Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Pemerintah Kolonial Belanda Mengkotak-kotakan Penduduknya

17 Agustus 2022   09:37 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:11 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perikatan atau perjanjian yang sifatnya saling menguntungkan justru hanya berlaku bagi orang Eropa sendiri. Hal inilah yang terjadi pada Sanikem atau Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia.

Sanikem harus digundik, alias kawin tidak resmi. Padahal perkawinan adalah salah satu bentuk perikatan. Tentu akibatnya Sanikem tidak memiliki hak-hak sebagaimana istri sah. Bahkan, anak yang lahir bukan orang Eropa. 

Ketentuan Pasal 163 dan 131 IS hanya untuk mengamankan kepentingan orang Eropa saja. Di sisi lain, dalam hukum pidana yang diatur dalam KUHP berlaku secara universal termasuk untuk Bumiputera.

Dengan kata lain, untuk kepentingan Eropa sendiri bangsa Indonesia tidak ikut serta. Sementara untuk tindak pidana yang sifatnya merugikan bangsa Indonesia justru disamaratakan.

Bentuk baru

Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, ketentuan Pasal 163 dan 131 IS sudah tidak berlaku lagi karena sangat diskriminatif. Di era sekarang, pengelompokan masyarakat masih ada tapi dalam kemasan baru.

Pengelompokan itu bukan lagi dilihat dari ras, suku, atau bangsa. Melainkan dari sisi pilihan politik. Dua edisi pemilu sebelumnya sudah cukup bagi kita bahwa kondisi masyarakat yang terbelah sangat berbahaya.

Efeknya terasa hingga kini. Sebutan "kadrun" dan "cebong" masih lestari. Hal itu terjadi karena penguasa di sana enggan mengubah ambang batas presiden sebesar 25 persen suara nasional.

Perbedaan politik sangat terasa waktu itu, bahkan bisa menembus grup WA keluarga. Tidak sedikit karena perbedaan politik justru terjadi pertikaian di dalam keluarga.

Potensi itu masih ada, UU Pemilu tidak jadi direvisi dan ketentuan 25 persen tetap berlaku. Semoga saja untuk pemilu 2024 nanti masyarakat tidak terbelah menjadi dua kubu. Beragam jauh lebih baik daripada harus memaksa seragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun