Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Pemerintah Kolonial Belanda Mengkotak-kotakan Penduduknya

17 Agustus 2022   09:37 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:11 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah Kolonial Belanda membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga kelompok yang meliputi golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. | Sumber: kompas.com

Bumi Manusia mungkin salah satu novel bertema sejarah yang kompleks. Novel ini mengisahkan seorang pemuda terpelajar asal pribumi yang menempuh pendidikan di HBS, pemuda tersebut bernama Minke.

Belakangan, Minke adalah metafora dari T.A.S. alias Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Indonesia. Minke yang masih remaja dikisahkan sangat menggilai barat. Segala hal berbau barat amat ia kagumi.

Mulai dari pendidikan, kebudayaan, hingga peradaban yang maju. Minke sangat tegas menentang tradisi jawa yang disebut kuno. Selain itu, Minke adalah pemuda cerdas dan ketajamannya dalam menulis sangat baik.

Hanya saja Minke selalu menulis memakai Bahasa Belanda. Dengan kata lain, ia menyuarakan ide dalam tulisannya pada orang-orang Belanda. Inilah sifat kebarat-baratan yang sering ditemukan pada remaja.

Pada masa kini, anak muda mungkin lebih menggilai kebudayaan negara lain seperti K-pop, bahkan bahasa Korea menjadi hal yang lumrah bagi pecinta K-pop.

Namun ada satu hal yang menarik dalam novel Bumi Manusia. Bagi saya, Pramoedya sangat apik menggambarkan perbedaan kelas masyarakat yang berlaku pada masa Hindia Belanda.

Sikap Minke yang kebarat-baratan adalah bentuk protes karena bangsanya sendiri diperlakukan hina oleh Belanda. Itulah sebabnya ia lebih memilih bersikap ala Eropa karena terhormat.

Meskipun bersikap layaknya orang Eropa, tetap saja Minke pribumi. Tidak dihargai dan dipandang sebelah mata. Selain Eropa, muncul tokoh Annelis Mellema yang merupakan keturunan Eropa dan Pribumi. Golongan ini disebut "indo".

Jika ditelisik lebih jauh, penggolongan masyarakat ke dalam beberapa kelompok memang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat itu.

Hindia Belanda membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan, yakni Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Hal itu tertuang dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling.

Pengelompokan masyarakat ke dalam tiga golongan jelas menimbulkan gesekan di masyarakat. Utamanya dalam hubungan perdata antargolongan-golongan tersebut.

Akibat hukum

Seperti yang telah diulas di atas, pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan, yakni Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera.

Golongan Eropa terdiri dari: a) semua orang Belanda, b) semua orang Eropa lainnya, c) semua orang Jepang, d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk pada hukum Belanda, e) anak sah atau diakui menurut undang-undang (untuk b dan c) yang lahir di Hindia Belanda.

Golongan Timur Asing adalah orang yang bukan golongan Eropa dan golongan bumiputera.

Golongan Bumiputera adalah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli, yang tidak beralih masuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia asli.

Dalam menentukan golongan Eropa, terdapat dua asas yang dipakai yakni asas kebangsaan dan perkawinan. Jepang merupakan negara Asia yang statusnya setara dengan Eropa.

Hal itu karena Belanda dan Jepang pada tahun 1896 melakukan perjanjian dagang. Salah satu dari isi perjanjian tersebut ialah status orang Jepang setara dengan Eropa.

Sementara Timur Asing dibedakan ke dalam dua golongan, yakni Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing Bukan Tionghoa (Arab, India, Pakistan, dll).

Lantas mengapa pemerintah Kolonial Belanda mengkotak-kotakan penduduk seperti itu? Dari perspektif penjajah, tentu Belanda merasa bahwa kedudukan mereka jauh lebih tinggi dari bangsa yang terjajah.

Di sisi lain, pembagian golongan tersebut membedakan pula hukum yang berlaku pada masing-masing golongan. Orang Belanda enggan mematuhi hukum yang berlaku di Indonesia yakni hukum adat.

Menurut bangsa Belanda, hukum harus tertulis dan dituangkan ke dalam bentuk undang-undang. Pandangan tersebut tidak lepas dari paham legisme. Paham legisme tersebut kemudian diwariskan dan hingga kini dipakai oleh Indonesia.

Hal ini bisa kita lihat bahwa sistem hukum kita menganut Eropa Kontinental alias civil law. Ciri utama pada sistem hukum ini adalah mengedepankan hukum tertulis alias undang-undang menjadi rujukan utama.

