Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tempo Tidak Percaya dengan Hasil Survei Litbang Kompas

3 Maret 2022   20:43 Diperbarui: 4 Maret 2022   05:24 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur majalah Tempo, 28 Februari 2022. Menyindir hasil survei Litbang Kompas yang dimuat di harian Kompas, 21/2/2022

Majalah Tempo dalam opininya di majalah edisi 28 Februari  2022 mengomentari hasil survei Litbang Kompas terhadap tingkat kepuasaan kinerja pemerintah Jokowi-Ma'aruf Amin. Tempo menulis tidak perlu gumun (heran) dengan hasil sigi lembaga survei yang menyatakan lebih dari 70 persen responden mengaku puas dengan kinerja  pemerintah Jokowi-Ma'aruf Amin.

Tapi dalam ulasannya justru Tempo menunjukan mereka "gumun" dengan hasil jajak pendapat tersebut. Yaitu, mengenai hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas yang dimuat di koran Kompas edisi 21 Februari 2022.

Selain hasil sigi Kompas tersebut, Tempo juga menyinggung tentang hasil jajak pendapat yang dilakukan secara terpisah oleh Saiful Mujani Research and Consulting yang menyebutkan hasil yang lebih kurang sama.

Tempo yang hampir di setiap edisinya selalu mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi yang sejauh saya pantau, tidak ada satu pun dari kebijakan Jokowi yang benar di mata Tempo. Diduga pula secara tersamar Tempo mencurigai lembaga penelitian Kompas dan Saiful Mujani Reseach dan Consulting itu tidak independen, atau dibayar!

Meski pun dengan trik permainan kalimatnya: "Kecuali ada bukti yang kuat atau lembaga riset menyembunyikan informasi penyandang dana penelitian mereka, tak perlu menuding penelitian itu tak independen alias berbayar."

Tempo menilai jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas tersebut dilakukan dengan cara salah. Seolah-olah Litbang Kompas adalah lembaga survei amatiran, yang tidak tahu cara melakukan survei yang benar. Tempo menulis, "Jika dilakukan dengan cara yang benar, jajak pendapat membantu kita memprediksi gejala. Dengan metodologi yang tepat, sampel jajak pendapat dapat secara persis mewakili populasi."

Dengan kata lain menurut Tempo,  jajak pendapat Kompas itu tidak benar-benar mewakili populasi masyarakat Indonesia karena dilakukan dengan metodologi yang keliru.

Tempo menyatakan, hasil survei Kompas tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Sebab ketika wawancara dilakukan pada akhir Januari sampai dengan pertengahan Februari 2022, kelangkaan minyak goreng telah terjadi. Juga konflik sosial di Desa Wadas, Jawa Tengah, menyusul rencana pemerintah menambang batu andesit di sana. Telah lama menjadi omongan: pemerintah memberangus aspirasi masyarakat sipil ketika bersama DPR menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja dan merevisi Undang-Undang KPK.

"Lantas. Kenapa kesewenang-weangan itu tak tertangkap sigi?" Tanya Tempo.

Yang dijawab sendiri, karena survei dilakukan dengan mengabaikan kurva lonceng, yaitu tidak melibatkan warga yang menjadi korban kesewenang-wenangan pemerintah. Dan, akibat dari sikap populisme politikus/pimpinan negara, seperti Presiden Jokowi.

Tempo memberi bebeberapa contoh. Di antaranya hasil survei yang pernah dilakukan di Philipina tentang tingkat kepuasaan terhadap Presiden Rodrigo Duterte yang tinggi meski ia melanggar hak asasi manusia. Dengan dalih menyelamatkan bangsanya dari bahaya narkotik, ia menembak mati siapa pun yang terlibat: tak perduli pengguna ataupun pengedar. Dibela dengan narasi heroik, langkah itu didukung publik. Suara para ibu yang anaknya terbunuh berada di luar kurva lonceng alias tersingkir dari hitungan statistika.   

Menurut Tempo, Presiden Jokowi pun sama saja.

Jokowi, menurut majalah tersebut, memahami cara kerja populisme. Seraya membiarkan aparat menggeruduk warga Desa Wadas, di tempat lain yang berbicara dengan orang miskin dan membagi bahan kebutuhan pokok. Jokowi pandai mengukur: jika reaksi publik kian negatif, ia bisa membatalkan suatu keputusan. Orang ramai lalu biarkan berspekulasi tentang siapa biang keladi keputusan yang dibatalkan: birokasi lama yang amburadul, partai politik yang jahat, atau kekuatan politik lama yang ingin kembali bercokol.

