Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi yang Mempertahankan Ahok, Ini Alasannya

25 Februari 2017   09:44 Diperbarui: 4 April 2017   18:09 14856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat inisiatif Hak Angket terhadap Pemerintah karena tidak menonaktifkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta telah dibacakan oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, di rapat paripurna DPR RI, Kamis, 23 Februari 2017. Artinya, inisiatif Hak Angket tersebut akan dibahas di rapat paripurna berikutnya (setelah reses): apakah Hak Angket tersebut akan disetujui untuk dilaksanakan ataukah tidak.

Empat fraksi yang menandatangani inisiatif Hak Angket yang mereka namakan “Hak Angket Ahok-gate” itu adalah Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Demokrat dan PAN adalah parpol pengusung pasangan calon gubernur Agus-Sylvi (yang sudah tereliminasi), dan Gerindra dan PKS pengususng Anies-Sandi.

Di antara keempat parpol itu hanya PAN yang merupakan parpol yang masuk di dalam pemerintahan Presiden Jokowi, tetapi justru di parlemen melawan kebijakan Presiden Jokowi terhadap Ahok itu. Sedangkan parpol lainya: PPP dan PKB memilih menunggu untuk melihat perkembangan politiknya sebelum mengambil sikap terhadap status Ahok itu.   

Kenapa PAN merupakan satu-satunya parpol yang pro-pemerintah, tetapi sekligus juga menjadi salah satu inisiator dilaksanakan Hak Angket terhadap Presiden Jokowi? Akan dibahas di artikel berikut.

Seperti yang sudah diketahui, alasan penandatanganan pengajuan Hak Angket oleh keempat parpol tersebut adalah karena mereka menilai Pemerintah (Presiden Jokowi) telah bersikap melawan hukum dengan tidak menonaktifkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dijabatnya kembali seusai menjalani cuti kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017, padahal ia adalah seorang terdakwa pelaku kejahatan penistaan agama dengan ancaman hukuman paling singkat 5 tahun.

Mereka merujuk pada ketentuan Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang antara lain menyebutkan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.

Sedangkan Ahok didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan dua pasal alternatif tentang penistaan agama, yaitu Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 4 tahun penjara, atau Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 5 tahun penjara.

Alasan Mendagri Tidak Menonaktifkan Ahok

Atas dasar dua tuntutan alternatif dari jaksa penuntut umum itulah Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, memutuskan sampai saat ini tidak dapat memberhentikan sementara Ahok, karena masih harus menunggu sampai jaksa membaca tuntutannya terhadap Ahok.

Jika Ahok dituntut dengan hukuman maksimal, yaitu 5 tahun,barulah Mendagri Tjahjo Kumolo atas nama Presiden akan memberhentikan sementara Ahok.

Jika Ahok dituntut kurang dari 5 tahun, maka pemberhentian sementara itu tidak akan dilakukan. 

Dengan tafsir dan argumen tersebut Tjahjo Kumolo tidak merasa Pemerintah telah melanggar hukum (Undang-Undang Pemerintah Daerah), malah sebaliknya, bagaimana jika dia terlanjur memberhentikan sementara Ahok, tetapi ternyata jaksa menuntut Ahok di bawah 5 tahun?

Lagipula, selama ini belum pernah ada jaksa yang menuntut terdakwa penistaan agama dengan hukuman penjara maksimal (5 tahun penjara).

Tentu, akan ada yang menyanggah, selama ini pula belum pernah terdakwa penistaan agama yang dibebaskan hakim. Jawaban saya: Mungkin sekali Ahok merupakan terdakwa penistaan agama yang pertama yang akan divonis bebas hakim, atau paling tinggi divonis dengan hukuman percobaan. Kenapa bisa?

Untuk menjawabnya, silakan membaca terus artikel ini.

Untuk merespon tuntutan para anti-Ahok agar Ahok dinonaktifkan, Tjahjo juga telah meminta fatwa dari Mahkamah Agung tentang status Ahok itu, tetapi Mahkamah Agung menolak memberi fatwanya, dengan alasan sudah ada dua gugatan yang disampaikan ke PTUN, jadi, MA tidak bisa memberi pendapat hukumnya karena dapat dianggap mendahului keputusan hakim nanti. Keputusan tentang status Ahok itu diserahkan kembali kepada Pemerintah, dan Pemerintah pun bergeming dengan keputusannya untuk tidak akan menonaktifkan Ahok, menunggu tuntutan jaksa.

Tjahjo menyatakan ia siap diberhentikan Presiden jika ternyata putusannya itu salah. Dan, sampai sekarang Tjahjo tidak diberhentikan oleh Presiden Jokowi, juga tidak ada teguran terhadap Tjahjo atas putusannya tentang Ahok itu.

Jadi, dapat disimpulkan sikap yang diambil oleh Mendagri itu merupakan sikap Presiden Jokowi pula.

Perlu diingatkan juga bahwa menurut Pasal 83 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 itu, yang berwenang memberhentikan sementara gubernur/wakil gubernur yang berstatus terdakwa sebagaimana dimaksud ayat 1-nya adalah Presiden. Wewenang Mendagri ada pada bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota

Alasan Jokowi  Tidak Menonaktifkan Ahok

Secara tersirat sikap Presiden Jokowi terhadap Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa bagi Presiden tidak seharusnya Ahok diberhentikan sementara sebagaimana dikehendaki oleh 4 parpol tersebut di atas. Jokowi menganggap tidak ada yang salah dengan aktifnya kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Buktinya, ketika ia meninjau proyek pembangunan Simpang Susun Semanggi, Jakarta Pusat, dan proyek MRT, pada Kamis, 23 Februari lalu, Jokowi sama sekali tidak mempermasalahkan saat Gubernur Ahok mendampinginya. Ia bahkan berdiskusi dengan Ahok mengenai kedua proyek tersebut, dan menyatakan kepuasannya atas begitu cepatnya kedua proyek tersebut dikerjakan sehingga dapat diharapkan bisa selesai sesuai dengan yang telah dijadwalkan.

Sikap Presiden Jokowi yang mendukung pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta itu bukan hanya berdasarkan alasan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, tetapi juga karena alasan politis.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus dugaan penistaan agama yang ditudingkan kepada Ahok sekarang jauh lebih banyak muatan politiknya daripada hukumnya, jadi wajar pula Presiden Jokowi menyikapinya secara politik pula. 

Sikap Presiden Jokowi itu diambil dikarenakan dia tahu bahwa bahwa tuntutan untuk menonaktifkan Ahok oleh keempat fraksi itu,  bukan demi penegakan hukum, tetapi adalah semata-mata demi untuk kepentingan keempat parpol itu sendiri. Mereka berkepentingan untuk menyingkirkan Ahok dari kursi Gubernur DKI Jakarta, karena dia dianggap sebagai penghalang utama bagi mereka yang sudah terbiasa merasa nyaman dalam menggarong APBD, sekaligus untuk memuluskan majunya pasangan cagub yang diusung oleh keempat parpol tersebut pula.

Keempat parpol itu sejak awal sudah memanfaatkan kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok itu demi kepentingan politik mereka di Pilgub DKI Jakarta itu. Bahkan ada isu yang cukup kuat indikasi kebenarannya yang menyatakan bahwa salah satu tokoh utama mereka yang selalu berada di belakang layar, yaitu Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan tokoh kunci dari berbagai aksi yang mengatasnamakan agama yang bertujuan untuk menyingkirkan Ahok dengan cara memenjarakannya.

Ada-tidak adanya kecerobohan Ahok yang menyinggung perasaan sebagian umat Islam itu, aksi-aksi unjuk rasa anti-pimpinan non-Muslim yang dikoordinir oleh ormas-ormas Islam radikal, terutama sekali FPI itu sudah dirancang jauh-jauh hari sebelum masa kampanye Pilgub DKI tiba.

Ahok adalah calon petahana yang terlalu kuat untuk dilawan secara sportif, maka satu-satunya cara untuk menumbangkannya adalah dengan memanfaatkan sentimen agama dan etnis (SARA), plus dengan menghalalkan penyebaran kebencian dan fitnah SARA terhadap Ahok di media sosial, khotbah-khotbah di masjid-masjid, dan sebagainya.

Kecerobohan Ahok yang mengutip Al-Maidah 51 di pidatonya di Kepulauan Seribu itu, merupakan suatu berkah bagi mereka, dengan tidak perlu menunggu waktu lama, langsung dimanfaatkan semaksmimal mungkin untuk menyerang Ahok secara berkesinambungan dan masif. Padahal, sebenarnya, kasus tersebut merupakan kasus sederhana, semacam salah paham, yang dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sebab memang seratus persen Ahok pasti tidak punya maksud untuk menistakan agama Islam, maupun Al-Quran.