Contoh penerapan paham legisme terdapat dalam Pasal 1 KUHP atau disebut dengan asas legalitas. Dalam bahasa latin dikenal dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu

Lebih jauh dari itu, pengelompokan oleh Belanda tersebut membuat kesenjangan hukum, utamanya dalam hukum perdata. Dalam Pasal 131 IS menyatakan, bagi orang Eropa berlaku hukum Belanda, bagi Timur Asing dan Bumiputera berlaku hukum adat masing-masing.

Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika terjadi hubungan perdata antara orang Eropa dan Bumiputera, hukum mana yang akan dipakai? Jelas hukum perdata Eropa.

Hal itu diatur dalam Stb. 1917 No. 17 yang diberi nama Regeling nopens de Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch Privaatrecht (peraturan mengenai penundukan diri dengan sukarela pada hukum perdata Eropa).

Peraturan ini mengenal empat macam penundukan. Namun, salah satu yang merugikan Indonesia adalah jika orang Indonesia asli melakukan perbuatan hukum yang tidak dikenal dalam hukum adatnya, maka secara otomatis tunduk pada hukum perdata Eropa.

Contohnya jika orang Eropa dan Indonesia asli membuat perjanjian yang harus membubukan tanda tangan, maka kepentingan orang Eropa bisa diamankan karena hukum Eropa merupakan hukum tertulis yang memberi kepastian hukum.

Seperti yang diketahui, tanda tangan tidak dikenal sama sekali dalam hukum adat. Jadi, jika orang Belanda membawa surat perjanjian yang isinya bisa saja penyerahan tanah, orang Indonesia tidak akan berbuat banyak karena hukum Eropa bersifat tertulis.

Begitu juga dengan KUHPerdata, jika kita cermati KUHPerdata memang tidak berlaku untuk bumiputera. Hal itu karena KUHPerdata memberi keuntungan bagi orang Eropa salah satunya contoh di atas.

Meski begitu, mengutip buku Seluk Beluk dan Asas Hukum Perdata yang ditulis Riduan Syahrani, ada beberapa Pasal KUHPerdata yang mengatur Bumiputera. Tapi sangat merugikan, yakni soal hutang piutang karena judi.

Salah satu cuplikan dalam film Bumi Manusia. | Sumber: goodnewsfromindonesia.id
Salah satu cuplikan dalam film Bumi Manusia. | Sumber: goodnewsfromindonesia.id

Perikatan atau perjanjian yang sifatnya saling menguntungkan justru hanya berlaku bagi orang Eropa sendiri. Hal inilah yang terjadi pada Sanikem atau Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia.

Sanikem harus digundik, alias kawin tidak resmi. Padahal perkawinan adalah salah satu bentuk perikatan. Tentu akibatnya Sanikem tidak memiliki hak-hak sebagaimana istri sah. Bahkan, anak yang lahir bukan orang Eropa. 

Ketentuan Pasal 163 dan 131 IS hanya untuk mengamankan kepentingan orang Eropa saja. Di sisi lain, dalam hukum pidana yang diatur dalam KUHP berlaku secara universal termasuk untuk Bumiputera.

Dengan kata lain, untuk kepentingan Eropa sendiri bangsa Indonesia tidak ikut serta. Sementara untuk tindak pidana yang sifatnya merugikan bangsa Indonesia justru disamaratakan.

Bentuk baru

Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, ketentuan Pasal 163 dan 131 IS sudah tidak berlaku lagi karena sangat diskriminatif. Di era sekarang, pengelompokan masyarakat masih ada tapi dalam kemasan baru.

Pengelompokan itu bukan lagi dilihat dari ras, suku, atau bangsa. Melainkan dari sisi pilihan politik. Dua edisi pemilu sebelumnya sudah cukup bagi kita bahwa kondisi masyarakat yang terbelah sangat berbahaya.

Efeknya terasa hingga kini. Sebutan "kadrun" dan "cebong" masih lestari. Hal itu terjadi karena penguasa di sana enggan mengubah ambang batas presiden sebesar 25 persen suara nasional.

Perbedaan politik sangat terasa waktu itu, bahkan bisa menembus grup WA keluarga. Tidak sedikit karena perbedaan politik justru terjadi pertikaian di dalam keluarga.

Potensi itu masih ada, UU Pemilu tidak jadi direvisi dan ketentuan 25 persen tetap berlaku. Semoga saja untuk pemilu 2024 nanti masyarakat tidak terbelah menjadi dua kubu. Beragam jauh lebih baik daripada harus memaksa seragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun