Jumat, 26 Mei 2017, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tujuh pejabat dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa); dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), saat mereka melakukan transaksi suap terkait penerimaan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Ironisnya baru tiga hari sebelumnya Presiden Jokowi memuji-muji kementerian/lembaga dan bendahara umum negara yang telah menerima opini WTP dari BPK itu, serta menegur keras lainnya yang hanya menerima opini WDP dan disclaimer(tidak memberi pendapat).
Pemberian opini dari BPK tersebut merupakan bagian dari audit BPK yang dilakukan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016. Sebanyak 73 (84 persen) kementerian/lembaga negara memperoleh opini WTP dari BPK, sedangkan delapan kementerian menerima opini WDP dan disclaimeruntuk enam kementerian.
Berdasarkan informasi yang belum dikonfirmasi BPK, Rochmadi Saptogiri juga disebut adalah auditor BPK yang pernah memimpin audit investigasi terhadap pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta (Ahok), yang menghebohkan itu.
Benar tidaknya informasi tersebut, tetap saja dengan terungkapnya kasus suap (korupsi) yang melihat dua auditor (utama) BPK ini telah menyatakan kebenaran dari pernyataan Ahok tempo hari tentang BPK, yaitu bahwa BPK ngaco (dalam menjalankan tugas auditnya itu), dan bahwa ada oknum-oknum yang menguasai menguasai BPK serta berlindung di balik undang-undang (agar mereka tidak terjamah hukum).
Hasil audit investigasi BPK terhadap pembelian lahan RS Sumber Waras ketika itu menyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran prosedur atas pembelian lahan tersebut yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 191 miliar (sehingga berpotensi adanya tindak pidana korupsi).
Ahok tidak terima hasil audit investigasi BPK tersebut, ia melawan dengan berani, dengan mengajukan beberapa fakta yang menunjukkan hasil investigasi BPK itu tidak benar, bahwa ada kepentingan tersembunyi dari pejabat-pejabat tinggi BPK tertentu sehingga membuat kesimpulan seperti itu.
Hasil audit investigasi BPK itu sempat membuat Ahok diperiksa KPK sampai lebih dari 12 jam, tetapi Ahok bukannya menjadi gentar, malah sebaliknya, semakin garang terhadap BPK yang dianggap tak benar itu.
Seusai diperiksa KPK secara marathon itu Ahok pun sempat mengekspresikan kegusarannya dengan mengatakan: “Auditor BPK itu ngaco!”
Ahok juga dengan terang-terangan mengatakan, BPK dikuasai oleh oknum-oknum yang berlindung di balik undang-undang.
Perlawanan keras Ahok terhadap BPK itu sempat mengundang banyak kecaman dari musuh-musuh politiknya, terutama dari sejumlah anggota DPRD DKI, maupun DPR.
Mendagri Tjahjo Kumolo pun sempat menegur Ahok yang dianggap tidak santun terhadap BPK.
Hasil penyelidikan KPK terhadap Ahok berdasarkan hasil audit investigasi BPK tersebut adalah KPK tidak menemukan adanya unsur tindak pidana dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras itu.
Hal tersebut secara tak langsung menunjukkan pernyataan Ahok bahwa BPK itu ngaco, bahwa ada kepentingan pejabat BPK di balik hasil audit investigasi itu, bahwa BPK telah dikuasai oknum-oknum yang berlindung di balik undang-undang, ada benarnya.
Diduga pernyataan Ahok tentang BPK itu berkaitan dengan kepentingan politik untuk menjatuhkan Ahok dari jabatannya sehingga tidak bisa ikut pemilihan gubernur (para pemimpin BPK adalah eks-kader-kader parpol yang ketika itu merupakan lawan politik Ahok), dan karena ketika Ahok diajak auditor BPK untuk melakukan transaksi jual-beli hasil audit tersebut Ahok menolaknya.
Meskipun “ngaco”, berdasarkan Undang-Undang tentang BPK, hasil audit BPK tidak bisa dituntut. Itulah yang dimaksud oleh Ahok dengan oknum-oknum yang menguasai BPK berlindung di balik undang-undang, sehingga mereka bisa bebas membuat hasil auditnya sesuai dengan kesepakatan dengan yang diaudit.
Ahok juga pernah menantang BPK untuk transparan membuka semua proses dan hasil audit terhadap laporan keuangan Pemprov DKI dan audit investigasi terhadap pembelian lahan RS Sumber Waras, tapi BPK menolaknya dengan alasan Undang-Undang melarangnya.
Itulah sebabnya BPK tidak pernah memberi predikat WTP kepada Pemprov DKI. Yang didapat Pemprov DKI dengan Gubernur Ahok hanya WDP alias Wajar Dengan Pengecualian, yang juga sempat diprotes Ahok.
Sekarang, terbuktilah apa yang pernah diserukan Ahok itu: Auditor BPK itu memangngaco! Dan memang ada oknum-oknum yang menguasai BPK.
Banyak hasil audit BPK diduga merupakan hasil transaksi “saling pengertian” di antara pengaudit dengan yang diaudit, yang data-datanya akan saya sebutkan di bawah.
Akibat dari sikap keras Ahok yang tidak mau kompromi dengan auditor BPK, Ahok pun di-obok-obokhingga diperiksa KPK, tetapi karena dasarnya Ahok memang bersih, upaya mereka menjerat Ahok dengan meminjam tangan KPK gagal total.
Sebaliknya, sekarang, justru auditor BPK yang terkena OTT KPK, tertangkap basah melakukan tindak pidana korupsi (menerima suap). Begitulah, jika maling melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap laporan keuangan negara, ia justru akan menggunakan kesempatan itu untuk maling uang negara.
Saat dilakukan OTT, KPK menemukan uang tunai sejumlah 40 juta Rupiah, yang merupakan bagian dari komitmen 240 juta Rupiah; yang 200 juta Rupiah sudah diserah-terimakan. Artinya, opini WTP itu dijual dengan sangat murah, hanya sekitar Rp. 240 juta!
Meskipun demikian patut dipertanyakan dan diselidiki dari mana uang tersebut diperoleh, sehingga juga akan dapat ditemukan siapa saja selain mereka yang terkena OTT itu, terlibat.
Selain temuan itu, saat melakukan penggeledahan di ruang kerja Rochmadi dan Ali Sadli, di gedung Kemendesa, Jakarta Pusat, KPK juga menemukan uang sejumlah 1,145 miliar Rupiah dan 3.000 Dollar AS. Belum diketahui keterkaitan uang tersebut dengan urusan apa? Apakah merupakan bagian dari hasil dagangan WTP-WTP lainnya?
Seperti dalam kebanyakan kasus korupsi seperti ini, biasanya setelah ini, dari hasil pengembangan perkara, KPK akan menemukan lagi koruptor-koruptor lain, yang bisa jadi mengarah kepada pejabat yang lebih tinggi daripada yang sudah ditahan sekarang.
Patut diduga bahwa penangkapan auditor BPK bersama dengan Irjen Kemendesa itu hanyalah merupakan puncak kecil dari sebuah gunung es besar: apakah dari situ akan terungkap bahwa ternyata masih banyak penerima WTP lainnya baik oleh pemerintah daerah, kementrian, maupun lembaga negara lainnya, merupakan bagian dari tindak pidana korupsi berkonspirasi dengan BPK?
Saya juga pernah, pada 18 Juni 2016, menulis satu artikel di Kompasianatentang kredibilitas BPK sebagai lembaga auditor tinggi negara itu, dengan judul: “BPK Bukan Lembaga Terpercaya”.
Di tulisan yang membahas perseteruan antara Ahok dengan BPK itu, saya menulis antara lain sebagai berikut:
... sudah sejak lama menjadi pergunjingan dan seolah-olah menjadi rahasia umum bahwa di daerah-daerah, atau di lembaga-lembaga negara tertentu yang akan diaudit BPK, kepala daerahnya, atau kepala lembaganya harus menyediakan angpau khusus untuk oknum-oknum BPK itu, jika ingin hasil auditnya dinyatakan bersih alias Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP). ...
Kini, apa yang saya tulis itu pun terbukti benar.
Terkait OTT KPK terhadap tiga pejabat auditor utama dan staf BPK pada Jumat, 26/5 itu, pun peneliti ICW Emerson Junho mengatakan bahwa dalam kurun waktu 2015 hingga sekarang, sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/staf BPK (Kompas.com, 27/5/2017).
Beberapa contoh kasus korupsi yang melibatkan auditor BPK adalah sebagai berikut:
Pada 2010, dua auditor BPK Provinsi Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, divonis empat tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp. 400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dengan maksud memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan (LKPD) Pemerintah Daerah Bekasi 2019.
Pada 2016, bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Ia terbukti pernah meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.
Dalam sidang perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), beberapa waktu lalu, terungkap seorang auditor BPK bernama Wulung disebut menerima uang Rp 80 juta. Setelah penerimaan uang itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mendapatkan status WTP pada 2011.
Sedangkan contoh untuk daerah yang pernah mendapat opini WTP dari BPK, tetapi ternyata kepala daerahnya korupsi sehingga ditangkap KPK adalah Pemprov Sumatera Utara, Pemprov Riau, Pemkot Palembang, Pemkan Bangkalan, Pemkota Tegal, Kemeneterioan Agama, Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Dari uraian berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka seharusnya Presiden Jokowi tidak perlu berbangga diri, apalagi sampai memuji-muji kementerian-kementeriannya saat mereka mendapat opini WTP dari BPK itu.
Demikian pula pesan untuk Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, yang telah memasang target untuk memperoleh WTP dari BPK di tahun pertama pemerintahan mereka kelak itu, sebaiknya tidak lagi memasang target seperti itu, lebih baik mereka memasang target yang langsung berkaitan dengan kesejahteraan warga dan kemauan DKI Jakarta. Itu lebih realistis dan lebih bermanfaat.
Fokus saja kerja yang benar dan lurus, pasti dengan sendirinya opini WTP dari BPK itu bisa diperoleh.
**
Sebenarnya, predikat BPK bukan lembaga tepercaya sudah dapat dinilai dari fakta-fakta permulaan yang ada di BPK, seperti para auditor (termasuk Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli), dan para pimpinannya yang tidak (meng-up-date) laporan harta kekayaan mereka sebagai pejabat dan penyelenggara negara (LHPKN) kepada KPK, dan para pimpinannya terdiri dari kader-kader partai politik, sehingga potensi konflik kepentingan saat mereka menjalankan tugas jabatannya sangat besar.
Demikian pula dengan eks-ketuanya Harry Azhar Azis yang namanya tercantum di Panama Papers sebagai salah satu pemilik perusahaan cangkang dalam Panama Papers, pada 11 Oktober 2016, hanya dijatuhi sanksi administratif, berupa peringatan dari Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK.
Pada 21 April 2017, Sidang Anggota BPK memutuskan menggantikan Harry yang seharusnya menjabat sampai 21 Oktober 2019 itu dengan Moermahadi Soerja Djanegara.
Apakah digantinya ketua BPK itu akan membawa perubahan signifikan terhadap BPK?
Yang pasti, dengan tertangkapnya dua auditor (utama) KPK pada Jumat lalu itu masih menunjukkan bahwa BPK masih banyak yang ngaco, sehingga kepanjangan BPK pun diplesetkan menjadi Badan Pejabat Korupsi.
Sapu kotor, bisakah membersihkan kotoran di lantai? Sapu itu harus dibersihkan dahulu! *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H