Di dalam "Ringkasan Berita"-nya di edisi yang sama, Tempo juga mengutip pendapat Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan  Rivanlee Anandar, yang menilai hasil survei kepuasaan di tengah kondisi saat ini cenderung mengabaikan fakta di lapangan. Ia terutama menyeroti makin banyak ancaman terhadap kebebasan sipil.

Menurutnya, Jokowi tak serius menuntaskan berbagai pelanggaran kebebasan sipil tersebut. "Intinya, hasil survei (Kompas) tidak semanis realitas."

Tempo menutup opininya dengan menilai bahwa hasil survei Litbang Kompas tersebut tidak perlu berlebihan disambut publik. Kepada para pendukung Jokowi, tidak perlu heboh bertempik sorak, dan para penentang tak selayaknya kelewat menggerutu.

Penilaian Tempo itu tentu berlaku juga bagi harian Kompas yang mengapresiasi kinerja pemerintah Jokowi berdasarkan hasil survei tersebut yang ditulis di halaman depan koran Kompas edisi 21 Februari 2022. Kompas mengawali apresaisinya tersebut dengan menulis: "Memasuki paruh kedua kepempinan Presiden Joko Widodo, apresiasi layak dilayangkan. Pasalnya, pada babak krusial ini, kinerja Jokowi-Amin bersama kabinetnya memuaskan sebagian besar publik."  

Bagi Tempo penilaian koran Kompas itu salah besar. Pemerintah Jokowi-Amin tidak layak mendapat apresiasi, karena sesungguhnya yang benar tingkat kepuasaan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi pasti sangat rendah. Tidak seperti hasil survei Litbang Kompas tersebut.

Bagi Tempo, itu semua akibat dari metode survei Litbang Kompas yang salah, sebab mengabaikan kurva lonceng (suara para korban kebijakan pemerintah) dan mengabaikan sikap populisme dari Presiden Jokowi. Dengan kata lain, hasil survei Litbang Kompas tersebut tidak layak dipercaya karena tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut Tempo.

Dalam karikaturnya majalah Tempo menyindir hasil survei Litbang Kompas tersebut dengan melukiskan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'aruf Amin berdiri di atas papan yang dikatrol naik di tengah-tengah masyarakat yang bermasalah dengan kenaikan harga tahu, tempe, dan minyak goreng, kontroversi JHT (Jaminan Hari Tua), masalah KPK, perampasan tanah, separatisme (di Papua) dan Covid-19. Di latar belakangnya ada poster bertuliskan "Survei 73,9% dengan jari jempol ke atas. Dari atas bertaburan lembaran-lembaran mirip uang kertas. 

Kartun itu dapat dimaknai bahwa hasil survei Litbang Kompas itu dikatrol atau direkayasa sehingga menjadi tinggi, yaitu 73,9 persen. Padahal jelas-jelas masyarakat sedang dilanda aneka masalah. Sedangkan taburan lembaran-lembaran mirip uang kertas bisa ditafsir bahwa diduga survei tersebut tidak independen, atau dibayar.

Majalah Tempo telah menegaskan mereka tidak percaya dengan hasil survei Litbang Kompas tersebut.

Rupanya, Tempo merasa terusik dengan hasil survei Litbang Kompas tersebut. Dengan hasil survei bahwa tingkat kepuasaan respon terhadap kinerja Jokowi-Ma'aruf Amin mencapai 73,9 persen itu jelas bertolak belakang dengan kritik bertubi-tubi mereka terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama ini. Di mata Tempo tidak ada yang benar semua kebijakan Presiden Jokowi yang dinilai sebagai sosok yang populis.

Apakah benar Litbang Kompas dengan sengaja tidak melibatkan responden dari "korban" kebijakan pemerintah Jokowi-Amin, atau menyembunyikan data sebenarnya (memanipulasi data), sebagaimana diduga yang dicurigai Tempo?

Litbang Kompas sebagai salah satu lembaga survei terpercaya pasti punya alasan yang kuat dalam menjalankan survei dengan metodenya itu.

Adanya korban-korban kebijakan Pemerintah itu bukan berarti pasti mayoritas masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja Pemerintah. Karena bisa saja jauh lebih banyak (mayoritas) masyarakat tetap bisa memahami kebijakan-kebijakan tersebut meski ada yang kontorversial, karena pada akhirnya manfaatnya jauh lebih besar bagi kepentingan umum atau nasional.

Bukankah hasil survei Litbang Kompas itu juga menunjukan ada 26,1 persen responden yang tidak puas dengan kinerja Pemerintah Jokowi-Amin?  

Litbang Kompas melibat semua lapisan masyarakat dalam melakukan surveinya tersebut, termasuk mereka yang pendukung Jokowi-Amin, maupun yang bukan.

Pada simpatisan tergolong sebagai pendukung Jokowi, hasil survei jelas tetap tinggi. Tapi pada hasil survei kali ini mencapai angka tertinggi, yaitu 87 persen. Pada periode survei sebelumnya 'hanya' 85,4 persen yang puas.

Sedangkan kepada mereka yang sebelumnya bukan pendukung Jokowi-Amin, jika pada survei sebelumnya cenderung menyatakan tidak puas, kali ini justru berbalik. Lebih dari separuh (54,3 persen) menyatakan rasa puas.

"Semua capaian ini jelas semakin melegitimasikan kualitas kepemimpinan Jokowi," tulis Kompas.

Sedangkan tentang kehidupan berdemokrasi dan kebebasan berpendapat, Kompas menulis: "... berkaitan dengan kehidupan berdemokrasi meliputi terbukanya ruang bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan tak luput mendapatkan apresiasi dari tiga perlima bagian responden survei.

Seperti diketahui, ruang-ruang untuk mengekspresikan pendapat dan kritik kepada pemerintah terus terbuka sehingga berbagai aksi unjuk rasa terus bergulir. Di luar itu, pemerintah secara terbuka di masing-masing instansi juga menyediakan beragam kanal aduan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk pengawasan dan evaluasi kinerja.

Keterbukaan pemerintah atas kritik dan kontrol publik itu tentu tak terlepas dari adanya jaminan kebebasan berpendapat. Pada sub indikator ini, kepuasan publik pun naik signifkan tidak kurang dari delapan persen dengan capaian menjadi 73 persen.

Selain jaminan terhadap ketersediaan ruang apresiasi kepada pemerintah secara langsung, berbagai keterbukaan terhadap gerakan kritis yang muncul di ruang-ruang digital pun juga terus diupayakan pemerintah untuk tak mengundang persoanla berkepanjangan. Meskipun demikian, tentulah masih terdapat pula sejumlah catatan penting pembenahan yang perlu dilakukan.

Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sepanjang setahun terakhir kondisi kebebasan berpendapat dan berekespresi di ruang digital belum juga membaik. Sejumlah identifikasi bahkan menemukan pola serangan digital terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi mulai dari spam call, doxing, serangan hoaks, siar kebencian, hingga defacing atau merubah tampilan website.

Awal Desember 2021 lalu, Presiden Joko Widodo secara khusus memberikan atensinya terhadap persoalan kebebasan pendapat di ruang publik. Saat itu presiden menyoroti tindakan kepolisian yang kerap menghapus mural dan menangkap warga yang menyampaikan pendapat.

Terkait itu, presiden menyinggung indeks kebebasan berpendapat yang turun dan meminta kepolisian agar lebih hati-hati dalam bertindak dengan mengutamakan pendekatan persuasif dan dialogis."

Ulasan Kompas tersebut menyimpulkan bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat di era Jokowi-Amin dengan segala kekurangannya tetap ada dan semakin membaik.

Penilaian sebaliknya, yang diberikan Tempo sebagaimana disebutkan di atas.

Perbedaan persepsi terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat tersebut berangkat dari pandangan bahwa menurut Tempo kebebasan berpendapat itu adalah bebas sebebas-bebasnya, termasuk menghina dan mengfitnah presiden, bahkan termasuk melakukan provokasi-provokasi makar melawan pemerintah sepanjang hal tersebut tidak dilakukan dalam tindakan nyata. Sebagaimana disimpulkan dari berbagai opini Tempo yang pernah ditulis.

Sebaliknya dengan Kompas, yang menganut bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat itu ada batas dan etikanya, sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Sebagaimana filosofi yang ditanam salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama.  Itulah sebabnya dalam menulis kritik terhadap pemerintah, tulisan-tulisan di Kompas tetap santun meskipun tegas.

Bagaimana pun saya masih percaya Litbang dan harian Kompas sebagai salah satu lembaga survei dan media yang independen dan layak dipercaya. Bukan lembaga survei pro pemerintah, apalagi bisa dibayar.

Jika benar-benar di era Presiden Jokowi kebebasan berpendapat sedemikian sangat buruk, apakah mungkin majalah Tempo, dan juga koran Tempo yang "oposisi" dan senantiasa mengkririk Jokowi dengan cara yang keras cenderung kasar bisa tetap bebas melakukan hal tersebut sampai saat ini?

Saya bukan antiTempo. Seperti Kompas, saya tetap pelanggan setia Tempo, membaca setiap edisinya. Tetapi tak ada salahnya saya berpendapat demikian pula, bukan? *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun