Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Napak Tilas Penyaliban Yesus pada Kasus Ahok

11 Mei 2017   22:07 Diperbarui: 12 Mei 2017   17:05 3131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: Face Book Daniel Mananta)

Meskipun sesungguhnya tak bisa dibandingkan, tetapi perjalanan kasus penistaan agama yang menimpa Ahok sampai divonis 2 tahun penjara oleh Majelis Hakim itu ada persamaannya dengan kisah penyaliban Yesus Kristus.

Saat Yesus ditangkap dan dihukum oleh pengadilan Romawi di Yerusalem, Ia sedang melayani umat manusia untuk kebaikan dunia dengan ajaran-ajaranNya, yang pada intinya mengenai kasih yang agape (cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, atau cinta tanpa batas, atau cinta tanpa syarat) dan keselamatan surgawi.

Yesus ditangkap dan dihukum atas kehendak dan desakan para ahli Taurat (kitab suci agama Yahudi) dan orang-orang Farisi yang dipimpin oleh Imam Besar Hanas dan Kayafas.

Dengan menghasut masyarakat Yahudi di ibu kota Israel ketika itu, Yerusalem, para ahli Taurat dan orang Farisi  berhasil mengumpulkan massa dalam jumlah yang besar untuk memaksa penguasa Yerusalem menghukum Yesus.

Kaum Farisi sendiri berasal dari golongan Hasidim, yaitu golongan yang menganggap diri mereka sebagai golongan orang paling saleh dalam beragama, sehingga merasa berhak menghakimi orang lain yang tidak menjalankan ajaran agama sebagaimana yang mereka sampaikan.

Para ahli Taurat dan orang Farisi marah dan dendam kepada Yesus karena menganggap Yesus telah menistakan agama Yahudi dengan menyebarkan ajaran-ajaran sesat yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan selama ini dari Kitab Taurat, di antaranya yang terutama tentang pengakuan Yesus sebagai Anak Allah dan Mesias.

Selain itu, Yesus juga kerap mengecam cara hidup mereka yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan tentang agama kepada masyarakat; mereka minta dihormati sebagai pimpinan masyarakat/agama, tetapi cara hidup sehari-harinya tidak seperti yang mereka ajarkan itu, sehingga tak patut diteladani.

Mereka beribadah supaya terlihat saleh oleh banyak orang, bukan kesalehan yang murni muncul dari hati nuraninya.

Cara hidup mereka bertentangan dengan prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan Yesus, mengenai beribadah (bukan untuk dipamerkan), kepimpinan (harus menjadi pelayan dan menjadi teladan yang baik bagi masyarakat), cara berdoa (tidak untuk dipamerkan supaya dipuji sebagai orang saleh), maupun keperdulian terhadap kehidupan sosial masyarakat.

Yesus pun mengibaratkan perilaku para ahli Taurat dan Farisi itu seperti kuburan yang dilabur putih. Dari luar terlihat putih bersih, tetapi di dalamnya berisi tulang belulang, belatung, dan berbagai jenis kotoran.

Oleh karena itu, Yesus selalu ingatkan kepada para murid dan pengikutNya dengan perkataan ini:

Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya(Matius 23:3).

Sudah cukup lama para ahli Taurat dan orang Farisi yang dipimpin oleh Hanas yang kemudian digantikan oleh Kayafas itu,  hendak menangkap Yesus, tetapi mereka belum berani sebab belum berhasil secara signifikan menghasut masyarakat Yahudi untuk memusuhi Yesus. Mereka masih takut dengan karisma yang dimiliki Yesus.

Mereka lalu mencari akal, dengan menghasut lebih dulu masyarakat Yahudi dengan mengfitnah Yesus sebagai penyebar ajaran sesat, penghina agama dan Allah, siapa yang mengikuti Yesus akan dihukum Allah. Ajaran-ajaranNya pun diplintirkan sehingga bermakna lain dari yang sebenarnya.

Setelah beberapakali mencoba menangkap Yesus mengalami kegagalan, akhirnya dengan pengkhianatan salah satu muridnya yang bernama Yudas Iskariot, mereka bersama beberapa prajurit Romawi berhasil menemukan dan menangkap Yesus di Taman Getsemani.

