Perikatan atau perjanjian yang sifatnya saling menguntungkan justru hanya berlaku bagi orang Eropa sendiri. Hal inilah yang terjadi pada Sanikem atau Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia.
Sanikem harus digundik, alias kawin tidak resmi. Padahal perkawinan adalah salah satu bentuk perikatan. Tentu akibatnya Sanikem tidak memiliki hak-hak sebagaimana istri sah. Bahkan, anak yang lahir bukan orang Eropa.Â
Ketentuan Pasal 163 dan 131 IS hanya untuk mengamankan kepentingan orang Eropa saja. Di sisi lain, dalam hukum pidana yang diatur dalam KUHP berlaku secara universal termasuk untuk Bumiputera.
Dengan kata lain, untuk kepentingan Eropa sendiri bangsa Indonesia tidak ikut serta. Sementara untuk tindak pidana yang sifatnya merugikan bangsa Indonesia justru disamaratakan.
Bentuk baru
Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, ketentuan Pasal 163 dan 131 IS sudah tidak berlaku lagi karena sangat diskriminatif. Di era sekarang, pengelompokan masyarakat masih ada tapi dalam kemasan baru.
Pengelompokan itu bukan lagi dilihat dari ras, suku, atau bangsa. Melainkan dari sisi pilihan politik. Dua edisi pemilu sebelumnya sudah cukup bagi kita bahwa kondisi masyarakat yang terbelah sangat berbahaya.
Efeknya terasa hingga kini. Sebutan "kadrun" dan "cebong" masih lestari. Hal itu terjadi karena penguasa di sana enggan mengubah ambang batas presiden sebesar 25 persen suara nasional.
Perbedaan politik sangat terasa waktu itu, bahkan bisa menembus grup WA keluarga. Tidak sedikit karena perbedaan politik justru terjadi pertikaian di dalam keluarga.
Potensi itu masih ada, UU Pemilu tidak jadi direvisi dan ketentuan 25 persen tetap berlaku. Semoga saja untuk pemilu 2024 nanti masyarakat tidak terbelah menjadi dua kubu. Beragam jauh lebih baik daripada harus memaksa seragam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H