Sejak awal kita juga paham bahwa pengadilan yang dilaksanakan sekarang untuk mengadili Ahok dengan tudingan telah melakukan penistaan terhadap agama Islam terkait pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung Al-Maidah 51 itu, sesungguhnya merupakan pengadilan yang “terpaksa” dilakukan dikarenakan keberhasilan ormas-ormas keagamaan radikal yang diprakarsai oleh FPI, yang berhasil menghimpun kekuatan massa dalam jumlah besar untuk memaksa kehendaknya terhadap Pemerintah dan Polri untuk menangkap dan memenjarakan Ahok.

Kehendak itu tidak dipenuhi Pemerintah dan Polri, karena memang sesungguhnya tidak ada alasan hukum yang kuat untuk langsung menangkap dan memenjarakan Ahok. Tetapi, untuk meredam susana sosial-politik yang saat itu sangat panas, “jalan tengah” pun ditempuh oleh Polri dengan memroses hukum terhadap Ahok, ia ditetapkan sebagai tersangka, dan proses hukum selanjutnya diserahkan kepada pengadilan.

Siapapun yang mau jujur dan obyektif bisa melihat bahwa sesungguhnya pemaksaaan kehendak agar Ahok dipenjara itu bukan semata-mata demi alasan hukum, tetapi merupakan alasan yang bersumber pada paham sektarianisme agama yang menolak secara ekstrem Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta lagi, karena dia Kristen dan Tionghoa.  

Paham radikalisme, fundamentalisme, dan sektarianisme agama memang sangat anti terhadap semua orang/pihak yang berbeda dengan mereka, apalagi jika yang berbeda itu mau dijadikan pimpinannya.

Maka itu, mereka berupaya dengan segala cara untuk menyingkirkan Ahok yang ingin menjadi gubernur lagi. Kecerobohan Ahok menyinggung Al-Maidah 51 itu merupakan momentum yang paling pas bagi mereka untuk secara terus-menerus dan masif menyerang Ahok untuk menyingkirkannya selama-lamanya dari kemungkinan memimpin lagi DKI Jakarta. Mereka mengaku NKRI harga mati, tetapi menolak pluralisme, menolak kebhinekaan, menolak adanya pengakuan negara terhadap adanya persamaan hak dan kewajiban setiap WNI di dalam hukum dan pemerintahan.

Padahal, jelas-jelas NKRI bukan negara yang beralaskan agama, tetapi beralaskan pada Pancasila dan UUD 1945, yang menjaminkan dalam kehidupan bernegara semua WNI bersamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan, semua WNI asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Undang-Undang berhak menjadi apa pun di negara ini, termasuk menjadi pimpinan di pemerintahan, termasuk menjadi gubernur DKI Jakarta.

Namun ormas-ormas keagamaan radikal itu tidak mau tahu, mereka terus menyerang Ahok sebagai penista agama, yang seolah-olah sudah melakukan dosa yang sangat luar biasa besarnya, sehingga tidak mungkin bisa dimaafkan. Kesalahan tak disengaja Ahok itu pun terus dibesar-besarkan, dengan memprovokasi masyarakat untuk menolak Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta dengan isu SARA, dengan menyebarkan kebencian ala penganut radikalisme dan sektarianisme, dengan menyatakan membunuh Ahok itu halal, darah Ahok itu halal, dan sejenisnya. 

Bahkan disinyalir pula, momentum unjuk rasa besar-besaran itu pun dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang ada di antara mereka untuk tujuan yang lebih jauh lagi, yakni menggulingkan pemerintahan Presiden Jokowi, menggantikan dasar negara Pancasila, dan menjadikan Indonesia negara khilafah.

Parpol-parpol anti-Ahok, yang sudah lama sangat ingin menyingkirkan Ahok, apalagi dengan adanya kepentingannya di Pilgub DKI Jakarta 2017 pun memanfaatkan situasi ini, status Ahok sebagai terdakwa penistaan agama pun dimanfaatkan dengan semaksmimal mungkin, dengan mendesak Pemerintah untuk sesegera mungkin menonaktifkan Ahok, padahal di daerah lain ada juga calon kepala daerah yang berstatus terdakwa, misalnya seperti di Gorontalo, tetapi keempat parpol itu sedikit pun tidak pernah mempermasalahkannya.