Sebelum ditangkap, dan dihukum mati, Yesus sudah memberi petunjuk-petunjuk tentang apa yang akan terjadi pada diriNya itu kepada murid-muridNya, tetapi mereka belum mengerti.

Saat-saat terakhir Yesus bersama keduabelas muridNya adalah saat Dia melakukan perjamuan Paskah Yahudi dengan mereka, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Perjamuan Terakhir” (The Last Supper).

Sebelum makan malam Paskah itu, Yesus membuka jubahnya, melilitkan di pinggangnya, lalu mencuci kaki dua belas MuridNya itu, termasuk Yudas Iskariot, dengan air dari baki, dan mengerikannya dengan jubahNya itu.

Di saat makan Paskah bersama itu, Yesus memberitahukan kepada mereka bahwa ada satu orang di antara mereka yang akan menyerahkan Dia kepada para ahli Taurat dan orang Farisi. Yudas yang merasa dirinya yang dimaksud, segera pergi meninggalkan perjamuan tersebut.

Setelah perjamuan Paskah itu, Yesus pergi ke Taman Getsemani dengan beberapa muridNya, untuk berdoa karena Ia tahu hariNya telah tiba untuk menggenapi nubuat Allah.

Di Taman Getsemani dengan rasa hati yang sangat sedih karena tahu hari itulah saatnya tiba untuk menggenapi semua nubuat yang tertulis di Taurat itu, Yesus berdoa sebanyak tiga kali dengan sangat khusyuk.

"Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripadaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."

Cawan itu adalah pengadilan dan penghukuman atas dosa-dosa umat manusia yang harus dipikulNya.

Setelah Yesus berdoa, datanglah serombongan orang yang dipimpin oleh para ahli Taurat dan orang Farisi, bersama beberapa orang prajurit Romawi. Yudas Iskariot berjalan di depan mereka sebagai petunjuk jalan ke lokasi itu.

Lalu, Yudas memeluk Yesus sebagai petunjuk bagi mereka bahwa yang dipeluk itulah Yesus yang hendak ditangkap. Yesus pun ditangkap dibawa pergi untuk diadili.

Yesus pertama kali diadili di pengadilan agama Yahudi yang dipimpin oleh Kayafas, dan dinyatakan bersalah telah menghujat agama dan Allah.

Dari pengadilan agama, Yesus dibawa massa yang dipimpin oleh para Imam Besar itu ke hadapan penguasa Romawi di Yerusalem yang ketika itu dijabat oleh Pontius Pilatus.

Pontius Pilatus adalah prefek ke-5 dari Provinsi Yudea, Kekaisaran Romawi, menjabat tahun 26–36 M, pada zaman kaisar Tiberius.

Prefek adalah pejabat Romawi yang ditunjuk oleh seorang magistrat atau kaisar, untuk masa jabatan tertentu dengan tugas khusus (mandatum).

Mereka mendesak Pilatus untuk mengadili menjatuhi hukuman mati kepada Yesus, sesuai dengan hukum Romawi yang berlaku ketika itu, yaitu dengan cara disalib.

Kepada Pilatus, para Imam Besar membuat tuduhan palsu kepada Yesus, bahwa Dia telah menghasut rakyat untuk memberontak, melarang orang-orang untuk membayar pajak kepada kaisar, dan mengaku sebagai raja orang Yahudi yang akan menggantikan kaisar.

Namun Pilatus tidak menemukan adanya kesalahan pada Yesus sebagaimana yang dituduhkan itu, ia hendak melepaskan Yesus, tetapi karena terus didesak massa, ia memerintahkan mereka membawa Yesus ke Herodes Antipas yang kebetulan saat itu berada di Yerusalem.

Herodes Antipas (biasanya disebut “Herodes” saja) adalah raja wilayah Galilea dan Perea dari Kekaisaran Romawi.

Meskipun Herodes membenci Yesus, tetapi dia tidak mau menanggung dampak politiknya jika dia yang menjatuhkan hukuman kepada Yesus yang masih punya pengaruh besar di sebagian orang Yahudi lainnya, maka ia pun mengirim Yesus kembali ke Pilatus.

Sebelum Yesus dibawa kembali ke Pilatus, para prajurit Romawi mengolok-olok Yesus dengan mengenakan mahkota yang dibuat dari ranting berduri kepadanya (karena Yesus dituduh mengaku sebagai raja orang Yahudi), lalu mereka mengolok-olok, meludahi, menampar, dan mencambuknya berkali-kali.

Pilatus yang jengkel karena Yesus dibawa kembali kepada dia, menegaskan kembali bahwa ia sudah memeriksa Yesus, tetapi tidak menemukan kesalahan apapun padanya yang membuatnya patut dijatuhi hukuman mati.

Para pemuka agama Yahudi tetap pada pendiriannya bahwa Yesus bersalah dan harus dihukum mati. Mereka mengancam Pilatus, mereka akan menarik dukungan poltiknya kepada dia sebagai prefek Yerusalem jika menolak menghukum Yesus, sementara itu massa semakin banyak yang berdatangan dan mendesak Pilatus untuk menghukum Yesus.

Massa yang dipimpin oleh para pemuka agama Yahudi itu terus-menerus berteriak-teriak kepada Pilatus agar Yesus dihukum mati: “Salibkan Dia! Salibkan Dia! Salibkan Dia” seru mereka berkali-kali.

Tiga kali Pilatus mengulangi pernyataannya bahwa ia tidak menemukan kesalahan pada Yesus, tetapi karena massa terus menyatakan Yesus bersalah, dan mendesak Pilatus menjatuhkan hukuman mati kepadaNya, maka Pilatus mencoba mengambil jalan tengah: sesuai dengan kebiasaan orang Yahudi pada waktu itu, ia menyatakan akan membebaskan satu orang bersalah pada hari itu, yaitu Yesus sendiri.

Kata Pilatus untuk ketiga kalinya kepada mereka: "Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahanpun yang kudapati padaNya, yang setimpal dengan hukuman mati. Jadi aku akan menghajar Dia, lalu melepaskanNya." (Lukas 23:22).

Tetapi, pemuka agama Yahudi dan massa menolaknya, mereka mendesak Yesus tetap harus dihukum mati. Sedangkan mengenai kebiasaan membebaskan satu orang terpidana, mereka minta yang dibebaskan adalah seorang pemberontak dan penjahat yang bernama Barabas.

“Bebaskan Barabas! Salibkan Yesus! ... ” teriak mereka berkali-kali kepada Pilatus. 

Karena terdesak, kondisi semakin tidak kondusif, dan juga takut dukungannya dari masyarakat Yahudi di Yerusalem berkurang, akhirnya Pilatus pun dengan terpaksa memenuhi desakan massa yang dipimpin oleh para Imam Besar agama Yahudi itu dengan menyerahkan Yesus kepada mereka untuk dihukum mati.

Ketika Pilatus   melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: "Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri! (Matius 27:24).

Lalu mereka beramai-ramai membawa Yesus ke Bukit Golgota untuk dieksekusi. Yesus dipaksa untuk memikul salibnya sendiri. Di tengah perjalanan menuju Bukti Golgota, karena Yesus tak kuat lagi memikul salib itu, ia dibantu oleh seorang Yahudi yang bernama Simon Kirene.

Di Bukit Golgota Yesus disalibkan bersama dua orang penyamun yang berada di sisi kanan dan kiriNya.

Sebelum mati di atas kayu salib, ada tujuh ucapan Yesus yang terkenal sebagaimana tertulis di Injil, yaitu:

“Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” (Yesus meminta ampun kepada Allah untuk mereka yang mengfitnah, menangkap, menyiksa, menghukum, dan menyalibkanNya).

“Sesungguhnya, hari ini juga kamu akan bersama Aku di dalam Firdaus.” (Ucapan Yesus kepada seorang penyamun yang mengakui dosanya kepada Yesus).

“Ibu, inilah anakmu!” – “Inilah ibumu!” (Diucapkan kepada Maria, ibunya; dan kepada murid-murid yang menungguinya di bawah kaki salib).

“Allah-Ku, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Saat Ia mencapai puncak penderitaannya).

“Aku haus!” (Yesus meminta minum)

“Sudah selesai.” (Ucapan ini dimaksud bahwa nubuat tentangNya telah digenapiNya).

“Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu.” (Setelah mengucapkan ini, Yesus pun mati).

Yesus mati di atas kayu salib, dan dikuburkan.

Pada hari ketiga, Ia pun bangkit kembali dengan segala KemuliaanNya, maut pun ditaklukkanNya.

Ia beberapakali menemui murid-muridNya, dan kembali menegaskan ajaran dan pesan-pesan terakhirNya, agar para muridNya itu menyebarkan ajaran Kristus yang berintikan cinta kasih itu ke seluruh dunia.

“Napak Tilas Penyaliban Yesus"

Mirip seperti yang dialami Yesus, 2000 tahun yang lalu, Ahok juga dituduh telah melakukan penistaan agama, di saat ia sedang dengan sepenuh hatinya melayani rakyat DKI Jakarta. Kebaikan yang ia sebarkan lewat kepimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta dibalas dengan berbagai serangan fitnah SARA, yang mencapai puncaknya dengan tuduhan telah melakukan penistaan agama.

Tuduhan penistaan agama kepada Ahok juga ditetapkan dan disebarkan kepada masyarakat oleh para ahli-ahli agama, dan “imam besar agama”, yang merasa mereka yang paling saleh, sehingga merasa berhak memutuskan dan sekaligus mengadili seseorang terkait agama, bahkan sampai merasa berhak menentukan seseorang bisa masuk surga ataukah harus masuk neraka.

Lewat berbagai khotbah provokatifnya, dengan membawa-bawa nama agama yang diintervensi dengan kepentingan politik pilkada DKI Jakarta, terjadilah saling memanfaatkan antara mereka dengan para politisi oportunis, pendukung, dan pasangan calon gubernur DKI Jakarta tertentu, masyarakat pun berhasil diprovokasi sehingga terkumpulkan massa dalam jumlah yang sangat banyak.

Massa yang besar jumlahnya ini dipimpin oleh para pemuka agama itu, berkali-kali turun ke jalan, mendesak kepada penguasa untuk menghukum Ahok karena telah menistakan agama.

Pada mulanya penguasa, baik itu presiden, maupun polri, berusaha untuk tidak memenuhi desakan massa yang dipimpin oleh para ahli agama itu, karena sesungguhnya mereka tahu, Ahok tidak punya kesalahan sebagaimana yang dituduhkan oleh massa itu.

Tetapi karena massa yang turun ke jalan itu berkali-kali, terus-menerus secara masif mendesak agar Ahok dihukum, akhirnya menimbulkan kekhawatiran dari penguasa terhadap stabilitas negara, maka mereka pun terpaksa, seperti Pilatus saat berhadapan dengan massa yang mendesak Yesus dihukum, memutuskan tunduk pada kehendak massa tersebut, dengan cara melakukan proses hukum kepada Ahok, dengan kecepatan super kilat, yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah hukum Indonesia.

Saat diperiksa di polisi, massa masih saja turun ke jalan, mendesak agar Ahok harus ditahan, dan dinyatakan bersalah dan dijadikan tersangka.

Hasilnya, Ahok pun dinyatakan sebagai tersangka penistaan agama oleh penyidik kepolisian, sesuai dengan yang dikehendaki oleh para ahli agama dan massa yang mereka bawa itu.

Saat dalam tahapan proses di persidangan pun tiada henti-hentinya desakan dari para ahli agama, dan massa yang turun ke jalan, terus mendesak agar Ahok dihukum seberat-beratnya.

Pada akhirnya, pada Selasa, 9 Mei 2017, Majelis Hakim yang mengadili Ahok, yang dipimpin oleh Hakim Dwiarso Budi Santriarto pun memutuskan Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penistaan agama, dan divonis dengan hukuman 2 tahun penjara, dan langsung ditahan, meskipun Ahok menyatakan naik banding, dan selama ini tiada tanda-tanda sedikitpun yang berlasan yang membuat Ahok memang harus segera ditahan.

Padahal, jaksa penuntut umum dalam tuntutannya, sudah mengesampingkan tuntutan pasal penistaan agama itu karena tidak mampu membuktikannya.

Sebagai perbandingan: Pada 29 Juli 2016, di Tanjung Balai, Sumatera Utara, akibat dari penyebaran berita bohong dan provokasi SARA, terjadi aksi pembakaran rumah ibadah agama Budha, Vihara.

Ada delapan orang yang ditangkap dan diadili sebagai pelaku provokator dan pembakar vihara. Pada 23 Januari 2017, Pengadilan Negeri Tanjung Balai mengvonis mereka masing-masing hanya dengan hukuman 1-2 bulan penjara dipotong masa tahanan, sehingga mereka tidak perlu menjalani penjaranya, karena hukumannya sudah sesuai dengan masa tahanan itu.

Bandingkan dengan Ahok yang sudah cukup besar jasanya bagi DKI Jakarta, hanya karena salah ucap, menyinggung perasaan sebagian (sebagian lainnya tidak) umat Islam, dihukum penjara 2 tahun, naik banding pun tetap ditahan, seolah-olah ia adalah residivis atau penjahat kakap.

“Cawan Penderitaan”

Seperti Yesus yang sudah  tahu waktuNya untuk menggenapi nubuat Allah kepadaNya telah tiba, demikian juga dengan Ahok, yang sehari sebelumnya seolah sudah punya firasat bahwa hari itu adalah hari terakhirnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, karena besoknya ia harus masuk penjara.

Kepada wartawan yang berada di Balai Kota, ketika itu Ahok mengatakan, ia berharap majelis hakim sungguh-sungguh adil dalam memutuskan perkaranya itu. Ia sungguh-sungguh tiada maksud sedikit pun untuk menistakan agama.

Meskipun demikian, Ahok mengatakan, ia sudah siap jika memang majelis hakim memutuskan ia bersalah dan harus masuk penjara. Ia percaya sepenuhnya apapun yang terjadi pada dirinya itu adalah atas seizin Tuhan Allah.

Seperti doa Yesus di Taman Getsemani, dengan pernyataannya itu Ahok mengharapkan “cawan penderitaan” yang berupa hukuman penjara itu jika boleh berlalu darinya, tetapi bukan kehendaknya yang terjadi, tetapi kehendak Tuhanlah yang terjadi.

Jika memang ia harus menanggung penderitaan dalam bentuk harus dipenjara, maka Ahok pun akan menerimanya, karena ia yakin itu juga merupakan bagian dari rancangan Tuhan demi kebaikan dirinya sendiri, kebaikan DKI Jakarta, dan kebaikan NKRI.

Tuhan yang maha besar dan maha mengetahui pasti punya rancanganNya sendiri yang tidak dipahami manusia sampai pada waktunya tiba. Karena Tuhan-lah yang paling tahu apa yang terbaik bagi Ahok, bagi kita, bagi DKI Jakarta, dan bagi NKRI.

Kehendak Tuhan: Jalan terbaik untuk saat ini adalah Ahok memang harus dipenjara. Itu baru merupakan permulaan dari rancangan besar Tuhan, karena untuk selanjutnya akan terjadi peristiwa-peristiwa yang tak kita ketahui sebelumnya, sampai tiba waktunya Tuhan menunjukkanKebesaranNya.

Setelah menanggung “cawan penderitaannya” itu, “disalib” (dipenjara), pada akhirnya seperti Yesus yang pada hari ketiga bangkit pula di antara orang mati membawa kemuliaanNya bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia; setelah dipenjara, Ahok pun akan “bangkit kembali”, lebih powefulldalam suatu hal yang masih merupakan rahasia Tuhan.

Firasat Ahok

Pada hari itu juga (sehari sebelum dia dipenjara), ada satu momen yang terjadi di Balai Kota, yang ternyata merupakan sinyal firasat Ahok bahwa hari itu adalah hari terakhir dia sebagai Gubernur DKI Jakarta aktif, hari terakhir dia di Balai Kota bersama rakyat yang dicintai dan yang dilayaninya, karena besoknya ia akan masuk penjara.

Kisah itu diceritakan oleh staf Ahok, Arief Sitohang, yang biasanya bertugas mendokumentasikan kegiatan kedinasan Ahok.

"Jadi pagi itu dia minta difoto buat lukisan gubernur. Setelah itu kan makan siang, selesai makan siang dia kerja lagi lanjut disposisi," cerita Arief di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (10/5/2017).

