Pengelompokan masyarakat ke dalam tiga golongan jelas menimbulkan gesekan di masyarakat. Utamanya dalam hubungan perdata antargolongan-golongan tersebut.
Akibat hukum
Seperti yang telah diulas di atas, pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan, yakni Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera.
Golongan Eropa terdiri dari: a) semua orang Belanda, b) semua orang Eropa lainnya, c) semua orang Jepang, d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk pada hukum Belanda, e) anak sah atau diakui menurut undang-undang (untuk b dan c) yang lahir di Hindia Belanda.
Golongan Timur Asing adalah orang yang bukan golongan Eropa dan golongan bumiputera.
Golongan Bumiputera adalah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli, yang tidak beralih masuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia asli.
Dalam menentukan golongan Eropa, terdapat dua asas yang dipakai yakni asas kebangsaan dan perkawinan. Jepang merupakan negara Asia yang statusnya setara dengan Eropa.
Hal itu karena Belanda dan Jepang pada tahun 1896 melakukan perjanjian dagang. Salah satu dari isi perjanjian tersebut ialah status orang Jepang setara dengan Eropa.
Sementara Timur Asing dibedakan ke dalam dua golongan, yakni Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing Bukan Tionghoa (Arab, India, Pakistan, dll).
Lantas mengapa pemerintah Kolonial Belanda mengkotak-kotakan penduduk seperti itu? Dari perspektif penjajah, tentu Belanda merasa bahwa kedudukan mereka jauh lebih tinggi dari bangsa yang terjajah.
Di sisi lain, pembagian golongan tersebut membedakan pula hukum yang berlaku pada masing-masing golongan. Orang Belanda enggan mematuhi hukum yang berlaku di Indonesia yakni hukum adat.
Menurut bangsa Belanda, hukum harus tertulis dan dituangkan ke dalam bentuk undang-undang. Pandangan tersebut tidak lepas dari paham legisme. Paham legisme tersebut kemudian diwariskan dan hingga kini dipakai oleh Indonesia.