Saat unjuk rasa besar-besaran berlangsung saja kita sudah tahu parpol-parpol itu, terutama sekali dari Demokrat (SBY dengan pidato “lebaran kudanya”), Gerindra (yang diwakili Fadli Zon) dan PKS (yang diwakili Fahri Hamzah) secara terang-terangan ikut mendesak agar Ahok segera dipenjarakan demi penegakan hukum, padahal sebenarnya demi kepentingan politik mereka di Pilgub DKI jakarta.

Simbol dan Sinyal Jokowi   

Presiden Jokowi mengetahui semua itu, oleh karena itu ia tiada ragu sedikitpun untuk mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta aktif. Sikap Jokowi itu juga ditunjukkan dalam bentuk simbol dan sinyal politik yang dikirim kepada parpol-parpol itu bahwa ia sepenuhnya mengakui Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. 

Hanya sehari setelah Hak Angket itu lolos untuk dibahas di rapat paripurna DPR berikutnya, Jokowi melakukan kunjungan kerjanya untuk memantau progres pembangunan simpan susun Semanggi dan MRT, dalam kunjungan itulah dia didampingi oleh Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, mereka kembali terlihat akrab saat berbicara mengenai dua proyek tersebut. 

Bahkan saat dari proyek Simpan Susun Semanggi ke lokasi proyek MRT,  Jokowi mengajak Ahok satu mobil dengannya di mobil Kepresidenan (RI-1). Mereka hanya berdua di dalam mobil Presiden itu selama sekitar 10 menit menuju proyek MRT. Entah apa saja yang mereka berdua bicarakan, tetapi jelas itu merupakan suatu simbol dan sinyal yang dikirim Jokowi kepada lawan-lawan politiknya yang anti-Ahok bahwa ialah yang mengakui, dan mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta aktif.

**

Setelah memainkan jurus rahasia mautnya: “dalam senyap dalam kelembutan mematikan lawan”: gerakan ormas radikalis, fundamentalis, dan sektarian yang anti-Pancasila berhasil dibikin tak berkutik, dan melumpuhkan mereka yang ingin berbuat makar, kini, Jokowi pun tidak mau mengikuti irama permainan parpol-parpol oportunis tersebut ketika mereka mendesak Pemerintah untuk segera memberhentikan sementara Ahok.

Tetapi, Jokowi tidak hanya melihat kasus Ahok itu semata-mata dari aspek hukumnya, tetapi juga dari aspek politiknya yang justru jauh lebih dominan. Kita tahu, tetapi Jokowi jauh lebih tahu bahwa kehendak parpol-parpol itu supaya Ahok dinonaktifkan bukan karena demi penegakan hukum tetapi semata-mata demi bisa menyingkirkan Ahok, dan melapangkan jalan bagi pasangan cagub yang diusung mereka, sebagaimana diuraikan di atas.

Itulah sebabnya sikap teguh Presiden Jokowi telah diambil tanpa ragu sedikit pun untuk menentukan status Ahok sebagai Gubernur aktif, bahkan sikap Mendagri Tjahjo Kumolo yang bersikukuh untuk tidak menonaktifkan Ahok besar kemungkinan atas perintah langsung dari Presiden Jokowi.

Sebab itulah saat diminta menjelaskan alasannya tidak memberhentikan sementara Ahok, pada Rabu, 22 Februari 2017, di ruang rapat Komisi II DPR, Mendagri Tjahjo Kumolo dengan  tegas, dan dengan suara lantang mengatakan: “Saya tidak membela Ahok, tetapi saya membela Presiden!”

Sangat wajar, dan memang seharusnya demikianlah sikap seorang Menteri. Ia harus bisa mempertahankan dan membela sikap presiden, atasanya,  dalam setiap menghadapi suatu persoalan. Jika tidak mau, jika ia menganggap sikap dan keputusan presiden itu salah, tidak sejalan dengan ideologi dan prinsip hidup, dan nuraninya, ia tentu tidak patut lagi menjadi pembantu presiden, dan sebaiknya mengundurkan diri.

Yang aneh tapi nyata justru sikap oportunis dan hipokrit PAN, yang katanya pro-pemerintah, mendukung program dan kebijakan Presiden Jokowi, tetapi giliran terkait Ahok, justru bukan hanya tidak setuju, tetapi hendak mengadakan Hak Angket untuk Presiden Jokowi.

Padahal sebenarnya, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sudah menyatakan ketidaksetujuan partainya ikut menandatangani Hak Angket tersebut. Kenapa bisa begitu? Saya jawab di artikel saya berikutnya. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun