja duduk di tikar yang terbuat dari mendong, hujan turun seperti air yang sengaja ditumpahkan dari atas.
Emak menceritakan maksud kedatangannya tanpa malu sedikit pun. Dia juga menceritakan pertemuan dengan makhluk gaib sekaligus peristiwa berubahnya tanah lapang menjadi kuburan.
"Nasib baik kalian tidak dibawa ke desa demit dekat kuburan tadi."
"Ja-jadi benar yang tadi kita temui itu demit, Mbah?" tanya emak dengan nada terkejut.
"Ya, biasa itu. Mereka kadang ingin sekadar menyapa manusia, tapi tidak jarang berbuat usil juga."
"Keren dong, Mbah. Demit modern bisa eksis kapan aja," celetuk Juleha.
Emak langsung melotot ke arah Juleha yang selalu bersikap sesuka hati.
Sambil bercengkerama, Mbah Mintardi terus meramu beberapa rempah ke dalam wadah. Dibungkusnya rempah tersebut lalu diberikan kepada Juleha.
"Simpanlah di bawah kasurmu, Nok. Aku sekadar membuka aura agar jodohmu tidak salah alamat."
Tanpa mau berdebat, Juleha hanya menganggukkan kepala. Padahal, dia sama sekali menentang jalan yang tengah ditempuhnya bersama emak.
"Minumlah teh ini lalu pulanglah lewat jalur ini lurus ke arah matahari terbenam. Jangan pernah menyapa kepada siapa pun yang kalian temui. Paham?"
Senyum penuh seringai terukir di bibir Mbak Mintardi, Juleha bergidik ngeri. Dia menujggu emak yang tengah berpamitan sambil meninggalkan amplop sebagai tanda terima kasih.
"Abaikan tegur sapa dari siapa pun yang kalin temui!"
Sayup-sayup masih terdengar suara Mbak Mintardi berseru ketika Juleha dan emak mulai menyusuri jalan setapak.
"Dari mana, Bu?" sapa seorang gadis yang menyunggi buah nangka.
Emak mengeratkan pegangannya ke pinggang Juleha. Dia terus komat-kamit merapalkan mantra keselamatan yang diajarkan oleh Mbah Mintardi. Sementara, Juleha terus berdzikir meski tubuhnya gemeteran.
"Sungai depan sana banjir, Mbak! Putar balik saja!" teriak salah seorang anak yang menuntun kambing.
"Jembatan di ujung kampung roboh, Bu. Lewat sini saja biar cepat sampai ke kampung sebelah sebelum surup."
Suara adzan melegakan hati Juleha karena pertanda sudah bebas dari rayuan demit. Dia melihat wajah emak yang pasi dari kaca spion.Â
"Ngapain berhenti, Ha? Keburu malem, tau!"
"Kalau bapak tanya nanti mau jawab apa?"
" I--ya ... bilang aja dari rumah teman emak, anaknya sunatan."
"Demen banget boong sih, Mak. Nih bisa jadi salah satu penyebab jodohku seret loh. Mana pakai acara ke dukun, ninggalin salat lagi!"
Emak akan melayangkan protes, tetapi Juleha melenggang ke arah masjid. Gadis itu menyesal sejadi-jadinya karena turut ke jalan yang sesat. Tanpa memberi tahu emak, dia membuang jimat ke tempat sampah di depan masjid lalu segera menunaikan ibadah salat magrib. Selama perjalanan menuju rumah, dia menjaga jarak untuk tidak banyak bicara dengan emak.
"Dari mana kalian?" tanya bapak penuh selidik.
"Tanya saja emak, Pak."
"A--anu da--dari rumahnya Mbak Arum. Itu loh sunatan anak ragilnya, Bang."
Bapak menatap emak yang salah tingkah, sementara Juleha asyik berbaring di kursi tamu.
"Kalau boong mikir dulu biar nggak gampang ketauan!"
"Maksudnya apa, Bang? Beneran kita dari sono."
"Tadi Arum sekeluarga datang kemari nyariin kamu. Mereka juga baru pulang setelah salat magrib, Nah."
Tawa keras keluar dari bibir Juleha yang sejak tadi manyun. Dia bahagia kalau kebohongan emaknya gagal total. Kemudian, dia menceritakan seluruh kejadian dari awal hingga akhir kepada bapak. Alhasil, emak pun dimarahi habis-habisan oleh bapak.
"Kalau kamu nggak ingin dilaknat Gusti Allah segera bertaubat nasuhah, Nah. Kamu ingin mati sebagai musyrik, ha?"
"Ti--tidak, Bang."
"Jodoh, mati, rejeki semua sudah ada aturannya. Kurangin ngrumpi biar nggak gampang panas ati, tau!"
*Bersambung*
Cerbung adalah karya orisinil dari penulis Danu Supriyati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H