Padahal, jelas-jelas NKRI bukan negara yang beralaskan agama, tetapi beralaskan pada Pancasila dan UUD 1945, yang menjaminkan dalam kehidupan bernegara semua WNI bersamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan, semua WNI asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Undang-Undang berhak menjadi apa pun di negara ini, termasuk menjadi pimpinan di pemerintahan, termasuk menjadi gubernur DKI Jakarta.
Namun ormas-ormas keagamaan radikal itu tidak mau tahu, mereka terus menyerang Ahok sebagai penista agama, yang seolah-olah sudah melakukan dosa yang sangat luar biasa besarnya, sehingga tidak mungkin bisa dimaafkan. Kesalahan tak disengaja Ahok itu pun terus dibesar-besarkan, dengan memprovokasi masyarakat untuk menolak Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta dengan isu SARA, dengan menyebarkan kebencian ala penganut radikalisme dan sektarianisme, dengan menyatakan membunuh Ahok itu halal, darah Ahok itu halal, dan sejenisnya.
Bahkan disinyalir pula, momentum unjuk rasa besar-besaran itu pun dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang ada di antara mereka untuk tujuan yang lebih jauh lagi, yakni menggulingkan pemerintahan Presiden Jokowi, menggantikan dasar negara Pancasila, dan menjadikan Indonesia negara khilafah.
Parpol-parpol anti-Ahok, yang sudah lama sangat ingin menyingkirkan Ahok, apalagi dengan adanya kepentingannya di Pilgub DKI Jakarta 2017 pun memanfaatkan situasi ini, status Ahok sebagai terdakwa penistaan agama pun dimanfaatkan dengan semaksmimal mungkin, dengan mendesak Pemerintah untuk sesegera mungkin menonaktifkan Ahok, padahal di daerah lain ada juga calon kepala daerah yang berstatus terdakwa, misalnya seperti di Gorontalo, tetapi keempat parpol itu sedikit pun tidak pernah mempermasalahkannya.
Saat unjuk rasa besar-besaran berlangsung saja kita sudah tahu parpol-parpol itu, terutama sekali dari Demokrat (SBY dengan pidato “lebaran kudanya”), Gerindra (yang diwakili Fadli Zon) dan PKS (yang diwakili Fahri Hamzah) secara terang-terangan ikut mendesak agar Ahok segera dipenjarakan demi penegakan hukum, padahal sebenarnya demi kepentingan politik mereka di Pilgub DKI jakarta.
Simbol dan Sinyal Jokowi
Presiden Jokowi mengetahui semua itu, oleh karena itu ia tiada ragu sedikitpun untuk mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta aktif. Sikap Jokowi itu juga ditunjukkan dalam bentuk simbol dan sinyal politik yang dikirim kepada parpol-parpol itu bahwa ia sepenuhnya mengakui Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Hanya sehari setelah Hak Angket itu lolos untuk dibahas di rapat paripurna DPR berikutnya, Jokowi melakukan kunjungan kerjanya untuk memantau progres pembangunan simpan susun Semanggi dan MRT, dalam kunjungan itulah dia didampingi oleh Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, mereka kembali terlihat akrab saat berbicara mengenai dua proyek tersebut.
Bahkan saat dari proyek Simpan Susun Semanggi ke lokasi proyek MRT, Jokowi mengajak Ahok satu mobil dengannya di mobil Kepresidenan (RI-1). Mereka hanya berdua di dalam mobil Presiden itu selama sekitar 10 menit menuju proyek MRT. Entah apa saja yang mereka berdua bicarakan, tetapi jelas itu merupakan suatu simbol dan sinyal yang dikirim Jokowi kepada lawan-lawan politiknya yang anti-Ahok bahwa ialah yang mengakui, dan mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta aktif.
**
Setelah memainkan jurus rahasia mautnya: “dalam senyap dalam kelembutan mematikan lawan”: gerakan ormas radikalis, fundamentalis, dan sektarian yang anti-Pancasila berhasil dibikin tak berkutik, dan melumpuhkan mereka yang ingin berbuat makar, kini, Jokowi pun tidak mau mengikuti irama permainan parpol-parpol oportunis tersebut ketika mereka mendesak Pemerintah untuk segera memberhentikan sementara Ahok.