Arief mengatakan, tidak ada hal yang berbeda dari aktivitas Ahok hari itu, Senin (10/5/2017). Ahok beraktivitas seperti hari-hari biasa. Tiba-tiba, Ahok spontan meminta kepada Arief untuk difoto kembali.

"Tiba-tiba dia minta difoto. 'Ayo sekarang saja difotonya. Mumpung masih bisa pakai pakaian ini. Besok-besok enggak bakalan bisa lagi'," ujar Arief.

Saat Ahok mengucapkan hal itu, kata Arief, wajahnya masih tersenyum seperti biasa.

Ahok tertawa begitu pun dengan para staf yang ada di sana. Tak ada yang berpikir bahwa ucapan Ahok benar-benar kenyataan (Tribunnews.com).

 Siapa yang tahu, mungkin saja Ahok pun sebelumnya telah berdoa, sebagaimana Yesus berdoa di Taman Getsemani sesaat sebelum Dia ditangkap dan akhirnya dihukum mati dengan cara disalibkan:

"Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."

Ahok Tetap Mengandalkan Tuhan

Kini, Ahok sudah masuk penjara.

Namun, sebagaimana yang sudah kita saksikan sampai dengan saat dia dibawa ke Lapas Cipinang, dan kesaksian beberapa orang yang menjenguknya di penjara, di antaranya Gubernur sekaligus  sahabat sejatinya, Djarot Saiful Hidayat, Ahok tetap tegar dan tenang menghadapi cobaan yang pasti berat ini.

Djarot, sahabat sejati Ahok, yang tak kuasa menahan tangisnya saat ikut bernyanyi bersama konser rakyat pendukung Ahok di Balai Kota, yang dipimpin oleh Addie MS, 10 Mei 2017 (Tribunnews.com)
Djarot, sahabat sejati Ahok, yang tak kuasa menahan tangisnya saat ikut bernyanyi bersama konser rakyat pendukung Ahok di Balai Kota, yang dipimpin oleh Addie MS, 10 Mei 2017 (Tribunnews.com)
Demikian juga dengan keluarganya: istri tercinta: Veronika Tan, dan ketiga anaknya, Nicholas Purnama, Nathalia Purnama, dan si bungsu yang lucu, Daud Purnama; ibunya, Buniarti Ningsih, serta saudara-saudaranya, mereka semua sejak lama dekat dengan Tuhan, tentu akan tegar pula menghadapi cobaan yang berat ini.

Seberapa hebat pun penderitaannya akibat dari kebencian kelompok-kelompok orang tertentu terhadapnya, Ahok tidak hanya berucap sebatas di bibir, tetapi sungguh-sungguh tetap percaya dan tetap mengandalkan Tuhan Yesus yang ia percaya selalu berada di sampingnya.

Sebagaimana pernah beberapakali Ahok berkata, di antaranya di beberapa acara Mata Najwa, dengan mengutip Filipi 1:21: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”

Dan tentu Ahok juga akan tetap tegar, karena pasti Ia tahu dan percaya dengan apa juga tertulis di Alkitab:

Diberkatillah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan (Yeremia 17:7)

Dan, kepada semua orang yang memusuhinya, yang saat ini berpesta atas kejatuhannya sekarang, saya yakin Ahok tidak menganggap mereka sebagai musuh pribadinya, tetapi musuh dari rakyat yang selalu mendambakan keadilan dan kebenaran sejati, yang ingin NKRI ini bersih dari para koruptor dan paham-paham radikal, sektarian, yang anti-Pancasila, dan ia pasti yakin dengan Tuhan bersamanya satu waktu kelak ia akan bangkit kembali dari kejatuhannya itu, karena ada pula tertulis di dalam Alkitab:

Janganlah bersuka cita atas aku, hai musuhku! Sekalipun aku jatuh, aku akan bangun pula, sekalipun aku duduk dalam gelap, Tuhan akan menjadi terangku (Mikha 7:8)

Saya mengakhiri tulisan ini dengan mengajak kita semua mendengar lagu “Tuhan Pasti Sanggup”, yang digubah kembali di YouTube khusus untuk Ahok:


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun