Terkait OTT KPK terhadap tiga pejabat auditor utama dan staf BPK pada Jumat, 26/5 itu, pun peneliti ICW Emerson Junho mengatakan bahwa dalam kurun waktu 2015 hingga sekarang, sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/staf BPK (Kompas.com, 27/5/2017).
Beberapa contoh kasus korupsi yang melibatkan auditor BPK adalah sebagai berikut:
Pada 2010, dua auditor BPK Provinsi Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, divonis empat tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp. 400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dengan maksud memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan (LKPD) Pemerintah Daerah Bekasi 2019.
Pada 2016, bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Ia terbukti pernah meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.
Dalam sidang perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), beberapa waktu lalu, terungkap seorang auditor BPK bernama Wulung disebut menerima uang Rp 80 juta. Setelah penerimaan uang itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mendapatkan status WTP pada 2011.
Sedangkan contoh untuk daerah yang pernah mendapat opini WTP dari BPK, tetapi ternyata kepala daerahnya korupsi sehingga ditangkap KPK adalah Pemprov Sumatera Utara, Pemprov Riau, Pemkot Palembang, Pemkan Bangkalan, Pemkota Tegal, Kemeneterioan Agama, Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Dari uraian berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka seharusnya Presiden Jokowi tidak perlu berbangga diri, apalagi sampai memuji-muji kementerian-kementeriannya saat mereka mendapat opini WTP dari BPK itu.
Demikian pula pesan untuk Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, yang  telah memasang target untuk memperoleh WTP dari BPK di tahun pertama pemerintahan mereka kelak itu, sebaiknya tidak lagi memasang target seperti itu, lebih baik mereka memasang target yang langsung berkaitan dengan kesejahteraan warga dan kemauan DKI Jakarta. Itu lebih realistis dan lebih bermanfaat.
Fokus saja kerja yang benar dan lurus, pasti dengan sendirinya opini WTP dari BPK itu bisa diperoleh.
**
Sebenarnya, predikat BPK bukan lembaga tepercaya sudah dapat dinilai dari fakta-fakta permulaan yang ada di BPK, seperti para auditor (termasuk Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli), dan para pimpinannya yang tidak (meng-up-date) laporan harta kekayaan mereka sebagai pejabat dan penyelenggara negara (LHPKN) kepada KPK, dan para pimpinannya terdiri dari kader-kader partai politik, sehingga potensi konflik kepentingan saat mereka menjalankan tugas jabatannya sangat besar.